Akhirnya saya mendarat di Bandara Kuala Namu. Bersama beberapa rekan sependakian dari Kuala Lumpur. Waktu sudah menjelang tengah malam. D'Prima Hotel, tempat kami menginap, berlokasi tak jauh dari bandara. Untunglah ada layanan antar jemput yang telah siaga, sehingga kami bisa langsung bergerak tanpa menunggu. Menuju ke hotel untuk segera beristirahat.
Berkumpul di Kuala Namu
Malam berlalu dan pagi segera datang. Usai mandi dan sarapan, layanan antar jemput hotel mengantar kami lagi ke Bandara Kuala Namu. Sesuai kesepakatan, titik kumpul kami adalah di bandara. Tepatnya di depan konter KFC, di pintu keluar terminal kedatangan. Bukan di pusat kota Medan. Kata Adul, supaya lebih cepat. Menghindari kemungkinan terlambat karena kemacetan di kota. Jadi waktu yang ada bisa dimaksimalkan. Karena perjalanan hari ini akan jauh dan lama.
Tujuan kami adalah basecamp atau rumah singgah pendakian Gunung Leuser. Lokasinya di Kampung Kedah, Kecamatan Blangjerango, Kabupaten Gayo Lues, di Nangroe Aceh Darussalam. Dari Kota Medan, jaraknya sekitar tiga ratus lima puluhan kilometer. Dengan waktu tempuh normal sepuluh jam. Akan melalui titik-titik kota seperti Sibolangit, Berastagi, Kabanjahe, Tigabinaga, Kutacane, dan Blangkejeren. Maka jika kami berangkat sepagi mungkin, itu akan lebih baik. Kalau bisa, tiba di sana sebelum tengah malam.
Saya kembali ke bandara bersama tujuh orang rekan pendakian: Irpan, Ibu Dian, Kak Duwi, Mazlan, Mazli, Asyraf, dan Naomi. Kami menjadi yang pertama tiba di depan KFC. Rekan-rekan yang lain belum tampak. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya; selain Mazli, mereka adalah rekan-rekan pendakian saya ke Binaiya sebelumnya. Dulu sewaktu ke Binaiya, ada rekan saya dari Malaysia yang bernama Ad. Kini ia tak ikut ke Leuser. Maka dari itulah, kehadiran Mazli dijadikan guyon. Bahwa ia menggantikan posisi Ad kali ini.
Saat duduk-duduk menunggu, datang satu rekan pendakian kami. Ia menjadi yang terakhir bergabung ke dalam tim. Namanya: Nadya Gianifa. Perempuan dari Bandung ini adalah seorang content creator. Rekan-rekan saya sempat membicarakannya, sewaktu ia dimasukkan ke dalam grup Whatsapp. Saya intip sosoknya di media sosial. Ia adalah anggota Mahitala, Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Parahyangan. Yang dua tahun terakhir ini, juga menjadi anggota Wanadri, kelompok pecinta alam di Bandung.
Berikutnya, yang muncul adalah Martha Manulang. Asalnya dari Tarutung, di dekat Danau Toba sana. Gadis Batak ini ternyata pernah tinggal lama di Bali. Karena ia adalah alumni Fakultas Kedokteran Hewan di Universitas Udayana. Satu almamater dengan istri saya. Karena itulah, obrolan kami menjadi lebih banyak. Membahas tentang Bali, tentunya. Juga tentang orang-orang di Udayana yang sama-sama kami kenal. Sebuah kegembiraan basa-basi yang wajar, karena ternyata ada banyak mutual friends yang dimiliki.
Di sudut pelataran terminal, yang posisinya agak jauh dari tempat berkumpul, Irpan menunjuk seseorang. "Itu Akbar", bisiknya. Nama lengkapnya Rahmad Akbar. Ia berasal dari Kota Batam di Kepulauan Riau. Kok dia tidak ikut kumpul bersama kami? Kata Irpan, Akbar seorang yang pemalu. Saya perhatikan dengan seksama, Akbar tak ada membawa palu. Heh? Tapi nanti ketika dalam perjalanan ke Kedah, di mana ia duduk di samping saya, Akbar tak sepemalu yang dikatakan. Ia bercerita banyak tentang Batam, pulau yang dekat dengan Singapura. Juga tentang bisnisnya yang berhubungan dengan negeri tetangga kita yang paling maju itu.

