Panggilan dari Leuser

Puncak tertinggi Gunung Leuser di Gayo Lues, Nangroe Aceh Darussalam.

Secangkir kopi menemani rehat saya pada suatu siang di akhir pekan. Sambil menyaksikan video klip lagu-lagu mancanegara di layar kaca. Lama-lama, terasa sedikit membosankan. Saya ganti saja tayangan Youtube itu. Kemudian adegan berganti dengan pemandangan seekor rangkong. Burung berparuh kuning dengan jambul kemerahan itu, melompat terbang dari dahan pohon. Di sekitarnya, latar hijau dedaunan.

Berawal dari Barack Obama

Lalu saya menyaksikan Barack Obama berbicara. Sang mantan Presiden Amerika Serikat memberikan narasi dalam sebuah tayangan singkat. Itu adalah cuplikan sebuah seri dokumenter "Our Great National Parks". Seri yang bercerita tentang taman-taman nasional spektakuler di beberapa penjuru bumi. Di mana salah satu taman nasional yang dibahas adalah Taman Nasional Gunung Leuser di Indonesia.

Saya tertarik. Tak butuh waktu lama, Youtube pun saya alihkan ke Netflix. Tayangan lengkap menyeluruh tentang taman-taman nasional itu hanya ada di layanan video streaming berbayar tersebut. Untung saja beberapa tahun belakangan ini, semenjak pandemi covid, istri saya berlangganan salah satu paketnya. Biasanya digunakan untuk menonton serial-serial drama Korea. Sesekali saya manfaatkan untuk menikmati tayangan dokumenter, seperti sekarang, untuk menonton kisah sebuah taman nasional.

Tayangan singkat "Our Great National Parks" yang dibawakan oleh Barack Obama.

Taman Nasional Gunung Leuser

Dari tayangan Netflix itu, dijelaskan bahwa Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia. Namanya diambil dari gunung yang ada di sana: Gunung Leuser. Luasnya delapan ratus ribuan hektar, mencakup ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi. Diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, persis seperti gunung dan hutan yang saya bayangkan sebelum menontonnya.

Walaupun Gunung Leuser berlokasi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, kawasan keseluruhan taman nasional tidak berada di Negeri Serambi Mekah saja. Sebagian besar kawasan juga berada di Provinsi Sumatera Utara. Pegunungannya yang megah menjadi bagian Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Sambung menyambung dari ujung ke ujung, berbaris di sepanjang pulau seperti namanya. Terbentang dari Lampung di selatan, hingga ke Aceh di utara.

Taman Nasional Gunung Leuser menjadi menarik untuk dibahas. Ia menjadi kawasan konservasi satu-satunya yang dihuni bersamaan oleh empat satwa penting yang terancam punah dan dilindungi. Satwa-satwa tersebut adalah: orang utan, gajah, badak, dan harimau. Yang tentu saja selain keempat satwa itu, ada juga satwa-satwa unik dan langka lainnya seperti beruang madu, anjing hutan, siamang, rangkong, serta berbagai jenis burung, primata, serangga, dan sebagainya.

”Di seluruh dunia, semakin terisolasi suatu taman nasional, semakin makhluknya tidak biasa, dan semakin luar biasa perilaku mereka.” Begitu teks yang tertulis seperti yang diucapkan Obama dalam narasinya. Menjaganya untuk tetap lestari, adalah tugas kita bersama. Karena apapun yang terjadi di dalam taman nasional, itu akan berpengaruh juga pada kita semua, umat manusia.

Ajakan Datang

Sejak menonton tayangan itu, saya tak menyangka akan berencana mengunjungi Leuser dalam waktu dekat. Ajakan datang dari teman-teman sependakian setahun sebelumnya, sewaktu saya ke Gunung Binaiya di Maluku. Belakangan ini, teman-teman sependakian saya tersebut mengajak untuk reuni dengan mendaki ke Gunung Leuser. Beberapa dari mereka sudah seratus persen akan berangkat dan telah bersiap. "Ayo kita reuni di Leuser", begitu salah satu di antaranya mengompori.

Ajakan itu tentu menarik, sekaligus menantang. Mendaki Gunung Leuser membutuhkan waktu yang lama, setidaknya dua belas hari pendakian normal. Gunung ini dikenal memiliki jalur pendakian terpanjang di Asia Tenggara. Tidak hanya membutuhkan fisik yang prima, kondisi mental untuk berada di hutan berhari-hari juga harus tangguh. Apalagi rencana pendakian akan dilakukan pada akhir tahun, yang artinya itu adalah musim hujan. Persiapan harus benar-benar matang.

