Singgah hanya semalam di Kuala Lumpur, membuat saya harus memaksimalkan waktu yang dimiliki. Apa saja yang bisa dilakukan di ibu kota negara serumpun, sebelum berangkat ke Medan untuk memulai perjalanan ke Gunung Leuser?
Bukit Bintang
Tempat saya menginap berlokasi di Bukit Bintang. Ini adalah nama kawasan yang populer di Kuala Lumpur. Ada banyak tempat perbelanjaan, rumah makan, bar, dan klub malam memenuhi setiap sudut tempat ini. Bisa dibilang sebagai pusat keramaian di ibukota Malaysia. Saya memutuskan untuk mencari penginapan di lokasi ini karena hanya singgah semalam. Supaya dekat jalan-jalan ke beberapa tempat menarik dalam waktu singkat.
Sebelum turun ke lobi, saya melihat Google Maps. Mencari rumah makan yang menjual nasi lemak. Ini hidangan khas melayu yang gurih dan harum dengan banyak pilihan lauk. Saat di Singapura dulu, saya selalu mencari menu ini setiap kali mau makan. Karena pas dan cocok di lidah. Lokasi terdekat ada di sebelah hotel. Tapi rumah makan yang memiliki peringkat nilai lebih tinggi, berlokasi sekitar dua ratus meter jauhnya. Saya ke lokasi yang lebih jauh saja. Sekalian jalan-jalan malam.
Menginap di My Hotel.Mau jalan-jalan. Bawa identitas dan uang secukupnya.
Jalan Alor
Dan di sana ternyata ramai. Malah sangat ramai walaupun malam telah larut. Tak hanya nasi lemak yang tersedia, ada banyak menu makanan lain. Dijual di warung-warung tenda dan kios-kios ruko sepanjang jalan. Barisan lampion merah tergantung, melintang di atas jalan, dari satu sisi ke sisi lainnya. Awalnya saya tak tahu jika ini adalah kawasan kuliner. Saya kemudian mengetahuinya saat melihat ponsel ketika menikmati nasi lemak. Inilah Jalan Alor.
Berjalan kaki di sepanjang Jalan Alor membuat saya lapar mata. Ada beragam makanan yang dijual. Kebanyakan menu-menu makanan ala Melayu, Cina, dan India. Berbagai menu sea food dan daging panggang. Berbagai jenis minuman sepeti teh tarik, teh thai, teh oolong, es krim, dan buah-buahan yang disate dilumuri coklat maupun yang dipotong biasa. Ada jagung bakar maupun rebus. Juga ada durian yang harumnya semerbak.
Suasana yang terlihat sangat khas jalanan. Saya malah teringat dengan pasar-pasar senggol yang ada di Bali. Hanya saja, Jalan Alor ini terlihat lebih menarik dan hingar bingar. Tempat untuk menikmati makan dan minum hanya berupa kursi dan meja plastik, bukan kursi atau sofa empuk ala restoran bintang lima. Rasanya itu yang menjadikannya disukai pengunjung, yang sepertinya sebagian besar adalah turis.
Saya memotret dan memvideokan suasana Jalan Alor. Lalu mengirimkannya pada Asa, istri saya. Sekalian berkirim kabar ke rumah. Saya membeli beberapa buah potong dan menikmatinya sambil berjalan-jalan. Ada sedikit rasa khawatir jika ada tukang copet di keramaian ini. Sampai di ujung jalan yang juga ramai, saya memutuskan balik ke hotel. Saya gerah karena belum mandi semenjak berangkat dari rumah. Setelah perut kenyang, balik ke hotel dan menyegarkan badan dengan guyuran air dingin, menjadi pilihan terbaik untuk dilakukan.
Suasana di Jalan Alor, Kuala Lumpur.Ini menu makan malam saya di Jalan Alor: nasi lemak.
Pengamen Jalanan
Usai mandi, saya istirahat. Rasanya begitu nyaman leyeh-leyeh di atas kasur. Keluar lagi untuk jalan-jalan terasa begitu berat. Enggan. Tapi ketika tahu waktu yang saya miliki di Kuala Lumpur terbatas, saya paksakan diri. Lebih baik jalan-jalan lagi. Setidaknya masih bisa dilakukan sampai tengah malam. Saya 'tancap gas' lagi. Keluar hotel. Kembali menuju Jalan Alor, ke arah Pertokoan Bukit Bintang.