Yang heboh adalah pertemuan kami berikutnya dengan rekan-rekan sependakian Binaiya tahun lalu: Maria Ulfa alias Emak dan Gideon SC alias Dion. Mereka berdua berangkat bersama, satu pesawat dari Jakarta pagi ini. Yang kemudian disusul oleh Rusda Elpiani alias Pipi. Ketiganya disambut histeris oleh Kak Duwi, Asyraf, dan Naomi. Rasanya benar-benar seperti reuni. Pertemuan kami setahun lalu seperti baru terjadi kemarin. Terlihat tak ada yang banyak berubah. Kami haha-hehe seperti anak-anak kecil yang bercengkerama.
Untuk diketahui, Emak adalah seorang guru dan pembina pramuka. Berasal dari Garut. Satu daerah asal dengan penyelenggara pendakian ini: Shelter Garut. Emak bahkan sudah mendaki bersama Kak Duwi dan Mazlan jauh sebelum pertemuan kami di Binaiya. Sementara Dion yang dari Jakarta adalah seorang karyawan di perusahaan pupuk. Ia masih sama seperti yang saya ketahui sebelumnya, masih menelepon urusan kerjaannya beberapa kali, padahal kami sedang mau ke gunung. Dan Pipi, adalah Mojang Priangan dari Bogor, masih selalu digoda, dijodoh-jodohkan dengan Asyraf maupun Irpan.
Lalu saya melihat beberapa panggilan tak terjawab di telepon. Saya tak menyadari ada panggilan. Telepon saya dalam mode silent sejak semalam sebelum tidur di hotel. Panggilan tak terjawab itu datang dari Farid Widya. Salah satu anggota tim pendakian dari Malang di Jawa Timur. Ia yang paling terakhir muncul di titik pertemuan. Datang menjelang minibus yang akan kami gunakan telah bersiap untuk berangkat. Katanya, ia kebingungan mencari-cari posisi kami di luasnya Bandara Kuala Namu.
Bertemu kembali dengan teman lama ibarat menemukan harta karun yang hilang. Ada kilas balik yang saya rasakan, seperti seorang penjelajah waktu. Juga ada energi kegembiraan yang membuncah. Sementara bertemu dengan teman baru ibarat menemukan energi-energi baru. Semua itu terkumpul menjadi satu. Dan kami semua akan merangkai kenangan dalam perjalanan ini. Saya sendiri mengharapkan pertemuan kami semua akan bisa membawa banyak inspirasi. Dengan menghabiskan waktu bersama, inspirasi-inspirasi itu bisa menciptakan perubahan-perubahanan. Tentu saja, maksudnya perubahan-perubahan yang baik.
Maka kemudian, minibus pun mulai bergerak pada waktu yang menunjukkan pukul sembilan lewat. Kendaraan yang digunakan terdiri dari enam baris kursi, dari depan hingga ke belakang. Semua tas ada di bagasi dan sebagian di kursi paling belakang. Asyraf dan Emak duduk di depan, di samping sopir. Di belakangnya ada Pipi, Kak Duwi, dan Mazlan. Di baris ketiga ada Naomi, Nadya, Marta, dan Ibu Dian. Di baris belakangnya Dion, saya, dan Akbar. Di belakangnya lagi adalah Irpan dan Farid. Dan di pojok paling belakang, di samping tumpukan tas, ada Mazli. Kami seperti siswa sekolah yang sedang pergi tamasya.
Mengatur tas dan berbagai barang bawaan ke dalam minibus.
Mengatur tas dan berbagai barang bawaan ke dalam minibus.
Dalam perjalanan keluar Kota Medan.
Minibus melaju meninggalkan Bandara Kuala Namu. Menyusuri jalan utama pinggiran Kota Medan. Akbar, yang duduk di samping saya, berkisah tentang kehidupannya di Batam. Ia, yang asli orang Minang, telah hidup lama di kota terbesar Kepulauan Riau itu. Tentang kisahnya yang telah kenal dengan Irpan. Serta kekhawatirannya tentang harimau sumatera di Gunung Leuser. Juga cerita tentang barang-barang elektronik yang mudah ditemui di Batam.
