Jalan menuju Negeri Piliana. |
Mendapatkan Simaksi
Setelah menempuh tiga jam perjalanan dari Saleman, kami akhirnya tiba di Kota Masohi kembali. Di mana kemudian segera berlanjut ke Kantor Balai Taman Nasional Manusela. Mengurus terbitnya Simaksi, alias Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Surat yang berfungsi sebagai data dan arsip. Juga menjadi filter bagi orang-orang yang akan berkegiatan di kawasan pelestarian alam.
Gunung Binaiya yang akan kami daki berada di dalam kawasan Taman Nasional Manusela, satu-satunya taman nasional di Provinsi Maluku. Karena itulah surat perizinan tersebut diperlukan. Yang mana salah satu syaratnya adalah menunjukkan surat keterangan sehat. Yang dikeluarkan oleh dokter paling lambat tiga hari sebelum berkegiatan.
Saya mendapatkan surat keterangan sehat di Ambon, sewaktu saya tiba pada hari pertama. Tapi ternyata tiga orang dari kami tak memilikinya. Mereka adalah Pak Arif; serta Daus dan Rike, dua orang teman seperjalanan saya yang lain. Karena itulah Adul, sebagai ketua rombongan, harus bernegosiasi dengan petugas balai. Syukurlah, ketiga teman saya tersebut diizinkan. Kami pun mendapatkan Simaksi.
Ketika saya tanyakan, ketiadaan surat keterangan sehat itu dicarikan solusinya. Yaitu diganti dengan surat pernyataan, bertanda tangan di atas materai. Bahwa mereka, yang tanpa surat keterangan sehat, menyatakan dirinya sehat dan layak mendaki gunung. Serta tidak akan menyalahkan pihak lain jika ada masalah dengan kesehatan nantinya. Kurang lebih, isinya seperti itu.
Kalau dipikir-pikir, masuk akal. Lagipula, surat keterangan sehat yang saya peroleh dari puskesmas di Ambon, tidak jauh berbeda dengan surat pernyataan yang dibuat sendiri. Tak ada pemeriksaan kesehatan. Secara administrasi, surat itu fungsinya sama. Hanya formalitas. Tapi secara medis dan kelayakan beraktivitas, siapa yang tahu? Tak ada tolak ukur. Walaupun saya yakin, kami semua sehat dan layak mendaki Binaiya.
Berbicara hal-hal administratif seperti di atas, sepertinya ada banyak salah kaprah pada pelakunya. Kita lebih mengutamakan formalitas dibandingkan fungsi dasarnya. Lebih mengutamakan surat keterangan dibandingkan tujuan sebenarnya dari surat keterangan tersebut. Bagaimana jika surat keterangan bisa berenang terbit, lalu digunakan oleh orang yang tak bisa berenang? Bisakah hal-hal sederhana seperti ini kita pahami dengan benar dan kita perbaiki di negeri kita tercinta?
Mohon izin! Saya narsis dulu di Kantor Balai Taman Nasional Manusela. |
Menunggu terbitnya Simaksi. In frame: Mazlan dari Malaysia. |
Daus, Rike, dan Fitri
Dua dari tiga orang yang tak membawa surat keterangan sehat adalah Daus dan Rike. Belum pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya. Mereka adalah dua teman seperjalanan yang rasanya paling jarang berinteraksi dengan saya. Tapi dari pertama kali melihat dari sisi penampilan, mereka tampak sangat berpengalaman di gunung. Dan memang bukan hanya 'tampak', tapi kenyataannya nanti mereka memang tangguh.
Daus dan Rike, sebelum perjalanan ini, sudah saling mengenal satu sama lain. Berteman semasa kuliah. Pantas saja selalu terlihat dekat dan akrab dari awal kami berkumpul. Selain itu, mereka juga beberapa kali sudah ikut perjalanan Shelter Garut. Bahkan, Daus, yang bernama lengkap Muhammad Firdhauz, adalah teman Adul semenjak SMA. Wah!
Daus |
Satu lagi tentang Rike. Yaitu kesalahan perkiraan saya akan namanya. Ia bernama lengkap Rike Siswoyo. Bagi saya, itu terdengar seperti nama perempuan. Sampai bertemu dengannya saya baru sadar. Bahwa ia yang menyandang nama itu, ternyata seorang pemuda gagah. Walaupun terlihat sedikit pemalu dan pendiam.
Rike |
Lalu ada satu nama lagi, yang tak ikut ke Saleman. Yaitu Fitri Tomagola. Saya melihatnya sejak di kantor balai taman nasional. Ternyata ia dari Masohi dan ikut rombongan kami untuk ke Binaiya. Ia anggota Mapala Kewang, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Oleh Adul diperkenalkan sebagai pemandu perempuan. Tapi oleh Ical Pelu, diperkenalkan sebagai peserta pendakian saja dan ikut bantu-bantu tim. Tapi ada yang bergosip, bahwa Fitri ini adalah pacar dari Ical Pelu. Hmm... Hahaha!