Di beberapa sudut pertokoan, ada pengamen yang menunjukkan kebolehannya menyanyi. Penonton yang mengerumuninya banyak. Ini rupanya sudut Bukit Bintang yang terkenal itu. Saya pernah melihatnya di beberapa video Reel Instagram maupun Youtube. Yang pengamennya viral karena memadukan gaya Michael Jackson dan vokalis The Changchuters. Lagunya berjudul "Anak Singkong", penyanyi aslinya adalah Ari Wibowo, biduan lawas dari Indonesia.
Tapi dalam kunjungan perdana saya ke Bukit Bintang ini, pengamennya biasa saja. Tak ada gaya-gaya norak atau menarik perhatian. Suaranya merdu dengan lagu yang hits di era 1980-an itu. Didendangkan pula lagu-lagu dari Peterpan, Wali, juga Judika. Saya merasa aneh. Kok lagunya adalah lagu-lagu dari Indonesia semua? Padahal saya berharap para pengamen itu menyanyikan lagu-lagu melayu seperti "Isabella" atau "Mencari Alasan", misalnya. Bukan apa-apa, biar pas saja dengan suasana saya yang sedang di Malaysia.
Berkaitan dengan kenapa pengamen di Malaysia lebih banyak menyanyikan lagu-lagu Indonesia, rasanya bukan tanpa alasan. Saya pun cari tahu. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih banyak membuat jumlah lagu Indonesia juga lebih banyak. Ditambah faktor bahasa kedua negara sama, lengkap sudah, lagu-lagu Indonesia jadi tak kesulitan diterima di telinga pendengar. Hal itu menyebabkan banyak lagu Indonesia yang populer menjadi populer juga di Malaysia.
Pengamen jalanan di Bukit Bintang yang ramai penonton.Boneka gaya Michael Jackson. Lagunya: Anak Singkong.
Menara Petronas
Dari Bukit Bintang, saya melanjutkan perjalanan ke arah Menara Petronas, ikon kota ini. Tak lengkap jika ke Kuala Lumpur tak mengunjunginya. Jaraknya dari tempat saya menonton aksi pengamen jalanan adalah sekitar dua kilometer. Dari beberapa sudut trotoar yang saya lalui, menara kembar itu tampak bersinar terang. Sesekali hilang dari pandangan karena terhalang gedung-gedung yang lain.
Hingga akhirnya saya tiba di lokasi sesuai petunjuk Google Maps. Tetapi saya jadi kebingungan. Kok menara kembar ini tak ada? Saya celingukan melihat-lihat ke atas mencari sumber cahaya terang. Ternyata dua pencakar langit itu sudah ada di depan saya. Saya tak menyadarinya karena lampu-lampunya telah dipadamkan. Ah, sudah lewat tengah malam rupaya. Dari informasi yang saya dapatkan, lampu menara itu selalu dipadamkan tepat pada pukul dua belas malam.
Sejak diresmikan pada tahun 1999, Menara Petronas pernah menyandang sebagai gedung tertinggi di dunia hingga tahun 2004. Ketinggiannya dilampaui oleh Burj Khalifa di Dubai dan Taipei 101 di Taiwan. Tapi sebagai menara kembar, Menara Petronas tetap menyandang sebagai menara kembar tertinggi di dunia hingga saat ini, setelah WTC di New York tidak ada. Penamaan 'si twin tower' merujuk fungsinya sebagai kantor pusat perusahaan minyak Malaysia, Petronas itu sendiri.
Lihat! Itu Menara Kembar Petronas. Menyala terang di kejauhan.Tukang Foto Keliling
Akhirnya dengan sedikit kecewa, saya hanya bisa foto-foto dengan latar belakang gedung itu yang lampunya telah padam. Di sekitar, di tempat saya berdiri memandangi gedung itu, ada banyak tukang foto keliling. Salah satunya mendekati saya, menawarkan jasa. Satu foto dihargai sepuluh ringgit. Karena sudah malam, ia memberi diskon tanpa saya menawar: dua foto sepuluh ringgit. Ya sudah, saya memintanya memotret.
Saat foto dikirim lewat Whatsapp, saya jadi tahu nama sang fotografer. Tercantum di nomor pengirim. Tertulis: Ewin. Ia bicara menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar. Saya tanya ia orang mana, ia orang Malaysia. Logat dan bahasanya menyesuaikan, karena ia tahu saya dari Indonesia. Melihat para fotografer yang menawarkan jasa foto, mengingatkan saya akan tempat-tempat wisata di Indonesia. Seperti yang saya lihat di Braga dan Alun-alun Bandung beberapa bulan sebelumnya.
