Tiket ke Damer sudah didapatkan di hari Jumat. Jadwal kapal cepat dari Ambon ke Damer adalah setiap hari Senin. Hal ini membuat kami harus menunggu di akhir pekan. Apa yang bisa saya lakukan dalam dua hari ini untuk mengisi waktu luang di akhir pekan?
Gong Perdamaian
Semalam, usai minum kopi di Kedai Kopi Tradisi Joas, kami semua (saya, Asa, Andre, dan Candra) berjalan kaki menyusuri kota. Tujuannya kembali ke hotel tempat kami menginap, yang jaraknya tak lebih dari dua kilometer. Sambil singgah ke gong perdamaian. Di antara kami berempat, hanya Candra yang belum pernah ke ikon kota ini. Karena ini adalah pertama kalinya ia ke Ambon.
Malam hari, suasana di gong perdamaian berwarna-warni. Saya katakan demikian karena warna-warni cahaya lampu yang berpendar meneranginya. Kadang merah, kadang kuning. Kadang juga hijau, biru, dan ungu; yang berganti setiap berapa detik. Ini menarik perhatian anak-anak. Saya perhatikan, beberapa pengunjung adalah keluarga yang membawa anak-anak kecil.
Di bawah gong perdamaian, ada ruangan tempat memajang foto-foto proses rekonsiliasi pertikaian Ambon tahun 1999 silam. Sebagian besar yang terpasang adalah foto-foto setelah suasana damai.
Dulu saat saya pertama kali memasuki ruangan ini, saya sedikit was-was. Karena mengira akan ada foto-foto perang agama. Untung saja, dan tentu saja, itu tak ada. Selain 'disturbing picture', melihat foto tragedi itu bisa memicu trauma. Seperti menggarami luka yang sudah mulai mengering.
Malam pun makin larut. Kami meninggalkan gong perdamaian. Bergegas kembali ke hotel. Menyusuri trotoar kota yang bercorak warna-warni dalam temaram malam. Saya merasakan kota ini aman. Tak ada rasa khawatir ada yang berniat jahat. Pun rasanya tak pernah saya dengar ada berita jambret, copet, atau rampok di ibu kota Maluku ini. Yang saya khawatirkan malah lubang-lubang saluran air yang menganga di trotoar. Ceroboh sedikit saja, kita bisa terjatuh, seperti yang pernah saya alami dulu.
Coto Makassar dan Gereja Ayam
Pagi di hari berikutnya, suasana Ambon terlihat ramai. Dari jendela hotel, Teluk Ambon dan perbukitan di bagian utara pulau tampak berpendar memantulkan cahaya matahari. Angin berhembus, membawa aroma laut. Deru kendaraan dan suara klakson juga terdengar sampai ke kamar.
Ke mana saya hari ini? Yang pasti, cari sarapan dulu. Yang sebenarnya sudah bukan sarapan lagi, tapi makan siang. Lagi dan lagi, saya mengajak rekan-rekan saya ke warung coto makassar. Yang diiyakan oleh yang lain. Tiga hari di Ambon, tiga kali pula saya sudah makan di warung itu. Memang favorit, sih, buat saya. Nggak ada bosan-bosannya. Andre dan Candra sampai menertawakan saya.
Usai makan, kami berjalan-jalan sebentar. Dari arah warung coto makassar di Jalan Said Perintah, menuju ke arah Perempatan Tugu Trikora di depan Gereja Silo. Beberapa waktu sebelumnya, seorang teman berkomentar di postingan media sosial saya. Menanyakan tentang gereja ayam di sebuah unggahan foto kubah gereja. Saya tak tahu gereja mana yang ia maksud.
Hingga akhirnya, saya jalan-jalan di perempatan pusat kota ini. Ada ayam 'bertengger' di pucuk kubah. Seperti penunjuk arah mata angin. Kata Andre, ayam menyimbolkan panggilan pada jemaat, juga bisa diartikan sebagai simbol kebangkitan. Saya manggut-manggut saja mendengar cerita tentang ayam itu dan kisah cerita umat Kristiani.
Museum Siwalima
Lalu sebuah taksi yang dipesan Candra datang. Om Nicky yang biasanya mengantar kami sedang sibuk siang ini. Kami mau ke Museum Siwalima. Itu adalah museum yang lokasinya di luar kota, tepatnya di Negeri atau Desa Amahusu. Sekitar lima kilometer dari tempat kami dijemput oleh pengemudi taksi. Butuh sekitar dua puluh menit hingga kami sampai di sana.