Fitri |
Tehoru
Usai makan siang yang terlambat di warung nasi padang langganan, perjalanan pun dilanjutkan. Kami menuju Piliana, desa yang menjadi titik awal pendakian Gunung Binaiya. Kendaraan-kendaraan yang kami gunakan pun melesat. Dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalur pantai selatan Pulau Seram.
Sampai akhirnya tiga jam berlalu, kami tiba di sebuah kota kecamatan. Namanya Tehoru. Bagian dari Kabupaten Maluku Tengah. Dari Masohi, jarak ke kota ini sekitar seratus kilometer. Desa atau Negeri Piliana yang kami tuju, ada di kecamatan ini. Tapi masih lebih jauh ke arah timur lagi.
Saya satu kendaraan bersama Adul. Karena ia adalah ketua rombongan, maka kami mampir ke kantor perwakilan taman nasional. Di sini kami menyerahkan tembusan Simaksi kepada pegawai yang bertugas.
Selain Adul; ada Ical Pelu, Ical Gondrong, dan Dion yang bersama saya. Teman-teman kami yang lain tak ikut. Mereka langsung saja terus ke arah Piliana. Sehingga hanya kami yang ke kantor perwakilan ini. Beramah tamah serta mengisi buku tamu.
Rumah Makan Hidayah. Ini adalah warung padang langganan rombongan saya selama di Masohi. |
Baliho pelestarian burung paruh bengkok di Kantor Seksi Balai Taman Nasional Manusela di Kota Kecamatan Tehoru |
Adul sedang mengisi buku tamu di Kantor Seksi Balai Taman Nasional Manusela di Kota Kecamatan Tehoru |
Simaksi tembusan. Selain ke kantor seksi di Tehoru, Simaksi tembusan juga disampaikan kepada Bapak Raja di Negeri Piliana serta dibawa sendiri oleh ketua rombongan. |
Setelah penyerahan Simaksi selesai, kami juga mampir ke Pasar Tehoru. Jika mendaki Binaiya dari Piliana, maka pasar atau kota terakhir ada di Tehoru ini. Tapi suasana pasar tak begitu ramai. Mungkin karena sudah sore. Begitu pula dengan suasana kota, terlihat tidak ramai-ramai amat.
Saya melihat Adul dan Ical Pelu membeli beras di sebuah toko. Mereka melengkapi logistik serta obat-obatan. Saya ikut turun. Membeli dua botol minuman vitamin C, yang itu pun dibayari oleh Dion. Di mana itu belum saya bayar sampai sekarang. Hehehe.
Dengan adanya tambahan logistik, barang-barang yang kami bawa menjadi bertambah. Ditempatkan berjejal di bagasi hingga naik ke kursi belakang . Saya yang duduk di kursi belakang, berkali-kali kejeduk kardus-kardus mie instan. Apalagi ketika kendaraan berguncang karena jalanan yang tak rata.
Dalam perjalanan kali ini, saya kebagian duduk di kursi belakang. |
Lihat! Itu kardus mie instan yang ngejedukin kepala saya berkali-kali. |
Jembatan Putus
Jarak dari Tehoru ke Negeri Piliana sekitar dua puluhan kilometer lagi. Melalui Sungai Kawanua yang memiliki jembatan terpanjang di Pulau Seram. Penghubung utama Seram Bagian Timur dengan Maluku Tengah. Jembatan itu putus karena diterjang banjir beberapa bulan sebelumnya. Tetapi sudah dibangun jembatan darurat. Bisa dilalui kendaraan roda empat. Hanya saja tidak bisa digunakan untuk berpapasan.
Saat sampai di sana, ada beberapa kendaraan yang lewat. Karena pengemudi yang mengantarkan kami tidak sabar menunggu, kami melalui sungai. Untung saja airnya tak terlalu dalam. Lumayan, bisa offroad beberapa meter. Yang mana kemudian terlihat teman-teman saya menunggu di ujung jembatan. Mereka berfoto-foto di sana.
Beberapa kilometer berikutnya, kami melalui jembatan lagi. Lebih pendek dari sebelumnya. Air yang mengalir di bawahnya berwarna kebiruan dan tampak jernih. Sungai yang dilintasi oleh jembatan kedua ini bernama Sungai Makariki. Airnya bersumber tak jauh dari Negeri Piliana. Dari sebuah mata air yang bernama Ninivala. Cukup terkenal bagi para pendaki yang ke Binaiya.