Abdul Kholik alias Adul, pemilik agen perjalanan Shelter Garut yang melayani perjalanan-perjalanan pendakian gunung di Indonesia, bahkan menegaskan. Katanya, mendaki ke Leuser adalah pendakian yang memiliki katagori 'ekspedisi'. Ke Leuser bukan sekedar 'wisata mendaki gunung' biasa, yang beberapa tahun belakangan begitu populer. Walaupun katagori ekspedisi itu masih bisa kita perdebatkan spesifikasinya, saya sepakat dengannya.

Sebagai agen perjalanan yang bersifat komersial, Adul menambahkan bahwa ia tak sembarangan menerima pendaki yang berminat ke Leuser. Bukan sekedar sanggup membayar biaya saja. Ia akan melakukan seleksi. Ia akan menyaring pendaki berdasarkan pengalaman dan jam terbang pendakian. Setidaknya itu biasa ia ketahui dari pengamatannya membawa orang-orang yang pernah melakukan perjalanan bersama Shelter Garut sebelumnya. 

Waspada pada Harimau

Satu hal penting yang menjadi perhatian ketika niat makin bulat untuk ke Leuser adalah harimau sumatera. Ketika saya sudah bergabung ke dalam tim, berkali-kali pengetahuan serta tips dan trik tentang harimau dibahas di grup percakapan. Bahkan topik harimau itu terdengar membosankan. Bukan bertambah tenang, malah menjadikan kami lebih khawatir. Sebagian anggota tim merasakannya menjadi 'pamali'. Karena jika sering disebut dan dibahas, hal-hal yang dikhawatirkan itu dipercaya lebih mungkin menjadi kenyataan.

Pembahasan dan kekhawatiran itu memang bukan tanpa alasan. Di Leuser, para pendaki harus berbagi ruang yang sama dengan kucing besar, yang jenisnya adalah satu-satunya dinyatakan masih tersisa di Indonesia. Mendaki ke sana ibarat bermain dan masuk ke rumahnya. Apalagi di sana berhari-hari. Potensi bertemu dengan sang karnivora sumatera menjadi sebuah momen yang bukan mustahil. Rasa takut bercampur menjadi satu dengan rasa ingin tahu.

Dari informasi yang telah kami bahas, warga setempat di sekitar Gunung Leuser pantang menyebut nama harimau secara langsung. Apalagi kalau sedang di dalam hutan. Jika memang diperlukan, kita wajib menyebutnya dengan panggilan 'nenek'. Itu adalah bentuk penghormatan pada hewan yang menjadi pemuncak rantai makanan. Di beberapa daerah lain di Sumatera, harimau kadang dipanggil juga dengan sebutan lain. Seperti dipanggil 'ompung' di Sumatera Utara. Ada juga dipanggil 'inyiak' atau 'datuk' di kawasan Sumatera Barat dan sekitarnya.

Harimau sumatera yang saya lihat di Kebun Binatang Ragunan beberapa tahun lalu.

Persiapan Pendakian

Ketika saya telah membuat keputusan, bahwa niat sudah bulat untuk bergabung dengan tim pendakian, maka persiapan dilakukan. Fisik, mental, keterampilan, peralatan dan logistik, waktu, serta biaya. Semua itu adalah hal-hal paling krusial yang harus benar-benar diperhatikan. Setidaknya potensi bahaya, yang timbul dari kita sebagai pelaku kegiatan, bisa diminimalkan. Dalam ilmu Health Safety and Environment (HSE), potensi bahaya yang dikenal sebagai 'subject danger' itu, kalau bisa diusahakan tidak ada sama sekali.

Buku tentang Taman Nasional Gunung Leuser.

Selama ini, saya sudah rutin latihan beban dan berolahraga lari. Tiga puluh menit 'workout' bervariasi di rumah sebelum mandi, lari dua hingga tiga hari sekali di 'jogging track' terdekat, lari lintas alam dua mingguan bersama Komunitas Bali Trail Running, serta mengikuti tantangan olahraga bersama Komunitas Saraswati Runners secara daring di Strava, yang masih berlangsung sampai lima bulan terakhir. Rasanya untuk persiapan fisik, itu sudah sangat cukup. Tinggal dijaga untuk tetap dilakukan dan terus konsisten. 

