Skip to main content

Jejak Perang Dunia Kedua

Ada satu tempat yang menurut saya unik dan menarik di Ambon. Saya katakan unik karena ia memiliki tampilan berbeda dengan kondisi sekitarnya. Tempat ini bernama Commonwealth War Cemetry. Ini adalah kompleks pemakaman bekas tentara sekutu. Lokasinya di Kampung Tantui di Negeri Kasturi.

Sewaktu ke Pantai Natsepa sehari sebelumnya, saya tidak melalui Jalan Jendral Sudirman yang menjadi jalan utama kota. Kami melalui jalan lain untuk menghindari kemacetan, yaitu Jalan Sultan Hasanudin. Saat itulah saya melihat taman yang rindang dan asri dari dalam kendaraan. Yang jika dilihat dari pinggir jalan, taman itu sekilas terlihat seperti taman kota biasa. Kata Om Nicky, itu adalah taman makam pahlawan tentara Sekutu. Saat itu, kami tak mampir waktu melewatinya.

Hingga akhirnya hari ini, ketika siang telah beranjak menuju sore, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke sana. Berjalan kaki dari hotel tempat menginap. Saya sendirian saja. Sekalian olah raga. Melihat-melihat sudut-sudut Ambon yang belum sempat saya kunjungi.

Di Commonwealth War Cemetry, dimakamkannya lebih dari dua ribu bekas tentara Sekutu. Tentara-tentara itu sebagian besar berkebangsaan Australia yang gugur semasa Perang Dunia Kedua dalam pertempuran melawan Jepang di Ambon. Selain Australia, para tentara Sekutu yang dimakamkan di taman ini ada juga yang berkebangsaan Inggris, Belanda, India, Kanada, dan Selandia Baru.

Dari beberapa sumber yang saya baca, pertempuran perang Dunia Kedua di Ambon ini terjadi pada tahun 1942. Waktu itu, Jepang sedang dalam usaha perluasan wilayahnya di kawasan Asia Pasifik. Ambon dianggap sebagai titik strategis yang akan memungkinkannya dijadikan basis serangan berikutnya ke Australia bagian utara. Pertempuran memperebutkan Ambon Waktu itu begitu brutal dan berdarah-darah. Jepang menang. Lalu berbagai kejahatan perang pun terjadi. Jepang banyak melakukan penyiksaan dan eksekusi pada tentara Sekutu yang telah menjadi tawanan.

Ketika saya sampai di kompleks pemakaman, petugas jaga langsung mempersilahkan saya masuk. Tak ada ditanya berbagai hal ketika diketahui saya hanyalah wisatawan dan mau melihat-lihat. Tak ada pengunjung lain, hanya saya sendiri. Sepertinya tak banyak warga Ambon yang tertarik ingin tahu tentang tempat yang menyajikan kisah sejarah lebih dari setengah abad silam.

Walaupun pemakaman, suasananya sangat nyaman. Bersih. Rapi. Juga rindang dinaungi pepohonan besar. Bunga-bunga juga bermekaran di tepian telajakan. Batu-batu nisan berjajar rapi di hamparan rumput hijau yang terawat. Saya cek secara acak, makam-makam itu dikelompokkam berdasarkan agama dan kepercayaan. Ada Kristen, Islam, dan Hindu.

Menikmati semilir angin di taman pemakaman yang asri ini, membuat saya berpikir dan membandingkan. Kenapa keasrian seperti ini tak saya temukan di Taman Pattimura, di Tugu Christina Martha Tiahahu, di Gong Perdamaian, atau di Museum Siwalima yang sama-sama ada di Ambon? Atau tak perlu jauh-jauh, Taman Makam Pahlawan Nasional Kota Ambon yang bersebelahan dengan Commonwealth Cemetry saja memperlihatkan tampilan yang berbeda. 

Pemakaman tentara Sekutu ini jauh lebih baik dibandingkan taman-taman yang saya sebutkan tadi. Juga lebih indah dibandingkan dengan pemandangan lokasi-lokasi yang menjadi tetangganya. Rumput, pepohonan, bunga, monumen peringatan, juga jalan-jalan setapak yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lain; semuanya nyaman dipandang mata. Jika saya tak ingat sedang di Ambon, berada di Commonwealth war Cemetry ini rasanya seperti berada di luar negeri.

Keasrian dan terawatnya taman makam yang luasnya lima hektar lebih ini tentunya tak lepas dari manajemennya yang dikelola bukan oleh kita, melainkan dikelola oleh pihak asing. Pihak asing itu di masa lalu adalah penjajah kita. Mereka mendirikan aman dan merawatnya hingga kini untuk mengenang pahlawan-pahlawan mereka yang bertempur di Ambon. Pada awal berdirinya, taman ini dikelola oleh Australian and New Zealand Army Corps (ANZAC), sebuah yayasan di Autralia dan Selandia Baru. Lalu berpindah tangan ke Commonwealth Graves di Inggris hingga saat ini, makanya Namanya mencerminkan pengelolanya.

Bagaimana dengan taman atau peninggalan-peninggalan sejarah lain yang dikelola oleh Indonesia? Jangan ditanya lagi. Tak hanya di Ambon, rasanya hampir merata di seluruh negeri ini, merawat kekayaan masa lalu tidak dilakukan dengan begitu baik. Mungkin saya salah, tapi saya mengatakan demikian erdasarkan pengalaman melihat dnegan mata kepala sendiri. Itulah kadang yang menyebabkan saya lebih setuju jika berbagai peninggalan masa lalu seperti artifak, lontar, dan berbagai prasasti dibiarkan saja ada di Belanda, yang dulu lama berkuasa di Nusantara. Lebih baik kita menunggu hingga kita benar-benar siap, untuk memintanya Kembali dan benar-benar bisa merawatnya. []


I Komang Gde Subagia | Ambon, April 2024

Comments