Melalui jembatan darurat. |
Menuju Piliana
Dari jalan utama lintas selatan Seram, jalan masuk ke Negeri Piliana mendaki. Ditandai dengan gapura yang bertuliskan "Jalur Tracking Pendakian Gunung Binaiya". Huruf-hurufnya tersusun terbalik-balik. Entah itu karena ada yang iseng, sengaja membuatnya demikian. Atau mungkin rusak dan belum diperbaiki. Yang pasti, membuat saya kesulitan membacanya.
Ical Gondrong mendapatkan satu informasi. Bahwa saat ini Ninivala ditutup. Katanya tak diizinkan berkunjung. Sebabnya ada kecelakaan beberapa hari sebelumnya. Tapi kecelakaan itu tidak terjadi di Ninivala. Melainkan di jalan tanjakan yang sedang kami lalui ini. Korbannya yang meninggal dunia, usai berkunjung ke sana. Tak ada hubungannya, memang. Tapi itu keputusan Bapak Raja, kepala desa di Negeri Piliana.
Saat melalui pintu masuk ke mata air Ninivala, saya melihat gerbangnya ditutup. Disegel sebagai tanda dilarang masuk. Kayu-kayu dan rotan-rotan berduri dipakai sebagai pagar penghalang. Sore ini, kami berencana akan mandi di sana. Dengan kondisi ditutup, maka niat itu diurungkan. Mungkin nanti setelah turun gunung.
Belasan meter di atas kami, terlihat rumah-rumah warga desa. Itulah Piliana. Sudah tak jauh dari Ninivala. Kami semua pun bergerak ke sana. Sore perlahan beranjak malam.
Gapura yang menjadi pintu gerbang masuk ke Negeri Piliana. |
Pintu masuk Ninivala yang ditutup. |
Malam Natal di Piliana
Saat kami tiba, warga sedang melaksanakan kebaktian di gereja desa. Lelaki, perempuan, remaja, anak-anak terlihat berkumpul di sekitar. Petugas babinsa dan babinkamtibmas juga terlihat berjaga. Dan kami yang baru datang, dipersilahkan menempati balai desa. Yang lokasinya di depan gereja.
Kedatangan saya tepat di sore hari, pada tanggal 24 Desember. Pas saat malam Natal. Semua warga desa Negeri Piliana beragama Kristen. Sehingga suasana meriah menyambut hari raya itulah yang kami saksikan. Dion dan Naomi, yang juga umat Nasrani, hanya senyum-senyum saja ketika saya tanyai. Apakah mereka mau ikut berdoa di sana atau tidak?
Usai makan malam, dengan menu nasi padang yang dibungkus dari Masohi, beberapa remaja perempuan Piliana datang. Menyajikan kopi bercampur teh yang rasanya mantap. Juga kue-kue pukis bertaburkan meses warna-warni. Sambutan yang hangat, batin saya. "Selamat Natal, ya!" saya basa-basi menyapa mereka yang tersenyum malu-malu.
Remaja-remaja perempuan dari Piliana yang malu-malu, menyajikan makanan dan minuman untuk kami di balai desa. |
Kopi bercampur teh, dengan kue-kue bertaburkan meses warna-warni. |
Upacara Adat
Ketika acara di gereja sudah selesai dan keramaian mereda, Adul mengajak untuk ke rumah Bapak Kepala Adat Negeri Piliana. Sebelum mendaki gunung, para pendaki diwajibkan mengikuti upacara adat setempat. Yang pada intinya adalah berdoa untuk keselamatan.
Awalnya saya mengira bahwa bapak kepala adat adalah bapak raja. Ternyata itu salah. Pengetahuan saya ini dikoreksi oleh seorang warga Piliana, ketika saya menyapa sang kepala adat dengan panggilan 'bapak raja'. Jadi kepala adat dan raja adalah berbeda. Di Piliana, urusan adat dipimpin oleh kepala adat. Sementara urusan kepemimpinan secara umum, dipimpin oleh raja.
Di setiap negeri di Maluku, termasuk Piliana, selain raja dan kepala adat, ada juga panglima perang. Disebut dengan 'kapitan' atau 'kapitang'. Tapi jangan salah paham. Walaupun sekarang bukan zaman perang, kapitan itu lebih ke arah organisasi keamanan. Semacam hansip dalam lingkup nasional. Atau seperti pecalang di Pulau Bali.
Kami semua duduk melingkar. Memenuhi ruang tengah di rumah kepala adat. Bapak kepala adat, yang sudah sepuh, berpakaian serba merah. Ia memimpin upacara. Merapalkan mantra-mantra dengan bahasa yang tak saya kenal. Sepertinya itu bahasa Suku Manusela, salah satu suku yang menghuni Pulau Seram.