Ada banyak barang 'gelap', reject, expired, atau melebihi batas pemakaian dari Singapura yang berakhir di Batam. Ada yang resmi. Ada juga yang tak resmi. Dalam artian, resmi tak resmi ini merujuk pada barang yang sudah terkena bea cukai atau tidak. Jika suatu hari saya ke Batam, ia menyarankan untuk belanja laptop atau ponsel. Banyak yang murah. Jika hanya satu atau dua jenis barang elektronik dan langsung dipakai, itu tak akan menjadi masalah. Kita bisa membawanya pulang dengan aman tanpa dikenai cukai.
Si Kaki Seribu
Setelah satu jam perjalanan, kami berhenti di sebuah pom bensin. Tak jauh dari sebuah jalan layang. Di Medan, jalan layang itu dikenal dengan sebutan Fly Over Jamin Ginting. Bagi saya yang bukan dari Medan, namanya tak begitu spesial. Tapi cukup membuat saya mencari tahu, karena tulisannya terpampang besar dan jelas. Jamin Ginting adalah seorang pahlawan nasional dari Tanah Karo. Pejuang kemerdekaan yang diresmikan menjadi pahlawan oleh Presiden Joko Widodo beberapa tahun yang lalu.
Tapi bukan tentang pahlawan itu yang mau saya ceritakan. Melainkan tentang rekan pendaki kami yang lain. Yaitu Anggi Wahyuda. Ia berasal dari Binjai di Sumatera Utara. Ia tak berangkat bareng kami dari Kuala Namu. Arah keberangkatan kami membuatnya lebih baik menunggu di Fly Over Jamin Ginting, bukan di bandara. Biar tidak bolak-balik. Kalau dari Binjai ke Kuala Namu dulu, tentu tidak efisien. Karena toh kami akan melewati fly over ini.
Anggi adalah seorang komika berkebutuhan khusus. Ia penyandang disabilitas. Julukannya 'Si Kaki Seribu'. Sebelumnya, saya tak tahu tentangnya. Hanya sempat terkejut dan tak yakin ketika ia diperkenalkan menjadi bagian dari tim pendakian. Apakah ia sendiri yakin dengan kondisinya mendaki Leuser? Naik turun gunung menyusuri hutan selama dua belas hari? Melihat profilnya di Instagram, sepertinya cukup meyakinkan. Ia telah mendaki banyak gunung di Indonesia. Rasanya, mendaki bersamanya malah akan menjadi lebih menarik.
Saat menjemputnya, ia diantar oleh kedua orang tuanya. Saya melihatnya berpamitan penuh haru pada ibunya sebelum naik ke dalam kendaraan. Nantinya saya mengetahui kalau ia begitu sayang dan hormat pada ibunya. Berangkat ke Leuser menjadikannya penuh semangat karena diantar langsung dengan iringan doa. Anggi bahkan membawa beberapa plakat yang salah satunya bertuliskan "Bukan aku yang kuat, tapi doa ibuku yang hebat". Plakat yang menunjukkan bahwa itu adalah kekuatan utamanya dalam pendakian.
Bersama Anggi, ada Rifqi Hilmi. Dari Bogor, sama dengan Pipi yang ternyata mereka sudah saling mengenal. Kalau tak salah, Hilmi baru berusia dua puluh satu tahun. Menjadi pendaki yang paling muda di antara kami semua. Hilmi satu paket dengan Anggi, karena berperan sebagai videografer untuk konten-konten Anggi. Ya, selain seorang komika dan pendaki, Anggi juga seorang content creator Youtube yang sedang berproses.
Hilmi bertugas mendokumentasikan perjalanan Si Kaki Seribu ke Gunung Leuser. Berbagai peralatan dokumentasi dibawa olehnya. Dari kamera, drone, hingga laptop. Mereka mendaki dibayar. Juga disponsori oleh banyak perusahaan pendukung. Tenda, tas, sepatu, hingga matras yang mereka pakai; bermerek para sponsor. Mantap!
