...
Waktu hujan sore-sore.
Kilat sambar pohon kenari.
E jojaro deng mongare.
Mari dansa dan menari.
Pukul tifa toto buang.
Kata balimbing di kereta.
Nona dansa dengan tuan.
Jangan sindir nama beta.
E menari sambil goyang badane.
Menari lombo pegang lenso manise.
Rasa rame jangan pulang dulue.
Itu adalah lirik lagu lama dari Ambon. Judulnya Hujan Sore Sore. Jika tulisan bisa didengarkan, maka kita yang membacanya mungkin bisa ikut berdendang. Menari sambil menggoyangkan badan. Selamat datang di Ambon yang manis.
Jembatan Merah Putih di Teluk Ambon. |
Menuju ke Kota
Kesan pertama yang saya dapatkan di Ambon ternyata tidak terlalu manis. Tetapi sedikit 'asam'. Saya berpendapat demikian karena pengguna jalan yang suka ngebut. Dan itu 'asam' menurut saya. Dari Bandara Pattimura, saya menyewa taksi untuk menuju pusat kota. Taksi itu dikemudikan dengan kecepatan super.
Awalnya saya mengira hanya kebetulan, mendapatkan pengemudi yang ngebut. Tapi kenyataan di jalan mengoreksinya. Mobil-mobil lain sama, ngebut juga. Di jalan yang tak terlalu ramai, mereka meliak-liuk saling mendahului. Belum lagi banyaknya pemotor yang tak memakai helm berseliweran. Berbahaya sekali.
Dikira Alan Walker. Padahal sedang flu, masuk angin dan kedingingan di pesawat. |
Tapi musik yang mengalun dari audionya sedikit menghibur. Pengemudi, yang tak saya tanyai namanya itu, memutar lagu daerah. Khas Indonesia timur. Wuih! Ini baru Ambon, Kakak. Jedag-jedug terus. Ditambah banyaknya pernak-pernik lampu berbentuk bintang dan pohon cemara di pinggir jalan, menjadikan suasana lebih semarak. Itu adalah persiapan warga setempat menyambut Natal. Saya tiba di Ambon beberapa hari menjelang hari raya besar umat Kristiani ini.
Lalu tibalah saatnya menyeberangi Jembatan Merah Putih. Penghubung Ambon bagian utara tempat bandara berada, menuju bagian selatan yang menjadi pusat kota dan keramaian. Jembatan ini adalah salah satu landmark kota. Menjadi ikon khas, yang jika kita mencari Ambon di internet, gambar-gambarnya selalu muncul. Yang sebelum diresmikan pada 2016, dari bandara ke kota memerlukan waktu yang lebih lama. Karena dulu kita harus memutar lebih jauh ke timur, ke ujung teluk. Atau menyeberangi teluk dengan speed boat.
Keramaian yang lebih padat mulai terlihat. Malah macet dan tersendat di beberapa ruas jalan. Ambon memang kota besar di Indonesia timur. Tak salah jika ia menjadi ibukota. Maluku City Mall menjadi gedung paling menonjol yang terlihat setelah jembatan terlewati. Banyak orang berlalu lalang. Juga banyak kendaraan yang keluar masuk di sana.
Banner Maluku City Mall di jembatan penyeberangan yang kehilangan 'Y' dan 'L'. |
Setelah menyusuri jalanan kota, akhirnya saya sampai di hotel tempat menginap. Jam tujuh pagi. Dan tentu saja itu terlalu pagi. Ketentuan masuk kamar adalah pada pukul dua belas siang. Tamu-tamu hotel juga masih sarapan di restorannya. Tentu kamar saya masih terpakai. Meminta early check in juga tak memungkinkan, karena seluruh kamar terisi.
Saya sangat mengantuk. Ingin rasanya segera merebahkan badan. Membayar utang istirahat dari semalam. Saya hanya tidur satu jam saja di Makassar. Tentu itu sangat kurang. Badan saya menghangat. Lidah terasa kering. Dan tenggorokan menjadi sakit saat mencoba menelan. Sesekali batuk. Sial! Kalau tak istirahat dan minum obat, saya merasa akan bertambah parah.