Kemudian bapak kepala adat itu menghampiri kami satu per satu. Mantra masih diucapkannya. Tiba giliran saya, ia menepuk-nepuk badan dari pundak sampai kaki. Apakah itu adalah mantra supaya badan kami kuat mendaki gunung di esok hari? Saya kurang tahu juga, karena tak saya tanyakan. Tapi sepertinya memang demikian.
Setelahnya, kami dipersilahkan untuk mengunyah buah pinang. Dicampur dengan sirih dan kapur. Sudah disajikan sedari tadi, dalam piring plastik berwarna merah jambu. Rasanya itu adalah kudapan masa lalu. Di Bali, mendiang kakek dan nenek saya suka mengunyahnya juga. Membuat gigi semakin kuat. Terang saja. Pinang secara alami memang ampuh membunuh bakteri penyebab gigi berlubang.
Setelah upacara selesai, kami bisa ngobrol beramah tamah. Saya tak bisa bertanya banyak hal pada bapak kepala adat. Ia memiliki pendengaran kurang baik. Karena ia sudah sepuh. Saya tak enak, ketika diminta berbicara dengan mendekatkan mulut ke telinganya. Tak sopan rasanya. Selain itu, saya lebih banyak tak paham dengan pembicaraannya. Ia menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa lokal.
Bapak Kepala Adat Negeri Piliana. |
Pinang, sirih, dan kapur. Dikunyah sebagi bagian dari upacara adat. |
Spanduk yang terpasang di salah satu dinding luar di rumah bapak kepala adat. |
Bukan Negeri Terpencil
Oh ya, nama bapak kepala adat di Piliana adalah Weynand Latumutuani. Di dinding rumahnya yang terbuat dari kayu, terpasang foto-foto. Salah satunya adalah foto saat anaknya wisuda.
Jadi, Negeri Piliana ini tidak terbelakang seperti bayangan kebanyakan orang. Lokasinya memang jauh dari ibukota, di kaki Gunung Binaiya. Tapi warganya cukup banyak yang sudah jadi sarjana. Sekolah dasar dan lanjutan tingkat pertama juga ada di desa ini.
Listrik yang saya kira terbatas pada awalnya, juga mengalir dua puluh empat jam. Sebelumnya, informasi yang saya dapatkan mengatakan bahwa listrik hanya ada saat sore hingga menjelang tengah malam. Begitu juga jaringan telekomunikasi, ternyata ada sepanjang waktu. Sinyal internet salah satu provider ternama bisa digunakan, walaupun kecepatannya terbatas.
Supaya peralatan elektronik tetap berfungsi selama di gunung, maka saya pastikan mengisi daya baterai sebelum tidur. Satu colokan listrik dipakai ramai-ramai bersama seluruh teman pendakian saya. Alhasil, proses pengisiannya cukup lambat. Tak mengapa, toh saya tinggal tidur delapan jam ke depan.
Coba hitung! Ada berapa kabel pengisi daya yang tersambung ke satu steker sumber listrik ini? |
Balai desa di Negeri Piliana. tempat beristirahat sebelum memulai pendakian. |
Banyak proyek pembangunan infrastruktur di Piliana. Salah satunya adalah pembangunan gereja baru, yang terlihat di kejauhan dengan struktur bertingkat. |
Salah satu sudut jalan di Piliana. Tampak latar belakang hutan dan pegunungan Taman Nasional Manusela. |
Ada banyak doggy di Piliana. Ini salah satunya, sedang memelas meminta makan. |
Istirahat
Tengah malam. Di tengah nyenyaknya tidur, saya terbangun. Di luar balai desa, terdengar keramaian. Suara petasan dan kembang api bertalu-talu. Jedar-jeder. Ledakannya di atas genteng dan di balik tembok. Aduh! Ini malam Natal. Wajar anak-anak atau remaja setempat bereuforia. Tapi saya juga butuh istirahat. Jadi serba salah.
Untunglah beberapa puluh menit kemudian, suasana kembali sepi. Ternyata Ical Pelu menghimbau anak-anak dan remaja itu. Mereka diminta menyudahi permainan petasan dan kembang api yang mengganggu. Atau menjauh ke luar pemukiman. Karena bukan hanya kami yang terganggu, warga setempat yang butuh istirahat juga kena imbasnya. Dan mereka menurut.
Saya pun kemudian bisa tidur nyenyak sampai pagi. Menyiapkan fisik yang kurang fit agar pulih. Supaya besok bisa kuat, memulai perjalanan mendaki gunung tertinggi di Maluku. Lamat-lamat menjelang terlelap, suara angin berdesir di balik jendela. Juga sayup-sayup, lolongan anjing terdengar di kejauhan. []
I Komang Gde Subagia | Maluku, Desember 2023
Comments
Post a Comment