Anggi, Si Kaki Seribu, naik ke dalam kendaraan. Diantar ibunya, di Pom Bensin di dekat Fly Over Jamin Giniting.Makan Siang di Sibolangit
Lewat tengah hari, perjalanan kami sampai di Sibolangit. Ini nama sebuah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Minibus masuk ke pelataran sebuah rumah makan yang bernama Cindelaras. Lokasinya tak jauh dari sebuah masjid. Waktunya makan siang. Sambil mengisi daya baterai ponsel. Sekaligus juga menunaikan sholat dhuhur bagi rekan-rekan saya yang beragama Islam.
Turun dari kendaraan, membuat badan bisa bergerak bebas. Hampir empat jam di dalam minibus, terasa sedikit tersiksa. Padahal Kedah yang menjadi tujuan kami masih jauh. Tapi semoga saja ayam penyet dan es teh manis, yang menjadi menu makan siang saya, bisa menjadi asupan tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Di rumah makan ini, ada banyak kucing yang berseliweran meminta-minta bagian makanan. Saya berbagi seadanya dengan 'harimau-harimau' cilik yang lucu itu.
Makan ditemani 'harimau-harimau' cilik.
Berastagi dan Kabanjahe
Lapar telah terobati, doa telah dipanjatkan. Perjalanan pun dilanjutkan. Perut kenyang memang mengundang kantuk datang. Saya terkantuk-kantuk bersandar di kursi. Perlahan udara dingin menyeruak masuk lewat celah-celah jendela. Kami telah tiba di Berastagi, salah satu kota di dataran tinggi Kabupaten Karo. Pegunungan menghijau membentang di sekeliling kota.
Saya melihat daerah ini seperti Bedugul di Bali. Juga seperti Ciwidey di Jawa Barat. Daerah dingin dengan hasil pertanian melimpah. Ada banyak penjual sayur-mayur dan buah-buahan di pinggir jalan. Terlihat ada banyak penginapan berbagai jenis. Kendaraan-kendaraan berupa mobil pribadi tampak menaikan dan menurunkan wisatawan lokal di beberapa tempat.
Kemudian kami melalui Kabanjahe. Kota lain di Dataran Tinggi Karo yang jaraknya tak begitu jauh dari Berastagi. Anggi, yang fasih dengan daerah ini, menerangkan pada kami tentang gunung-gunung yang terlihat di kejauhan. "Di sana yang sudah kita lewati adalah Sibayak, itu Sinabung, lalu itu Sibuatan" katanya bak seorang pemandu wisata. Kami sempat berhenti di sebuah Indomaret, sekedar membeli minum dan makanan ringan sambil medengarkan kisahnya.
Rehat sejenak sambil menikmati es krim.
Ketika kemudian melalui jalanan tersendat di keramaian, saya mengeluarkan telepon genggam. Memotret beberapa pemandangan yang terlihat di Kabanjahe. Sekelompok petani di atas mobil pick up melaju berlawanan arah dengan kami. Lalu melambaikan tangan. Ketika tahu bahwa saya dan beberapa rekan mengeluarkan kamera, otomatis membuat mereka dadah-dadah melambaikan tangan.
Salah satu petani itu menyilangkan jempol dan telunjuk jarinya. Membuat simbol hati. Yang di kalangan para bintang Korea dan penggemarnya, simbol jari itu dikenal sebagai simbol cinta. Yang populer di berbagai belahan dunia, hingga ke Kabanjahe ini. "Saranghaeyo", begitu terdengar dari beberapa rekan saya yang melihatnya. "Kamsahamnida", begitu balasan dari beberapa yang lain. Tawa pun kemudian pecah.
Simbol cinta itu mengingatkan saya akan sebuah kutipan dari Soe Hok Gie. Ia seorang aktivis mahasiswa sekaligus pecinta alam, pendiri Mapala UI alias Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia. Katanya "Ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan. Yaitu: dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Maka berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, dan belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu."
Makan Malam di Kutacane
Di balik jendela, langit di ufuk barat telah berwarna kuning kemerahan. Malam pun perlahan turun. Dari Google Maps, saya memperhatikan pergerakan posisi. Minibus yang mengangkut kami telah masuk ke wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, sudah bukan di Sumatera Utara lagi. Sopir kemudian berhenti di sebuah mushola. Memberikan kesempatan bagi kami untuk sekedar buang air kecil dan menunaikan ibadah.
