Skip to main content

Naik Kapal

Awan mendung bergelayut di langit pada sore ini. Seharian, Ambon diguyur hujan. Bahkan sesekali, gerimis masih turun. Kondisi ini menambah kesyahduan bagi saya menjelang keberangkatan ke Pulau Damer. Walaupun saya menyukai perjalanan, selalu ada perasaan aneh berkecamuk di dada. Seperti adrenalin yang membuncah, di mana kecemasan bercampur aduk dengan rasa penasaran dan ingin tahu. Entah apa yang akan ditemui dalam perjalanan ini. Dan hujan jadi melengkapi suasana di hati.


Bekal Perjalanan

Kami telah 'check out' dari hotel tempat menginap. Dalam perjalanan menuju pelabuhan, kami mampir membeli nasi goreng merah. Begitu nasi itu disebut. Sepertinya karena warung yang menjualnya adalah warung 'chinesee food', di mana menu-menu mereka cenderung berwarna merah dan berbahan babi. Nasi goreng itu dibungkus untuk dijadikan bekal selama di kapal nanti.

Kata Om Nicky yang mengantar kami, porsi sebungkus nasi goreng itu melimpah. Di Ambon, porsi sebungkus nasi memang banyak. Dan itu adalah hal yang lumrah. Jadi kami disarankan membeli dua bungkus saja. Itu cukup untuk kami berempat: saya, Asa, Andre, dan Candra. Maka dua porsi pun dipesan, untuk dibagi lagi menjadi empat bungkus. 

Hal yang aneh adalah kami dikenai biaya tambahan dengan pesanan itu. Tambahan biaya untuk dua bungkus ekstra dan tambahan biaya untuk kertas nota yang diminta. Karena nambah bungkusan, okelah dikenai biaya lagi. Tapi nota dikenai biaya? Sungguh pedagang itu begitu pelit dan perhitungan, menurut saya. Malah ditanyakan, mau ditulis dengan nominal berapa di nota tersebut. itu hal yang menunjukkan budaya korupsi sudah sangat berakar di negeri ini.


Naik Kapal

Pelabuhan yang kami tuju bernama Pelabuhan Slamet Riyadi. Ini adalah pelabuhan khusus untuk kapal cepat yang melayani pelayaran antar pulau di Maluku. Pelabuhan ini juga berdampingan dengan Pelabuhan Yos Sudarso, pelabuhan lain yang lebih difungsikan untuk kegiatan pengiriman barang dan pelayaran dengan kapal-kapal yang lebih besar.

Beberapa jam sebelum keberangkatan kapal, kami sudah tiba dan siap di pelabuhan. Lebih baik datang awal daripada terlambat dan berpotensi ketinggalan kapal. Selain itu, bawaan yang banyak juga menjadi pertimbangan. Waktu yang cukup, menjadikan kami lebih leluasa memasukkan dan mengatur barang-barang.

Kapal-kapal cepat yang sebagian besar bernama Cantika Lestari bersandar di beberapa dermaga. Kapal-kapal itulah yang melayani transportasi laut di Maluku. Nomor-nomor di lambungnya membedakan jurusan perjalanan mereka. Seperti misalnya kami yang menaiki Cantika Lestari 9F tujuan Maluku Barat Daya. Pulau-pulau yang dituju adalah Damer, Moa, Leti, Kisar, Wetar. Lalu kemudian akan kembali lagi ke Ambon.

Dua orang kuli angkut membantu kami menaikkan barang-barang ke kamar. Tiket penumpang yang kami pesan untuk empat orang, ditambah satu tiket untuk kamar tipe vvip. Kamar ini berukuran besar, berpendingin ruangan, dengan tempat tidur yang luas atau bertingkat, serta kamar mandi dalam. Juga dilengkapi dengan lemari kecil dan sumber listrik untuk mengisi daya telepon genggam atau laptop.

Sebagai informasi, jika kita menumpang kapal ini, tiket penumpang adalah hal wajib yang harus kita miliki. Dengan tiket penumpang, kita mendapatkan fasilitas umum berupa satu tempat istirahat berupa dipan yang bisa kita pilih secara acak. Dipan ini jumlahnya banyak, memenuhi isi kapal di dua lantai tengah. Mirip seperti kapal yang saya tumpangi sewaktu perjalanan dari Bitung ke Ternate beberapa tahun sebelumnya.

Selain tiket penumpang, kita juga bisa memesan satu tiket kamar yang pilihannya ada dua jenis: vip dan vvip. Kamar-kamar ini berada di lantai kapal paling atas. Sejajar dengan ruang kemudi. Jika kamar vvip sudah saya jelaskan sebelumnya, maka jenis kamar vip ukurannya lebih kecil, dengan kipas angin, dan tanpa kamar mandi dalam. Ada belasan kamar jenis vip di dek kapal paling atas ini.