Sementara dari sisi mental, rasanya saya juga cukup percaya diri. Beberapa tahun belakangan, saya telah menuntaskan pendakian sepuluh puncak gunung di Bali. Sementara di luar Bali dalam rentang dua tahun terakhir, saya sudah mendaki ke Argopuro di Jawa Timur, Tambora di Sumbawa, dan Binaiya di Maluku. Belum lagi bertahun-tahun sebelumnya semenjak kuliah,  bekal pengetahuan dan pengalaman kepecintaalaman yang saya dapatkan di Astacala, masih saya ingat. Itu membuat saya makin yakin.

Salah satu kegiatan lari lintas alam saya di Gunung Batur, Bali.

Hal lain yang saya lakukan adalah analisa jalur pendakian di atas kertas. Walaupun Adul mengatakan akan membagikan berkas gpx saat bertemu di 'basecamp' pendakian, saya tak bisa menunggu terlalu lama. Dari berbagai sumber di internet, saya akhirnya mendapatkan titik-titik kamp Gunung Leuser yang akan kami gunakan nanti. Hanya saja tak ada jalurnya. Maka dari itu, saya memperkirakan punggungan-punggungan gunung yang akan dilalui dengan menghubungkan titik-titik kamp tersebut. Tentu saja itu bisa dikoreksi lagi saat pendakian yang sebenarnya di lapangan.

Melakukan analisa jalur pendakian di Gaia GPS.

Tenda, alat memasak, dan peralatan kelompok lainnya sudah disiapkan oleh Shelter Garut sebagai penyelenggara. Saya hanya menyiapkan peralatan pribadi. Seperti membawa dua set pakaian lapangan dan dua set pakaian tidur. Keputusan ini saya ambil karena akan berada di hutan dalam waktu lama dan musim hujan. Saya memperkirakan pendakian nanti akan banyak dilalui dalam kondisi basah. Saya yang tak pernah membawa 'trekking pool', kali ini memasukkan alat itu ke dalam daftar bawaan. Entah ide ini datang dari mana. Saya hanya berpikir 'bodoh' bahwa tongkat mendaki bisa digunakan sebagai senjata. Untuk menakut-nakuti harimau jika pertemuan dengan kucing besar itu terjadi tak terduga. Hahaha!

Lalu bagaimana dengan persiapan logistik? Ini juga menjadi pekerjaan yang memerlukan detail. Saya pernah menjadi siswa maupun panitia pendidikan dasar kepecintaalaman. Melalui hari-hari di hutan, di kaki tebing, di tepian sungai; dalam waktu dua minggu penuh. Urusan makan menjadi perkara yang sedikit rumit. Salah menyiapkan menu bisa menyebabkan masalah. Berada jauh dari peradaban berpotensi membuat nafsu makan tak terkendali. Atau sebaliknya, keinginan makan bisa hilang sama sekali. Maka saya membuat paket logistik bervariasi, sebanyak dua belas bungkus, sejumlah hari yang akan saya lalui di Gunung Leuser. Dengan menerapkan cara itu, ketersediaan logistik akan terjamin setiap harinya. Saya tak perlu khawatir kehabisan bekal pada hari-hari pertama.

Dan tentu saja yang tak kalah penting adalah menyiapkan waktu dan biaya. Sebagai seorang buruh di depan komputer yang harus menjaga profesionalisme, saya sudah mengajukan cuti dan berkordinasi jauh-jauh hari. Komunikasi yang jelas juga telah dilakukan dengan perusahaan tempat saya bekerja. Juga dengan klien yang berhubungan dengan proyek yang sedang digarap. Lalu biaya yang diperlukan juga harus dihitung cermat. Mulai dari transportasi, akomodasi, biaya bersama untuk tim pendakian, serta biaya-biaya lain yang mungkin tak terduga nantinya. Literasi dan praktik mengelola keuangan yang baik menjadi catatan penting di sini.

Selanjutnya Apa?

Hari-hari pun berlalu mendekati akhir tahun. Pertanda waktu pendakian akan dilaksanakan. Grup Whatsapp yang menjadi tempat berkumpul secara daring makin ramai. Briefing dan tanya jawab makin intens. Hingga akhirnya pagi itu, saya mulai bergerak meninggalkan rumah di Denpasar. Saya berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Memulai perjalanan keluar kota, dengan tujuan utama mendaki ke Gunung Leuser. []


I Komang Gde Subagia | Denpasar, Desember 2024

Terkait:
Leuser (Bagian 4: Menuju Gayo Lues)
Leuser (Bagian 5: Pendakian Hari Pertama)
Leuser (Bagian 6: Puncak Angkasan)

Comments