Tak sampai sejam setelah perjalanan dilanjutkan, kami berhenti lagi di sebuah rumah makan. Posisi kami di Kutacane, ibukota dari Aceh Tenggara. Kami makan malam, sambil menonton bola di layar telepon genggam. Ada pertandingan Piala AFF antara Malaysia melawan Singapura. Asyraf dan Mazli, yang orang Malaysia, begitu bersemangat mendukung timnas kebanggaan mereka. Sayang, pertandingan berakhir imbang dan Malaysia tak lolos ke babak selanjutnya.
Usai makan, saya sedikit kecewa. Kopi yang saya pesan tak bisa dinikmati. Air yang digunakan menyeduh, sepertinya bukan air yang mendidih. Lalu gulanya juga kebanyakan. Jika Anda penggemar kopi, bisa dibayangkan bagaimana hambarnya minuman yang disajikan ini. Padahal, sudah di Aceh, daerah yang terkenal akan orang-orangnya yang doyan ngopi. Barangkali pelayan rumah makan yang menyajikan kopi ini bukan orang Aceh dan tak pernah ngopi. Kopi yang dibuat, asal saja.
Melalui Kutacane juga mengingatkan saya akan seorang teman di Astacala, Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Telkom: Anatoli Marbun alias Bolenk. Ia yang orang Batak, lahir dan besar di daerah ini. Dulu waktu kami masih sama-sama di Bandung, ia mengungkapkan keinginannya mendaki Gunung Leuser. Katanya, Leuser ibarat sebuah gunung yang ada di halaman belakang rumahnya. Maka sebagai seorang pendaki, tak menyambangi puncaknya terasa kurang afdol.
Kutacane memang sudah berada di kaki gunung yang akan kami daki ini. Saya yang sedari tadi melihat posisi di Google Maps, dengan segera bisa memastikannya. Bahwa Pegunungan Leuser harusnya terlihat dari tempat kami menikmati makan malam, cuman masalahnya hari telah malam. Sebuah perguruan tinggi swasta di kota ini juga dinamai dengan Universitas Gunung Leuser. Saya sempat melihat kampusnya ketika kami masih melaju di dalam minibus.
Tiba di Kedah
Karena sudah malam, saya tak banyak mengingat perjalanan selanjutnya. Yang pasti sudah gelap sehingga pemandangan di luar tak terlihat jelas. Sebagian besar jalur yang kami lalui adalah hutan atau kebun. Berkelok-kelok, menanjak, kadang turun, yang kesemuanya itu membuat kepala pusing. Juga capek. Membuat saya lebih banyak memejamkan mata dan berusaha untuk tidur.
Hingga akhirnya ketika tengah malam, kami memasuki Kota Blangkejeren di Gayo Lues. Suasananya sepi. Toko-toko yang terlihat di pinggir jalan telah tutup. Hanya satu dua kendaraan yang tampak melintas di bawah lampu merkuri. Kampung Kedah, yang menjadi tujuan kami, masih berjarak sekitar sepuluh kilometer dari Blangkejeren.
Ada kejadian lucu sekaligus menegangkan ketika minibus telah meninggalkan Blangkejeren. Jalanan yang menurun dan sedikit curam memicu terjadinya pengereman. Kecepatan kendaraan yang sedikit ngebut, membuat suara rem terdengar menakutkan. Ibu Dian sampai berteriak. "Pak! Pak! Pak...!!!", begitu keras, memanggil pak sopir. Membuat sebagian besar dari kami yang tertidur, terbangun dan panik. Syukurlah, tak terjadi hal apa pun yang tak diinginkan.
Hingga minibus memasuki jalanan di Kampung Kedah. Dan kemudian berhenti di depan sebuah rumah. Akhirnya kami tiba juga di basecamp. Waktu sudah dini hari. Saya melihat Adul menyambut. Ia bersama beberapa orang yang sebagian besar tak saya kenal. Tapi saya bisa memperkirakan, bahwa mereka adalah tim pendukung serta para pemandu lokal di kampung ini. []
I Komang Gde Subagia | Medan - Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment