Ke Negeri Jiran

Bendera Malaysia yang berkibar di Lapangan Merdeka Kuala Lumpur.

Mendaki ke Gunung Leuser ternyata membawa saya pada perjalanan lintas provinsi dan lintas negara. Dari Bali, saya terbang ke Kuala Lumpur di Malaysia. Lalu terbang lagi ke Medan di Sumatera Utara. Kemudian berlanjut dengan perjalanan darat menuju kaki Gunung Leuser di Aceh.

Perjalanan Lokal Lintas Negara

Titik awal pertemuan saya dengan tim pendakian adalah di Medan. Maka dari itu, saya harus ke kota terbesar di Pulau Sumatera tersebut. Dengan berbagai pertimbangan, menggunakan pesawat adalah satu-satunya pilihan transportasi yang saya miliki. 

Membandingkan harga tiket langsung dari Denpasar ke Medan dengan tiket yang transit di Kuala Lumpur atau Singapura, menghasilkan selisih yang sangat signifikan. Saya sampai berdecak 'wow' dan geleng-geleng kepala. Terbang langsung dua kali lipat lebih mahal dibandingkan transit di negeri tetangga.

Beberapa teman saya yang orang Medan, dulu sering bercerita tentang alasannya. Dari Jakarta, mereka selalu pulang kampung lewat Kuala Lumpur atau Singapura. Itu karena harga tiket pesawat menjadi lebih murah. Kini saya mengalami dan merasakannya. Dengan ke Kuala Lumpur, yang cocok dengan jadwal saya, biaya bisa dihemat cukup banyak. Selain itu dengan melakukan transit, saya juga berkesempatan untuk jalan-jalan di luar negeri.

Kenapa bisa demikian? Konon, ada oknum-oknum yang bermain dalam bisnis perjalanan udara. Berbagai 'ongkos tersembunyi' timbul, menyebabkan biaya operasional membengkak. Entah itu benar atau salah. Tapi yang pasti, dengan jarak yang serupa, harga tiket perjalanan ke luar negeri kebanyakan lebih murah dibandingkan perjalanan di dalam negeri. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.

Mencari yang lebih murah, tentu dapatnya maskapai layanan bertarif rendah. Atau yang diistilahkan sebagai Low Cost Carrier (LCC). Dan itu tentunya memberikan banyak pengalaman bagi saya yang sering menggunakannya. Salah satunya yang sering terjadi adalah tentang ketepatan waktu. Saya sampai hapal karena adanya perubahan jadwal, yang biasanya diubah sehari atau dua hari sebelumnya. Kadang dimajukan atau dimundurkan beberapa jam.  

Menurut saya, mengubah jadwal seenaknya dan terjadi berulang adalah praktik tak profesional. Itu diterapkan oleh pihak maskapai sebagai bagian dari strategi penjualan. Tiket dijual dengan berbagai pilihan jam keberangkatan. Tapi ketika tidak semua kursi terisi penuh, salah satu penerbangan sengaja dibatalkan. Penumpang dialihkan ke penerbangan sebelum atau sesudahnya. 

Dalam perjalanan saya dari Denpasar ke Kuala Lumpur ini, saya mengalami perubahan jadwal itu. Saya mendapatkan pesan sehari sebelumnya. Jadwal keberangkatan diundur beberapa jam. Lalu ada keterlambatan lagi setelah jadwal baru sudah ditetapkan. Lalu setelah masuk, pesawat antri lagi di landasan pacu. Alhasil beberapa jam yang sudah dialokasikan untuk melakukan kegiatan di tempat tujuan pun jadi berantakan. 

Saya tak menuliskan nama maskapainya. Tapi Anda yang membaca tulisan ini, bisa mengira-ngiranya.

