Sebelum berangkat, saya sudah membayangkan alangkah terpencilnya tempat yang akan dituju. Juga jauh dan tak mudah mencapainya dari Denpasar di Bali, tempat saya tinggal sehari-hari selama ini. Nama tempat yang akan saya kunjungi itu adalah Pulau Damer. Namanya sedikit asing. Tapi saya merasa pernah mendengar nama itu di telinga sebelumnya.
Mendengarnya pertama kali, saya mengira ia adalah salah satu pulau di Kepulauan Seribu di Jakarta. Tapi ternyata bukan. Yang di Jakarta ini bernama Pulau Damar, dengan 'a' di kedua huruf vokalnya, tanpa 'e'. Atau disebut juga sebagai Pulau Edam, pulau di bagian timur Teluk Jakarta itu memiliki mercusuar menjulang sebagai daya tariknya. Ia bisa dicapai beberapa jam saja menggunakan kapal atau perahu nelayan dari pesisir utara ibu kota (waktu tulisan ini dibuat, Jakarta masih berstatus sebagai ibu kota negara).
Tapi Damer, dengan huruf vokal 'a' dan 'e' ini, adalah sebuah pulau kecil di Indonesia Timur. Berlokasi di tepian selatan Laut Banda. Menjadi bagian dari Kabupaten Maluku Barat Daya di Provinsi Maluku. Dari Ambon, jaraknya lebih dari tiga ratus kilometer. Ia malah lebih dekat dengan Dili di Timor Leste, negara tetangga yang dulu adalah bagian dari Indonesia.
Beberapa bulan sebelum ke Damer, saya mencari berbagai informasi tentangnya di internet. Data yang saya dapatkan cukup minim. Disebutkan bahwa di sana tak ada listrik. Tak ada internet. Tak ada penerbangan juga untuk ke pulau yang luasnya tak seberapa itu, sekitar seperlimabelas Pulau Bali. Akses hanya dengan kapal melalui laut. Itu pun dengan jadwal yang tak menentu, tergantung musim angin dan gelombang.
Melihat lokasinya di Google Maps, Damer bagai pulau tak berarti yang dilupakan di perairan selatan Maluku. Terserak di lautan bersama pulau-pulau kecil lain yang namanya terdengar asing di telinga. Saya tak menemukan satu pun kisah perjalanan wisata ke sana. Yang ada malah tentang statusnya sebagai daerah 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar.
Asa, istri saya, yang merupakan seorang peneliti keanekaragaman hayati laut di Yayasan Bionesia, memiliki sebuah proyek di Perairan Pulau Damer. Selain Asa, ada dua rekannya dari yayasan yang sama. Yaitu Andre, peneliti sekaligus ketua yayasan dan ketua tim dalam proyek tersebut. Serta Candra, perempuan muda dan paling muda di antara kami, yang setahu saya baru bergabung ke dalam tim sekitar dua atau tiga tahun belakangan.
Jauh-jauh hari ketika diberitahu tentang rencana ke Damer, saya cukup kaget. Membayangkan istri saya yang harus ke pulau terpencil dan jauh. Walaupun demikian, saya sangat ingin ikut serta. Kondisi Damer yang tak memiliki listrik dan internet menjadi pertimbangan paling memberatkan bagi saya. Juga bayangan akan seramnya melintasi Laut Banda yang luas dan dalam.
Saya, yang pekerja remote dan bisa bekerja di mana saja, ternyata harus menyerah dengan kondisi Damer. Jelas, saya tak bisa bekerja 'wfh' atau 'wfa' di sana. Selain itu, jadwal kapal pergi pulang ke sana belum jelas. Jadi waktu yang diperlukan menjadi tak pasti. Hal itu membuat saya harus memperhitungkan cuti dengan cermat. Juga kordinasi dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan pekerjaan saya. Jaga-jaga jika seandainya saya harus tinggal di Damer lebih lama.
Saya teringat Imam. Ia adalah rekan pendakian saya ketika mendaki Gunung Tambora tahun lalu. Beberapa minggu sebelum ke Damer, saya mengetahuinya sedang di Banda Neira. Ini kepulauan di Maluku Tengah. Lokasinya di Laut Banda juga. Imam sudah di Banda Neira selama beberapa minggu dari rencananya yang hanya beberapa hari. Ia terjebak belum bisa pulang ke Jawa. Penyebabnya adalah musim angin barat. Gelombang laut tinggi sehingga tak ada kapal berlayar. Itulah yang mengkhawatirkan saya. Bagaimana jika saya sudah ke Damer, lalu tak ada kapal untuk pulang, kemudian saya harus tinggal lebih lama di pulau tanpa listrik dan internet?
Untunglah Andre sudah mendapatkan kontak dengan orang yang akan menemani kami ke Damer. Namanya Edison Tutuala yang biasa dipanggil Edi. Ia asli dari Damer, tapi tinggal di Ambon. Sering pergi pulang dari Ambon ke Damer dan pulau-pulau lain di Maluku Barat Daya. Edi yang terus memonitor kondisi laut serta transportasi dari Ambon ke Damer dan sebaliknya. Nantinya ia mengabari, kapan sebaiknya kami berangkat. Juga kapan sebaiknya kami berkegiatan dengan aman di Perairan Damer.
Entah keberuntungan bagi saya atau bukan, ternyata musim terbaik untuk ke Damer adalah saat masa libur Idul Fitri. Dua sampai tiga bulan dalam rentang waktu itu, kondisi di Laut Banda diramalkan akan tetap baik. Artinya saya positif ikut serta. Karena libur, saya bisa menyiapkan waktu dengan lebih leluasa dan lebih terprediksi. Saya menjadi makin bersemangat dan antusias. Lalu secara bertahap, mulai menyusun rencana perjalanan dan menyesuaikannya dengan rencana tim penelitian. Saya juga menyiapkan berbagai peralatan yang mungkin akan dibutuhkan selama ke sana. []
I Komang Gde Subagia | Denpasar, April 2024
Comments
Post a Comment