Oh ya. Sewaktu hendak membayar foto, saya membayar menggunakan Qris. Dari internet, informasi yang saya dapat sebelumnya mengatakan bahwa Qris bisa dipakai di Malaysia. Terintegrasi dengan Duit Now, semacam metode pembayaran dengan QR code juga. Tapi kode batang yang diperlihatkan Ewin tak dikenali. Entah Duit Now atau Qris yang bermasalah. Akhirnya saya bayar dengan pecahan lima puluh ringgit. Ia mencarikan kembalian ke salah satu temannya sesama fotografer di sana.
Eksis dulu di depan Menara Petronas, walaupun lampu-lampunya telah padam.Kembali ke Hotel
Pukul satu malam lewat. Saya kembali ke hotel. Saya merasa jalan-jalan tengah malam di kawasan Menara Petronas dan Bukit Bintang cukup aman. Walaupun tidak ramai, tapi tidak sepi-sepi amat. Ada saja orang yang lalu-lalang seperti satpam yang sedang berjaga, beberapa orang yang mengendarai sepeda listrik menyusuri trotoar, dan beberapa pedagang yang masih buka. Juga pengemis atau gelandangan yang tidur di emperan toko yang tutup.
Hari berikutnya. Saya tak sanggup bangun pagi. Penyebabnya apa lagi kalau bukan karena begadang, jalan-jalan ke Menara Petronas sampai dini hari. Alarm yang berbunyi pukul setengah tujuh pagi tak berguna. Saya mematikannya dan melanjutkan tidur lagi sampai pukul setengah sembilan.
Rencana saya hari ini adalah sightseeing Kuala Lumpur. Yang mau saya kunjungi: Masjid Jamek, Independence Square, Sungai Kelang, dan sekitarnya. Semua itu merupakan kawasan bersejarah penting yang berkaitan dengan berdirinya Kota Kuala Lumpur. Usai mandi dan sarapan, saya pun bergegas menuju tempat-tempat ini.
Kembali ke hotel lewat Jalan Alor lagi. Masih ramai walaupun sudah dini hari.Di Kuala Lumpur, ada banyak tuna wisma. 😯
Masjid Jamek
Tujuan pertama saya adalah Masjid Jamek, masjid tertua di Kuala Lumpur yang dibangun pada awal abad ke-20. Dari tempat menginap, saya berjalan kaki menuju Pudu Sentral, terminal tempat saya turun kemarin. Lalu terus hingga sampai ke Stasiun Masjid Jamek. Masjid ada di seberang stasiun. Saya celingukan karena masjidnya tak kelihatan jelas. Mana masjid bersejarah yang dimaksud itu?
Lalu saya menyusuri jalan setapak di antara bangunan tua yang cukup terawat. Hingga kemudian sampai di sebuah jembatan melengkung yang tampak menarik. Dari atas jembatan ini, saya melihat bangunan tua besar dengan menara jam besar. Juga berlatar bendera Malaysia yang berkibar di sebuah tiang menjulang tinggi di belakangnya. Tempat ini cukup asri.
Setelah menyeberangi jembatan, barulah kemudian saya mengetahui dari papan informasi. Bahwa sungai yang saya seberangi ini adalah Sungai Gombak. Yang beberapa meter berikutnya, akan bertemu dengan Sungai Kelang. Dari pertemuan sungai inilah peradaban kota bermula, yang berkembang seiring waktu. Kuala Lumpur sendiri berarti 'pertemuan berlumpur', merujuk pada delta yang terbentuk dari pertemuan dua sungai tadi.
Pemandangan yang saya lihat dari atas jembatan.Lapangan Merdeka
Tujuan saya selanjutnya adalah Independence Square alias Lapangan Merdeka. Saya menyeberangi jalan raya yang cukup ramai. Kibaran bendera yang saya lihat sebelummya ada di lapangan ini. Tiangnya yang besar dan tinggi, kokoh berdiri di ujung lapangan. Dulu pada 31 Agustus 1957, lapangan ini menjadi saksi diturunkannya bendera Britania Raya. Yang kemudian diganti dengan bendera Federasi Malaya. Ia berkibar untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, peristiwa tersebut mejadi tonggak Hari Kemerdekan Malaysia.
Di sekitar lapangan, ada perkantoran. Bangunannya berupa gedung-gedung bersejarah. Ada kantor pos, perpustakaan, bank peninggalan kolonial, museum nasional, juga museum tekstil. Yang paling mencolok adalah Bangunan Sultan Abdul Samad. Saya katakan mencolok karena tampak paling unik. Gedungnya besar, memiliki kubah dengan menara jam di puncaknya.