Niat Hemat, Tapi Bocor Juga

Transit ke Kuala Lumpur memang lebih hemat. Tapi ada yang saya lupakan. Bahwa berbagai ongkos yang berhubungan dengan perjalanan ke luar negeri menjadi lebih mahal. Salah satunya adalah harga wrapping bagasi di terminal keberangkatan internasional. Saya mengira harganya sama dengan harga di terminal domestik. Tidak tanggung-tanggung, harganya tiga kali lipat lebih mahal. Saya pun meringis karena tak ada pilihan. Ini menjadi pelajaran. Lain kali, saya akan melakukannya di rumah saja. Di Tokopedia, harga plastik untuk membungkus tas itu tak seberapa.

Kebocoran anggaran saya yang lain datang dari konter check in. Saya kelebihan bagasi. Tiket yang saya pesan sudah diisi dengan tambahan bagasi sepuluh kilogram. Tetapi akibat tidak menimbang tas lagi di rumah, saat check in diketahui beratnya menjadi delapan belas kilogram. Lebih delapan kilogram. Kata petugas, biaya per satu kilogram sekian ratus ribu rupiah. Mahal! Kalau saya totalkan, jadinya jutaan. Melebihi harga tiket itu sendiri. Petugas kemudian mengatakan 'mau bantu lewat jalan belakang'. Tawar menawar berlangsung. Harga cocok. Transaksi di bawah tangan pun terjadi. Sial! Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya?

Jika saya membeli tambahan bagasi lagi melalui Traveloka, harganya terjangkau. Tapi itu sudah tak memungkinkan karena sudah hari keberangkatan. Menurut saya, perubahan harga secara drastis sebelum berangkat adalah keterlaluan. Sebuah praktik jualan yang licik. Walaupun sebagai penjual sah-sah saja untuk dilakukan. Jualan dengan harga berapa pun, itu hak mereka. Tapi memanfaatkan kesempatan dalam keterdesakan adalah tindakan yang tidak adil. Orang-orang di dunia yang kapitalis ini, sepertinya harus belajar banyak tentang prinsip dasar 'fair trade'.

Masalah bagasi ini menjadi pelajaran berharga. Saya terlalu menyepelekannya, karena selama ini tak pernah bawa barang berlebih. Lain kali saya harus menimbang dengan benar. Memastikan lagi berat barang bawaan sebelum berangkat. Jangan sampai niat menghemat biaya tiket, malah boros karena membayar harga kelebihan bagasi. Setidaknya biaya-biaya yang sifatnya bisa direncanakan dan bukan tak terduga, bisa diantisipasi.

Di Konter Imigrasi

Berikutnya di konter imigrasi. Tak ada kebocoran anggaran di sini. Tapi ada yang membuat saya kesal. Saya lupa, bahwa tak boleh ada cairan dalam bawaan kita ke ruang tunggu. Alhasil, air putih dalam botol terpaksa dibuang di tempat sampah. Kopi kalengan Nescafe yang saya bawa juga diserahkan. Saya bilang, "Kopinya buat Bapak saja", kepada petugas yang memeriksa. Entah akan diminum atau dibuang oleh petugas itu. Sepertinya sih dibuang. Hanya teh hangat dalam tumbler yang lolos karena terlupakan ketika diperiksa. Aneh. Tapi rasanya jadi beruntung.

Kemudian di bagian pemeriksaan indentitas. Paspor saya yang elektronik gagal dibaca mesin pemindai. Padahal paspor baru. Saya coba berulang kali, tetap gagal. Pesan yang tampil di layar menyarankan untuk melakukan pengecekan manual. Di konter petugas yang memeriksa, saya tanyakan kenapa? Kata mereka, alat pemindaian sengaja tidak diaktifkan bagi pemegang paspor Indonesia. Itu untuk meminimalkan kelolosan TKI ilegal. Karena jika diperiksa manual, setiap orang bisa dipastikan mengenai tujuannya ke luar negeri. Bisa begitu, ya? Teknologi jadi tak berfungsi maksimal.

Akhirnya sambil menunggu gate open, saya makan siang. Saya membawa bekal dalam kotak makanan. Menunya nasi putih, telur dadar, dan sayur tauge yang dimasak Asa, istri saya. Saya beli Aqua dan kopi kalengan Nescafe lagi di sebuah toko di ruang tunggu bandara. Tentu saja dengan harga lebih mahal dibandingkan dengan yang sudah dibeli sebelumnya.