Karena kami datang di hari Sabtu, museum tutup. Tak ada petugas satu pun. Yang ada hanya bangunan museum yang terkunci. Ada perahu kuno yang dijadikan pajangan di depan. Serta patung Pattimura tinggi jangkung berwarna putih di halamannya. Rumput-rumput ilalang tumbuh tinggi seperti tak terawat sempurna.
Siwalima berasal dari dua kata: 'siwa' yang berarti sembilan dan 'lima' yang artinya juga lima. Melambangkan sembilan kerajaan di bagian selatan Maluku serta lima kerajaan di bagian utara Maluku. Museum ini menyimpan benda-benda yang berkaitan dengan sejarah kelautan. Juga di bangunan satunya lagi, menyimpan benda-benda kebudayaan lainnya.
Lokasi museum adalah di daerah yang konturnya berbukit. Mendaki lebih ke atas lagi, ada Patung Christina Martha Tiahahu. Patung tokoh pahlawan dari Nusa Laut yang sama dengan patung yang kemarin sudah saya kunjungi di Bukit Karang Panjang. Dinaungi pepohonan rindang. Angin juga bertiup sepoi-sepoi. Teluk Ambon terlihat sangat jelas. Suara sirine dari kapal yang baru merapat juga terdengar. Menyenangkan sekali duduk-duduk melepas lelah sambil melihat pemadangan di bawah patung sang pahlawan wanita ini.
Tak jauh dari museum, ada pura tempat beribadat umat Hindu. Namanya Pura Siwa Stana Giri. Bangunannya khas Bali. Dengan gapura yang dominan berbahan bata merah. Atau entah itu adalah bangunan dari semen biasa yang dicat warna merah bata. Puluhan anak tangga tersusun rapi menuju ke gerbang gapura itu.
Saya hanya menatap pura itu sekilas dari jauh. Kadang tak habis pikir, kenapa bangunan keagamaan seperti pura harus beraksitektur Bali? Lokasinya di Maluku, kenapa tak dibuat bercirikan khas Maluku saja? Apa karena jemaatnya kebanyakan dari Bali? Mungkin saya akan menulis topik ini, tentang pura dan desainnya yang tak harus Bali, di tulisan lain.
Om Nicky dan Negeri Belanda
Turun kembali ke arah jalan raya, kami keluar kawasan museum. Setelah berjalan beberapa ratus meter, Om Nicky datang. Andre sudah menghubungi sebelumnya untuk menjemput. Ia sedikit terlambat sampai ke museum. Katanya ia baru dari Tulehu, usai mengantar saudaranya yang hendak ke Pulau Seram. Di dalam mobilnya, ada beberapa buah durian. Baunya semerbak terhirup sepanjang perjalanan. Katanya, itu adalah durian ambon. Bukan dari Seram yang merupakan penghasil durian terbesar di Maluku.
Om Nicky, yang tempo hari menjemput kami di bandara, suka sekali bercerita. Yang paling saya ingat adalah cerita tentang jalinan pohon keluarganya. Yang berkaitan hingga ke Negeri Belanda. Kakek Om Nicky adalah mantan anggota KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Kakeknya ini punya tiga anak dengan neneknya di Ambon, di mana salah satu anaknya itu adalah ayah Om Nicky.
Karena kebijakan masa itu, kakeknya dibawa ke Belanda selama lima tahun. Masa itu, komunikasi jarak jauh tak mudah seperti sekarang. Jangankan berkirim pesan lewat Whatsapp, surat-menyurat dengan layanan pos saja mahal serta butuh waktu lama untuk tersampaikan. Lima tahun menjadi waktu yang tak sebentar bagi sepasang suami istri di masa perang.
Ketika pulang ke Ambon, nenek Om Nicky ternyata sudah menikah lagi dengan orang lain. Patah hati? Entahlah. Si kakek akhirnya memilih balik ke Belanda. Di sana ia akhirnya menikah lagi dengan wanita lain, orang Ambon yang ke Belanda juga. Lalu mereka menetap menjadi warga negara itu. Tak tanggung-tanggung, Kakek Om Nicky di Belanda memiliki sepuluh orang anak. Itu artinya Om Nicky punya sepuluh om dan tante. Jadilah kini Om Nicky memiliki puluhan sepupu di Belanda.
