Hari telah menjelang sore. Saya mulai menutup laptop. Mengakhiri jam kerja pada hari ini. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotel seharian. Berkutat dengan pekerjaan yang saya bawa dari rumah. Hanya sempat jalan kaki sejauh dua kilometer, pergi pulang ke warung coto makassar untuk makan siang.
Ketika menutup laptop, Asa dan rekan-rekannya baru datang dari Kantor Dinas KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Provinsi Maluku. Mereka telah selesai presentasi kegiatan serta mengurus perizinan penelitian yang akan dilakukan di Damer. Dan syukurlah, kabar dari mereka cukup baik. Tak ada halangan berarti dalam perizinan itu.
Beberapa pegawai KKP berpesan untuk hati-hati ketika nanti tiba di Damer, kata Asa pada saya. Ia juga diceritai tentang kisah-kisah horor menakutkan. Bahwa di sana yang terpencil, desa dan hutannya banyak dihuni mahluk-mahluk mistis. Ada-ada saja. Bukannya tak menghormati cerita lokal, saya lebih takut berkegiatan di laut.
Oh, ya. Saya melihat Asa membawa empat pelampung. Ternyata Tim Bionesia memutuskan membeli pelampung di Ambon. Untuk nanti dipakai berkegiatan di Perairan Pulau Damer. Sepertinya saran saya diterima. Semoga saja hal-hal seperti itu, standar keamanan dan keselamatan, bisa dipahami dan tak dianggap sebagai pemborosan anggaran.
Sebelum berangkat, saya sempat melihat list peralatan yang dibawa. Tak ada pelampung di sana. Akhirnya dilengkapi juga. Bagus kan? Pelampung saat berkegiatan di laut sama seperti helm yang kita gunakan saat mengendarai motor di jalan raya. Seperti asuransi. Rasanya memang rugi jika tak terpakai. Tapi bukankah dengan tak terpakainya alat-alat keselamatan itu, artinya kita selamat?
Dan sebelum sore makin cepat beranjak menuju malam, saya berencana berolahraga. Maunya lari. Tapi Asa ingin ikut. Jadilah kami jalan kaki saja, jalan santai sore-sore di Ambon Manise. Tujuannya ke bukit pinggiran kota. Namanya Bukit Karang Panjang, sesuai nama kelurahan tempatnya berada. Di sana ada patung pahlawan nasional Christina Martha Tiahahu. Dari hotel, jarak ke sana sejauh satu setengah kilometer.
Berbekal tas kecil dengan satu botol minum, kami berdua pun berjalan ke sana. Menyusuri trotoar jalanan. Ketika hendak menyeberang jalan, menunggu lalu-lalang kendaraan menjadi begitu lama. Di Ambon, hampir semua kendaraan ngebut. Sangat berbahaya jika tak berhati-hati. Mengalihkan perhatian sedikit saja, bisa terserempet motor atau mobil.
Selepas jalan raya yang hiruk-pikuk dan berbelok di sebuah persimpangan, keramaian makin berkurang. Trotoar yang kami susuri perlahan mulai menanjak. Di satu belokan, saya melihat gang kecil dengan tangga yang menanjak curam. Di samping kanan dan kiri gang itu, ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Google Maps menunjukkan bahwa gang tersebut bisa dilalui menuju puncak bukit.
Walaupun awalnya kerimbunan pohon terlihat sedikit menyeramkan di sore hari yang sepi, tapi gang yang kami lalui ini sebenarnya adalah gang perumahan warga. Rumah-rumah berdiri di lereng bukit. Tampak bertingkat-tingkat. Pemandangan kota dan teluk di sisi utara pulau terlihat jelas. Rasanya seru juga menyusuri jalan-jalan kecil seperti ini. Pemandangan cukup indah, hanya saja sedikit terganggu dengan banyaknya 'ranjau' yang bertebaran. Yaitu kotoran-kotoran anjing di sepanjang gang.