Oh ya, rasanya dari tadi saya banyak menulis 'lebih mahal' atau 'lebih murah'. Seperti orang yang 'perhitungan' saja. Selisih tak seberapa, tapi kesan yang timbul seperti orang yang teraniaya. Bukan apa-apa, sebenarnya. Ini lebih kepada rasa tak nyaman menghambur-hamburkan uang. Apalagi untuk hal-hal yang akhirnya mubazir atau terbuang. Kopi kaleng utuh dibuang, kan sayang?

Hingga akhirnya saya masuk pesawat. Lalu menyempatkan diri menulis catatan ini. Pesawat belum berangkat juga. Di luar jendela, saya melihat hujan yang turun sejak berangkat dari rumah sudah reda. Hingga kemudian pesawat bergerak, pesawat antri lagi di landasan pacu. Dari rencana awal berangkat pukul sepuluh pagi, tercatat dalam pengamatan saya pesawat mulai lepas landas menjelang pukul tiga sore. Burung besi ini pun terbang meninggalkan Bandara Ngurah Rai menuju Bandara Internasional Kuala Lumpur.

Mendarat di Kuala Lumpur

Pesawat yang saya tumpangi mendarat sekitar pukul setengah enam sore. Atau mungkin menjelang pukul enam. Di luar jendela pesawat menjelang pendaratan, terhampar perbukitan hijau. Berupa hutan dan perkebunan sawit. Dengan beberapa jalan perkebunan yang coklat di bukit-bukit yang sepertinya baru dibuka. Pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Karena ini adalah pertama kalinya saya ke Malaysia. Perdana menginjakkan kaki di Kuala Lumpur. 

Keluar pesawat, antrian panjang terjadi di pintu imigrasi. Sambil antri, saya berbarengan dengan seorang pemuda asal Medan yang bekerja di Ubud. Ia seorang social media marketer. Ia satu pesawat dengan saya, terlihat familiar dan saya mengingatnya. Ia transit di Kuala Lumpur untuk pulang kampung. Alasannya bisa ditebak: tiketnya lebih murah. Selisihnya hampir dua juta rupiah, katanya. 

Di dalam barisan antrian, sesekali saya melirik layar monitor. Melihat kode penerbangan. Pesannya menyampaikan bahwa pengambilan bagasi sudah last bag. Yang artinya, semua bagasi penumpang sudah keluar dan siap diambil pemiliknya. Saya was-was. Sepertinya tas saya sedang berputar di karosel bagasi tanpa ada yang mengambil.

Hingga akhirnya saya melewati pengecekan imigrasi yang tak menemui banyak masalah berarti. Di sana hanya ditanyai tujuan ke mana. Serta diminta juga memperlihatkan tiket ke Medan, sebagai tujuan berikutnya. Semua lancar jaya. Sepertinya saya tak punya tampang tenaga kerja ilegal untuk dicurigai.

Di pengambilan bagasi, kode penerbangan saya sudah tak ada. Saya cek ke semua karosel, tak ada juga. Panik. Saya bertanya ke seorang petugas, disarankan ke konter maskapai bagian lost and fund bag. Dari sana diminta lagi ke sisi seberang karosel bagasi. Kemungkinan tas saya sudah keluar rol dan diletakkan di sampingnya. Ternyata benar. Tas saya ada. Syukurlah. Untung tak ada tangan jahil yang mengambilnya.

Naik Bus ke Pusat Kota

Berikutnya adalah menuju terminal bus. Di perjalanan, saya melihat ada money changer. Saya menukar lima ratus ribu rupiah di sana. Nilai tukarnya tak bersahabat dengan kantong. Alias kemahalan. Bocor lagi anggaran pengeluaran saya di sini. Bandara memang benar-benar mahal semua.