Beberapa kali sepupu dan keluarga besarnya yang dari Belanda itu berkunjung ke Ambon. Tentu saja dijamu seperti keluarga oleh Om Nicky. Sayang, Om Nicky belum punya kesempatan melakukan kunjungan balik ke negeri kincir angin. Selain jauh dan harus meninggalkan pekerjaan, Om Nicky bilang belum sanggup dengan biaya yang diperlukan untuk ke sana. Begitulah kisah Om Nicky tentang keluarga besarnya yang hidup di negara berbeda.
Rujak Buah di Pantai Natsepa
Setelah beranjak dari Museum Siwalima yang berlokasi di luar kota bagian barat daya, kami kembali ke dalam kota. Untuk selanjutnya ke arah luar kota lagi, yakni ke luar kota bagian timur laut. Melintasi jalanan di tepian Pantai Amasuhu, yang angin pantainya menerpa seperti memanggil untuk mampir. Tapi tak sempat kami singgahi. Jendela mobil yang terbuka, seketika mengeluarkan aroma durian yang teronggok di jok belakang.
Setelah melalui Negeri Paso, tanah genting yang menghubungkan Pulau Ambon bagian utara dan selatan, kami pun sampai di tujuan berikutnya: Pantai Natsepa. Pantai ini terkenal dengan kuliner rujaknya. Banyak informasi wisata tentang Ambon yang merekomendasikan rujak di tempat ini. Saya sih sudah biasa makan rujak, terutama rujak kuah pindang. Mumpung di Ambon, mencicipi rujak khas setempay tentu sayang untuk dilewatkan.
Om Nicky memarkir mobilnya di tepian jalan. Tepat di depan sebuah warung dari sekian banyak warung yang berjajar di tepi pantai. Kami pun langsung duduk dan memesan rujak di warung tersebut. Tak enak kalau kita ke warung lain. Sambil menunggu rujak disajikan, kami menikmati durian ambon oleh-oleh Om Nicky. Saya juga membuka es pisang ijo dan beberapa panganan kecil yang tadi dibeli di penjual takjil dalam perjalanan ke Natsepa. Ini kan masih bulan puasa. Jadi kami menyempatkan diri menjadi pemburu takjil walaupun kami semua tak berpuasa.
Setelah menunggu, rujak pun tersaji. Yang terlihat istimewa sebelum saya mencicipinya adalah bumbu kacang. Begitu melimpah berwarna kecoklatan. Saya jadi pesimis. Saya kurang suka rujak berbumbu kacang. Ketika dicoba, rasa manisnya mendominasi. Gula merah yang menjadi bahan utama bersama remahan kacang begitu lengket di lidah. Buahnya beragam. Ada nanas, bengkoang, timun, kedondong, belimbing, pepaya, dan mangga. Buah-buah itu bisa saya sikat semua. Tapi bumbunya tersisa sangat banyak. Saya tak sanggup menghabiskan adonan manis yang terasa sedikit pedas itu.
Walaupun saya tak begitu terkesan dengan salad ala Indonesia khas Natsepa ini, pemandangan laut di belakang warung sudah cukup membuat saya berdecak 'wow'. Laut terhampar indah di siang yang beranjak menuju sore. Beberapa perahu tampak hilir mudik. Di seberang teluk, pemandangannya hijau walau terlihat ada beberapa tebing yang dikeruk mesin. Sambil minum sisa-sisa es pisang ijo dan makan durian pemberian Om Nicky, lelah dahaga serta lengket bumbu rujak seketika menjadi sirna.
Malam Turun di Ambon
Akhirnya dengan perut yang terasa 'begah' oleh buah-buahan dan makanan manis, kami kembali menuju hotel. Om Nicky sempat mampir ke sebuah warung membeli sagu. Untuk membuat kue atau bubur, katanya.
Di Ambon pada khususnya dan di Maluku pada umumnya, ada banyak penjual sagu walau sagu sudah tak sepenting dulu. Kini sagu bukanlah makanan pokok. Hanya sebagai bahan pembuat kue atau bubur papeda untuk hidangan tambahan dalam suatu acara.
Lalu senja pun datang. Malam perlahan kembali turun lagi. Langit mulai memerah dan berubah gelap. Lampu-lampu gedung dan merkuri kemudian menyala menyinari jalanan. []
I Komang Gde Subagia | Ambon, April 2024
Comments
Post a Comment