Suasana di Dalam Kapal

Jembatan dari baja yang tak cukup lebar menghubungkan kapal dengan dermaga. Kami memasuki kapal bergiliran dengan hati-hati. Kuli-kuli angkut tampak sibuk mondar-mandir mengangkut berbagai barang milik penumpang. Kardus dan kantong-kantong plastik dengan berbagai isi, banyak sekali jumlahnya. Ada juga beberapa sepeda motor. Ada beberapa sak semen. Ada beberapa ekor kambing yang kemudian diikat di dek belakang paling bawah.

Di dek belakang paling atas, ada kantin. Di sampingnya ada kamar yang sepertinya adalah gudang. Di sanalah saya melihat banyak orang mengantri. Ternyata itu adalah tempat penitipan dan pengiriman barang ke Maluku Barat Daya. Kamar gudang tersebut tampak penuh hingga barang-barangnya berjejalan keluar. Petugas sibuk mencatat siapa menitipkan apa, ditujukan ke mana, dan akan diterima oleh siapa.

Sepertinya, proses memasukkan dan mendata barang inilah yang memakan waktu lama. Para penumpang banyak menunggu di luar kapal. Mereka tampak bosan, duduk-duduk di tepian dermaga. Termasuk saya sendiri turut bosan menuggu keberangkatan kapal yang rasanya masih akan tetap bersandar beberapa jam ke depan. Om Nicky sudah tak tampak sejak memastikan kami dan barang-barang bawaan kami sudah masuk ke dalam kapal.

Dari atas kapal, saya melihat proses bongkar muat barang di Pelabuhan Yos Sudarso. Crane melintang di atas, mengambil peti-peti kemas dan meletakkannya di atas truk pengangkut. Petugas-petugas pelabuhan tampak kecil. Saya begidik ngeri membayangkan peti-peti kemas yang besar dan berat itu menggantung dan melayang-layang di atas dermaga.


Bertemu Edi dan Ojare

Jadwal keberangkatan kapal adalah pukul enam sore. Tapi hingga langit berubah gelap dan pukul tujuh malam terlewati, kapal tak kunjung bergerak. Orang-orang yang antri menitipkan barang di dek belakang masih banyak. Rasanya kami akan berangkat jika mereka semua sudah beres dengan urusan titip-menitip itu.

Ketika kami duduk-duduk di bangku depan kamar, muncul seorang pemuda yang kemudian dikenalkan Andre pada saya. Ia adalah Edison Tutuala alias Edi. Ia dari Damer dan menjadi tim pendukung Bionesia untuk keperluan proyek penelitian ini, yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya. Ia lah yang mencarikan kami tempat bermalam nanti di Damer. Juga mencarikan kapal dan juru mudi yang akan mengantar kami berkeliling di perairan pulau terpencil itu.

Dan juru mudi sekaligus pemilik kapal yang akan kami gunakan nanti di Damer ternyata ikut serta di Cantika Lestari 9F ini. Edi memperkenalkannya pada kami. Ia adalah Yendri Rumpenia, panggilannya Ojare. Usianya 44 tahun. Ia orang Damer juga yang sering bolak-balik dari Ambon ke Damer. Hal itu dikarenakan dua orang anaknya menempuh pendidikan di Ambon. Anaknya yang pertama kuliah di Universitas Pattimura serta anaknya yang kedua bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di ibu kota Maluku ini.


Akhirnya, Kapal Pun Berlayar

Lalu sirine panjang pun berbunyi. Pertanda kapal sudah angkat sauh dan akan berangkat. Deru mesin terdengar jelas. Ketika melihat ke bawah, riak air berderai seiring laju kapal yang perlahan meninggalkan dermaga. Kapal pun menyusuri Teluk Ambon. Dalam gelap, sampah-sampah terlihat mengapung di permukaan air. Malam ternyata tak menyembunyikan hasil ulah manusia yang gemar mencemari laut di sekitar pelabuhan ini.

Kemudian nasi goreng yang sudah dingin menjadi menu makam malam, berteman teh manis hangat yang saya beli di kantin dek belakang. Kami menikmatinya di bangku depan kamar. Beberapa penumpang juga saya lihat makan malam juga, yang beberapa di antaranya membuang sisa-sisa bungkus makanan langsung ke laut.

Angin berhembus membuat udara malam bertambah dingin. Lampu-lampu di Kota Ambon makin lama makin mengecil. Dan kapal yang kami tumpangi perlahan mulai menambah kecepatan. Gelombang laut mulai terasa. Lalu kapal pun keluar dari Teluk Ambon. Kemudian mulai mengarungi Laut Banda, menuju kawasan Maluku Barat Daya. []


I Komang Gde Subagia | Ambon, April 2024

Comments