Sebelum Negara Federasi Malaysia resmi berdiri, wilayah Semenanjung Malaya memang sudah dikuasai Inggris sejak lama. Maka tak heran banyak gedung peninggalan kolonia Eropa itu tetap berdiri dan dilestarikan hingga kini. Menjadikannya area kota tua yang eksotis. Menawarkan wisata heritage yang menarik. Maka jika ke Kuala Lumpur, jangan sampai melewatkan jalan-jalan di sekitar Lapangan Merdeka ini.
Selain saya, ada banyak wisatawan berlalu lalang. Bahkan ada beberapa rombongan dengan pemandu. Saya melilhat sang pemandu menjelaskan kisah-kisah tempat ini. Di salah satu sisi lapangan, ada spot foto bertuliskan 'I love Kuala Lumpur'. Di mana kata 'love' ini bertanda hati. Beberapa wisatawan antri berfoto di sana. Beberapa di antaranya adalah tiga pemuda yang merupakan wisatawan dari Cina. Mereka meminta bantuan saya untuk mengambilkan gambar.
Lapangan Merdeka Kuala Lumpur.Jadi turis jadul: mainnya ke perpustakaan.
China Town
Siang makin bertambah terik. Waktu saya untuk check out di hotel makin dekat. Saya melanjutkan jalan kaki menyusuri jalanan yang searah kembali ke My Hotel. Sambil jalan, saya menyadari bahwa di Kuala Lumpur ada banyak sepeda motor lawas. Jenisnya sekelas Honda Astrea Prima atau Star. Dan itu rasanya sepeda motor berusia tua. Dipakai oleh penggunanya sebagai kebutuhan harian, bukan untuk hobi layaknya motor-motor tua diperlakukan di kota-kota di Indonesia.
Sambil makan dua potong buah nanas yang saya beli di pinggir jalan, saya memperhatikan sekitar. Saya berpapasan dengan pemuda-pemuda wisatawan Cina yang saya temui sebelumnya di Lapangan Merdeka. Salah satunya lebih dulu menyapa saya. Mereka mau ke Sentral Market. Saya tak tahu itu di mana. Saya pun mengikuti mereka hingga tiba di sebuah keramaian.
Saya cek, ternyata itu adalah China Town. Atau dikenal juga dengan sebutan Petaling Street. Pudu Sentral yang saya jadikan patokan sudah tak jauh jika dari kawasan pecinan ini. Tadi, saya sempat melihat bangunannya. Saya mengingatnya saat tiba di Kuala Lumpur kemarin. Mirip seperti Jalan Alor, kawasan ini menjadi tempat street food. Berbagai ragam kuliner dijajakan. Juga dilengkapi dengan berbagai barang seperti pakaian dan kebutuhan sehari-hari. Dan tentu saja dilengkapi dengan pernak-pernik khas Cina.
Dan gara-gara blusukan di China Town, saya malah kelimpungan. Kehilangan arah. Hingga akhirnya setelah berbalik arah dan bernavigasi ulang di Google Maps, akhirnya tiba juga di Pudu Sentral. Dari sini, sudah jelas arah saya kembali ke My Hotel, tempat saya menginap. Saya harus segera check out karena sudah waktunya. Saya sempatkan juga untuk makan siang di sebuah rumah makan nasi kare khas India, yang sangat mirip dengan nasi lemak.
Perjalalanan di salah satu sudut Kota Kuala Lumpur.Pertemuan
Hari telah menjelang sore. Sedari siang, saya sudah dikabari oleh Irpan Asdi yang telah mendarat di Kuala Lumpur. Ia rekan saya dari Lampung yang akan ikut dalam pendakian ke Leuser. Saya mengenalnya sewaktu pendakian ke Binaiya di Maluku setahun sebelumnya. Karena saran Irpan lah, saya ke Medan dengan transit di Kuala Lumpur. Kami akan bertemu rekan-rekan pendakian lainnya di Kuala Lumpur. Yang mana malam ini kami akan berangkat bersama ke Medan.
