Seminggu sebelum Idul Fitri 2024 adalah hari-hari menjelang libur panjang bagi banyak orang di Indonesia. Sebelum liburan itu tiba, saya sudah menginjakkan kaki di Ambon lagi. Saya menulis 'lagi' karena kali ini adalah kunjungan kedua saya. Tiga bulan sebelumnya, saya telah berkunjung ke ibukota Maluku ini. Saat itu, saya ke Ambon dalam rangka mendaki Gunung Binaiya di Pulau Seram.
Berbeda dengan sebelumnya, yang perjalanan naik pesawatnya berkali-kali transit hingga saya sempat sakit, penerbangan saya ke Ambon kali ini tak memakan waktu lama. Berangkat pada pagi hari dari Ngurah Rai Denpasar. Lalu transit satu kali di Juanda Surabaya. Selepas tengah hari, pesawat yang saya tumpangi sudah tiba di Pattimura Ambon. Tak ada transit di Makassar yang kemungkinan bisa menghabiskan waktu berjam-jam.
Saat penerbangan dari Denpasar ke Surabaya, pesawat mengalami beberapa kali turbulensi. Saya pasrah saja. Apalagi yang bisa kita perbuat? Banyak yang bilang, saat kita sudah di dalam pesawat yang kemudian tinggal landas, nyawa kita sudah bergantung pada pilot. Selebihnya, itu kuasa alam semesta. Tapi walaupun penerbangan sedikit menegangkan, pemandangan di luar jendela cukup indah. Pesawat melintasi Pegunungan Iyang. Puncak Argopuro dan Rengganis tampak jelas karena langit cukup bersih. Saya jadi mengenang pendakian ke sana setahun yang lalu, tepat di musim liburan hari raya juga.
Dari Surabaya, penerbangan ke Ambon biasa saja. Saya malah lebih banyak tertidur. Hingga akhirnya pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Pattimura. Setelah keluar pesawat dan mengambil bagasi, saya yang bersama Asa, Andre, dan Candra pun berjalan keluar. Sambil mendorong kereta dengan tas, koper, serta empat kotak besar yang penuh peralatan penelitian. Saat tiba di pintu keluar kedatangan, saya merasa tak asing. Rasanya baru kemarin melalui pintu keluar yang sama. Bahkan saya masih ingat wajah sopir taksi yang dulu mengantar dari bandara ke pusat kota. Ia saya lihat menawarkan jasanya bersama sopir-sopir lainnya di luar pembatas. Tapi ia tak melihat saya. Toh kalau pun melihat, rasanya ia tak ingat saya yang pernah menjadi penumpangnya.
Nicky Lilipali menjemput kami dengan senyumnya. Ia lelaki paruh baya yang sebelumnya sudah dihubungi Andre jauh-jauh hari sebelum berangkat. Ia yang akan membantu kami selama di Ambon, mengantar kesana kemari untuk berbagai keperluan. Kontaknya didapatkan dari rekan-rekan peneliti lain. Kalau tidak salah, didapatkan dari Walhi dan Greenpeace yang sebelumnya telah beraktivitas di Maluku. Sepanjang perjalanan, saya mendengar Andre selalu memanggilnya dengan panggilan Om Nicky. Kami semua nantinya juga ikut memanggilnya dengan panggilan yang sama.
Tujuan pertama kami di Ambon adalah ke tempat penjualan tiket kapal cepat. Kami mau memastikan tiket kapal ke Pulau Damer, yang keberangkatannya dari Ambon hanya ada sekali dalam seminggu. Jangan sampai kehabisan. Apalagi ini adalah musim liburan. Tapi tanpa disangka, tiket belum bisa dibeli. Ada banyak antrian tiket mudik gratis, merekalah yang lebih diutamakan. Petugas menyarankan datang esok hari saja. Om Nicky mengatakan tidak apa-apa. Tiket ke Damer pasti didapatkan. Penumpang ke sana tak banyak. Apalagi penduduk di Damer dan di pulau-pulau di Maluku Barat Daya mayoritas beragama Kristen. Karena itulah tak banyak dari mereka yang mudik untuk berlebaran. Akhirnya kami memutuskan batal membeli tiket pada hari pertama kami di Ambon.
Ke mana selanjutnya? Tanpa banyak perdebatan, kami semua sepakat untuk mencari makan siang. Mungkin karena kami semua sama-sama sudah lapar. Wajar, karena jam makan siang sudah lewat begitu jauh. Malah bisa dibilang kami akan makan sore. Om Nicky merekomendasikan beberapa tempat makan. Dan warung coto makassar lah yang dipilih. Namanya Warung Coto Makassar Nusantara Wayame. Lokasinya tak jauh dari hotel tempat saya menginap dulu bersama Pak Arif, rekan pendakian saya saat ke Binaiya. Yang saya ingat, saya tak sempat mencobanya saat lewat di depannya dulu, karena keburu sudah makan di tempat lain.
Kali ini, kesempatan itu datang. Saya akhirnya mencobanya. Saya benar-benar lahap makan coto. Enak sekali. Dengan tambahan beberapa potong ketupat dan 'buras', semacam lontong yang dibungkus daun pisang dan dililit benang. Nantinya, warung coto makassar ini menjadi warung makan favorit saya di Ambon. Coto yang saya pesan isinya daging semua. Itu sesuai permintaan saya yang tak doyan makan jeroan. Dari kecil, saya memang tak pernah suka usus dan ampela. Itu kan tempat tai dan kotoran. Begitu juga lele, entah apa makanannya di empang yang menjadi tempat hidupnya. Jijik saja rasanya.
Di seberang warung coto makassar, ada penjual pulsa dan nomor ponsel pra bayar. Telepon genggam saya tak mendapatkan sinyal semenjak turun dari pesawat. Nomor dari provider yang saya pakai memang tak terlayani di Maluku. Jadi saya harus menggantinya supaya tetap terhubung ke dalam jaringan. Tak lupa, setelah nomor baru aktif, saya mengirimkan kabar kepada Agus, keponakan saya di Bali. Memberitahunya untuk menyampaikan kepada keluarga di rumah jika diperlukan. Bahwa selama di Maluku, apalagi ketika nanti ke Damer, saya hanya bisa dihubungi melalui nomor baru ini lewat SMS atau telepon seluler. Tak bisa lewat Whatsapp atau layanan pesan lain yang memerlukan jaringan internet.
Dan kemudian, kami pun diantar oleh Om Nicky ke hotel yang telah dipesan Asa. Kami akan tinggal di hotel tersebut beberapa hari ke depan selama di Ambon. Walaupun hari ini saya cuti karena melakukan perjalanan seharian, saya harus kembali bekerja lagi di esok hari. Di hotel, tentu saya bisa working from home dengan nyaman. Maka dari itu, sesampainya di hotel, yang saya lakukan setelah mandi dan bersih-bersih adalah menggelar laptop di atas meja. Mengecek jaringan internet untuk memastikan kelancarannya. Lalu iseng membaca beberapa pesan dan surat elektronik yang berhubungan dengan pekerjaan. Setelah itu, tak perlu saya ceritakan lagi. Saya tinggal sekamar dengan istri saya, soalnya. []
I Komang Gde Subagia | Ambon, April 2024
Comments
Post a Comment