Beli tiket bus, saya bisa langsung bayar dengan kartu debit BCA. Selama ada logo master card, kartu debit bisa dipakai sebagai alat pembayaran. Oh ya, Bandara Kuala Lumpur memiliki dua terminal: KLIA1 dan KLIA2. Karena saya mendarat di KLIA1, maka bus sempat mampir ke KLIA2 juga untuk mengangkut penumpang di sana. Bus yang tak penuh penumpang pun bergerak keluar bandara.

Tujuan saya adalah Pudu Sentral. Dari Google Maps, akan ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. Sopirnya berwajah India. Sepertinya warga Malaysia keturunan India yang memang ada cukup banyak di Negeri Jiran. Dua etnis terbanyak lainnya: Melayu dan Cina. Lagu-lagu India mengalun di pengeras suara. Musik di bus ternyata selera sang sopir, bukan selera penumpang. Tapi tak apa, sih. 

Di luar sudah gelap. Menjelang masuk ke Jalan Pudu, saya melihat jalur yang ditempuh melewati My Hotel, tempat saya menginap. Ketika saya tanyai, sopir bus tidak memperbolehkan turun di halte bus depan hotel. Padahal itu halte, saya merasa aneh kenapa tidak boleh. Saya enggan juga menanyakannya lebih lanjut. Mungkin karena bus bandara, perlakuannya berbeda dengan bus kota. Ya sudah, saya pun akhirnya turun di Pudu Sentral.

Terminal yang berlokasi di Jalan Pudu ini tak besar-besar amat. Rasanya ini bukan terminal utama di Kuala Lumpur. Saya tak melihat ada bus lain. Juga tak ada loket tempat pembelian tiket. Hanya bangunan dengan pertokoan dan mall, kalau tidak salah mengira. Jarak ke hotel sekitar delapan ratusan meter. Itu cukup dekat. Berjalan kaki ke sana, harusnya bukan masalah.

Tapi tas berjenis duffle bag bawaan saya lumayan berat. Dengan 'wrap' plastik, tas besar ini hanya bisa ditenteng, tak bisa digendong. Kalau mau digendong, saya harus membongkarnya lebih dulu. Saya masih ragu melepas wrap plastiknya. Dengan harapan supaya besok tidak membeli wrap lagi. Kapok, karena harganya pasti mahal di terminal internasional.

Naik Taksi ke Hotel

Sopir bus menunjuk sebuah taksi yang mangkal tak jauh dari tempat kami berhenti. Taksinya tak pakai argo. Tawar menawar, harga disepakati. Saya tanya, kenapa segitu harganya. Dengan pertimbangan jarak ke My Hotel tak lebih dari satu kilometer. Ternyata kendaraan roda empat harus memutar jauh untuk ke sana. Jalannya satu arah. Hal itu membuat saya bisa jalan-jalan dulu, melihat-lihat suasana jalanan Kuala Lumpur dari dalam taksi.

Sopir taksi bernama Ali Khan. Ia pria paruh baya keturunan India Pakistan. Berkewarganegaraan Malaysia. Ali lahir di India. Anak-anaknya lahir, besar, dan bersekolah di Malaysia. Ia banyak bercerita dengan bahasa melayu logat India. Saya tak paham sebagian dari apa yang dibicarakannya. Tapi yang saya tangkap, ia bercerita tentang mencari nafkah dan pulang kampung, sebagai orang India. Ia juga menceritakan orang-orang lain seperti saya di Kuala Lumpur. Sepertinya ia mengira saya adalah orang Indonesia yang bekerja di Malaysia.

Pukul sembilan malam, saya akhirnya tiba dan check in di My Hotel. Kamar yang saya tempati di lantai delapan. Setelah meletakkan tas, saya rebahan di kasur. Kemudian membuka tirai jendela. Perlahan, perut berbunyi keroncongan. Saya mulai lapar. Di bawah sana, terlihat keramaian. Ada tenda-tenda tempat orang berjualan. Sepertinya ada banyak tempat makan di keramaian itu. []


I Komang Gde Subagia | Denpasar - Kuala Lumpur, Desember 2024

Terkait:
Leuser (Bagian 4: Menuju Gayo Lues)


Comments

Post a Comment