Tak butuh waktu lama, akhirnya kami sampai di puncak bukit. Ada gedung Kantor DPRD Provinsi Maluku. Saya langsung melihatnya setelah keluar dari gang. Taman tempat Patung Martha Christina Tiahahu yang kami tuju ada di sebelah kantor DPRD. Di taman itu, ada seorang ibu-ibu paruh baya sedang menyapu. Kami diizinkan masuk dan foto-foto. Ia berpesan, kalau sudah selesai berkunjung, bisa berdonasi sukarela padanya.
Patung sang pahlawan wanita ini berwarna hitam. Tinggi dan besar dibandingkan saya, tentunya. Mungkin tingginya sekitar sepuluh meteran dari lantai. Berdiri gagah memegang tombak. Di bagian bawah, ada plakat bertuliskan "Martha C. Tijahahu, Mutiara Nusa Laut, Pahlawan Nasional RI. Berjuang untuk mengusir penjajah Belanda dari Maluku. Jatuh pada Januari 1818."
Christina Martha Tiahahu ini berasal dari Nusa Laut. Itu nama pulau di sebelah timur Pulau Ambon. Ia gugur dalam usia yang sangat muda, delapan belas tahun, dalam perjuangan di abad ke-19. Saya membayangkannya menjadi gadis seusia itu pada masa sekarang. Mungkin ia seperti aktivis mahasiswi yang berjuang dalam demonstrasi-demonstrasi melawan ketidakadilan.
Yang menarik di taman ini adalah pemandangannya. Apalagi kala hari telah senja dan sang surya perlahan turun ke cakrawala. Karena berlokasi di ketinggian, Kota Ambon bisa kita lihat dengan jelas. Kapal-kapal besar dan perahu-perahu kecil tampak hilir mudik di perairan Teluk Ambon, yang permukaan airnya memantulkan cahaya matahari. Pantas saja ada banyak kafe tempat bersantai di sekitar bukit ini. Itu saya lihat ketika kembali turun ke bawah lewat jalur lain. Suasananya ternyata memang cocok dan begitu syahdu.
Bergerak pulang ke hotel melalui belakang taman, saya kemudian tahu bahwa Bukit Karang Panjang ini adalah area perkantoran dan perumahan pejabat. Selain kantor DPRD, ada juga kantor Bawaslu, kantor Satpol PP, rumah dinas walikota, stadion maupun sarana olahraga, dan lain-lain. Pantas saja jalanannya cukup asri dan terawat dibandingkan dengan kawasan lainnya.
Saat berjalan menuruni bukit, ada pesan masuk dari Candra. Kami diajak ngopi dan lanjut makan malam bersama. Karena Candra dan juga Andre sudah menuju ke lokasi pertemuan, dan kami masih jauh, akhirnya saya memutuskan untuk naik angkot. Angkot jurusan apa saja, yang penting arahnya turun dan menuju ke kota. Saya lambaikan tangan saja pada yang pertama kali lewat.
Asyik juga. Seru. Saya berdua bersama istri naik angkot. Senyum-senyum sambil sesekali tertawa, seperti bocah-bocah yang mendapatkan mainan baru. Rasanya, sudah lama sekali saya tak naik moda transportasi ini. Terakhir kali, mungkin sekitar sembilan atau sepuluh tahun yang lalu, semasa saya masih tinggal di Jakarta. Kini, saya merasakannya lagi di Ambon.
Setelah memasuki pusat kota yang ramai, kami turun dari angkot di sebuah persimpangan. Kedai kopi yang kami sepakati untuk bertemu berlokasi tak jauh lagi. Kedai itu adalah Kedai Kopi Tradisi Joas. Saya sudah pernah berkunjung ke sana sebelumnya, pada waktu saya ke Ambon pertama kali. Jika kita mau berkunjung ke sebuah tempat makan atau minum lebih dari sekali, itu artinya makanan dan minuman yang dijual di sana dijamin tak mengecewakan.
Seperti sudah diatur, padahal memang diatur, tepat ketika saya dan Asa tiba di depan kedai, Andre dan Candra juga tiba. Setelah mendapatkan meja, kopi dan makanan ringan pun dipesan. Sambil menunggu pesanan datang, saya bercerita tentang pengalaman ke atas bukit tadi. Melihat patung pahlawan dan menikmati pemandangan kota di penghujung hari. []
I Komang Gde Subagia | Ambon, April 2024
Comments
Post a Comment