Irpan tidak ke pusat kota Kuala Lumpur. Ia hanya ke Puchong, kota lain di Negara Bagian Selangor di Malaysia. Jaraknya tak jauh dari Kuala Lumpur, hanya sekitar dua puluh kilometer. Di Puchong, ada rekan-rekan pendakian dari Malaysia yang juga sudah saya kenal semenjak ke Binaiya. Mereka adalah Duwi Purniawati yang biasa saya panggil dengan Kak Duwi, Mazlan, dan Asyraf Azman. Juga ada Mazli, satu pendaki lain yang akan bergabung dalam pendakian ke Leuser ini.
Sebenarnya, saya berencana ke Puchong juga. Tapi melihat waktu saya di Kuala Lumpur tak banyak, niat mampir ke sana diurungkan. Walaupun dari Kuala Lumpur ke Puchong searah dengan bandara, rasanya tak efisien juga. Kak Duwi dan Mazlan memiliki rumah makan nasi lemak di Puchong. Jika mampir ke sana, saya berkeinginan mencoba makanan masakan mereka. Kata rekan-rekan saya yang lain, nasi lemak mereka terkenal di kota itu.
Saya berangkat ke bandara dari Kuala Lumpur Sentral. Tempat yang sering disingkat dengan KL Sentral ini adalah pusat pertemuan arus transportasi di Kuala Lumpur. Selain terminal bus, ada stasiun utama kereta juga di sini. Jurusan ke mana pun di Malaysia, sebagian besar bisa dilayani di terminal ini, termasuk ke Singapura. Tak perlu menunggu lama, bus yang saya pesan berangkat sesuai jadwal. Tepat waktu. Kurang lebih butuh satu jam perjalanan untuk sampai di bandara.
Dan di bandara, sudah menunggu Dian Andayani. Ia juga rekan kami yang bareng ke Binaiya sebelumnya. Bergabung lagi dengan tim pendakian ke Leuser. Ia dari Lombok dan transit di Kuala Lumpur seperti saya dan Irpan. Hanya saja, ia langsung transit tanpa pergi ke pusat kota. Katanya, ia akan jalan-jalan di Kuala Lumpur sepulang dari mendaki saja. Ia sudah menunggu kami di bandara untuk berangkat dengan pesawat yang sama ke Medan.
Siap-siap ke bandara.Terbang ke Medan
Saya tiba di bandara. Suasana menjelang akhir tahun begitu terasa. Bandara utama di Malaysia ini ramai. Saya baru memperhatikan bahwa ada banyak hiasan dan pernak-pernik Natal terpasang di tiap sudut. Ibu Dian yang menunggu, mengirimkan fotonya yang sedang duduk di samping pohon natal. Bak detektif, saya temukan tempatnya. Eh, dia sudah pindah posisi. Akhirnya kami pun bertemu di dekat mushola sambil menunggu yang lain. "Abis sholat magrib" katanya.
Saya yang dua hari ini tak memperhatikan perkembangan di grup, mendapatkan kabar bahwa peserta pendakian bertambah. Ada beberapa konten kreator juga yang ikut. Jika dihitung jumlahnya, kami bersama tim pendukung dan para porter, sepertinya melebihi tiga puluh orang. Jumlah tepatnya akan saya ketahui nanti, saat tiba di basecamp pendakian. Wah, makin ramai dan menarik.
Berikutnya saya bertemu dengan Asyraf. Lalu menyusul berbarengan Kak Duwi, Mazlan, Mazli, dan Irpan yang ngintil di belakang mereka. Kami pun lengkap. Dan seperti yang sudah diumumkan di grup, Kak Duwi membawakan kami buah tangan. Berupa jersey pendakian ke Leuser. Berwarna merah hati dengan logo bendera Malaysia dan Indonesia di lengannya. Di bagian punggung jersey itu bertuliskan: Leuser, Atap Negeri Aceh. Terima kasih banyak, Kak Duwi! Jersey ini menjadi kenang-kenangan yang berharga.
Selepas pukul sepuluh malam, setelah melewati berbagai proses check in, pesawat pun menerbangkan kami menuju Medan. Hanya Irpan yang pesawatnya berbeda dengan yang kami tumpangi. Selisih beberapa menit, tapi sama-sama ke Medan. Di mana nanti ketika sampai di Bandara Kuala Namu, akan bergabung juga Naomi Melda dari Jakarta. Ia juga rekan kami sewaktu ke Binaiya dulu.
Besok pagi, semua anggota tim pendakian, yang berasal dari berbagai penjuru negeri, akan berkumpul lagi di Kuala Namu. Kami akan berangkat bersama dari bandara ini untuk ke Gayo Lues di Aceh. []
I Komang Gde Subagia | Kuala Lumpur, Desember 2024
Comments
Post a Comment