Jadilah kemudian saya menitipkan ransel di konter penerima tamu. Saya mau jalan-jalan keliling Ambon saja. Mungkin saya bisa melupakan kantuk. Sekalian mencari sarapan dan minuman hangat. Rasanya itu lebih baik. Daripada saya merasa seperti 'orang bego' di ruang tunggu lobi.
Kota Sekaligus Pulau
'Manise' adalah kosa kata yang otomatis ada dalam benak saya ketika menyebut Ambon. Kata itu bermakna manis, cantik, indah. Juga sejuk dan nyaman. Jadi bisa diartikan bahwa Ambon adalah tempat yang manis dan cantik. Dan itu merujuk pada keindahan bentang alamnya. Lebih jauh lagi, juga merujuk pada keramahan warganya.
Ambon yang lebih sering dikenal sebagai nama kota, sebenarnya juga nama pulau. Dari segi penamaan, ia mirip seperti Singapura. Kota, iya. Pulau, juga iya. Luasnya pun tak jauh berbeda. Kurang lebih seperdelapan dari luas Pulau Bali. Dibandingkan dengan Sumatera atau Jawa, tentu Ambon jauh lebih kecil.
Dan jika kita mengamatinya di peta, maka kita akan melihat Ambon seperti dua pulau berbeda. Yang dipisahkan oleh lautan. Menjadi jazirah utara dan selatan. Padahal kalau kita perjelas, ia satu kesatuan yang memiliki 'leher', di mana dua teluk yang dimilikinya mau bertemu. Bagian leher itu adalah tanah di ujung masing-masing teluk. Wilayah itu adalah daerah yang bernama Paso.
Saat pesawat yang saya tumpangi hendak mendarat di Bandara Pattimura, teluk terhampar jelas. Sebagian besar pulau tampak menghijau dari atas. Perbukitannya terlihat lebat ditumbuhi pepohonan. Puncak Gunung Salahutu, 1.086 meter dari permukaan laut, adalah titik tertingginya. Tapi dalam lawatan kali ini, saya tak ada rencana mendaki ke sana.
Peta Pulau Ambon. |
Mencari Surat Keterangan Sehat
Tujuan utama saya adalah mendaki gunung. Yaitu Gunung Binaiya yang ada di Pulau Seram, pulau besar di sebelah utara Pulau Ambon. Menjadi bagian dari Taman Nasional Manusela. Karenanya saya harus memiliki surat keterangan sehat terbaru. Untuk keperluan administrasi demi mendapatkan simaksi, kependekan dari Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi.
Untung saja saya tiba di Ambon saat masih hari kerja. Puskesmas pasti buka. Terlambat sehari, sudah memasuki libur Natal dan cuti bersama. Itu tentu menyebabkan berbagai fasilitas pelayanan masyarakat tak beroperasi. Berbekal hasil pencarian di Google Maps, saya berjalan kaki menuju puskesmas terdekat. Tak lebih dari satu kilometer.
Tapi sesampainya di puskesmas tersebut, tak ada dokter jaga. Yang ada hanya tenaga kesehatan yang bukan dokter. Juga ada petugas administrasi. Mereka tak berwenang mengeluarkan surat keterangan sehat. Hanya saja, saya kemudian disarankan ke puskesmas lain.
Menuju puskesmas rujukan. Perjalanan melalui pasar. |
"Di sana dokternya (beragama) Islam" kata salah satu petugas, merujuk puskesmas yang ia sarankan. Oh! Berarti di puskesmas ini, dokternya beragama Kristen. Saya hanya menebak dalam diam. Mencoba berhati-hati untuk memberikan respon yang berisi mention agama. Kisah masa lalu di kota ini cukup mengerikan.
"Dokter di sini sudah cuti. Merayakan Natal" begitu sambungnya kemudian. Tebakan saya ternyata benar. Rumah-rumah di sekitar puskesmas hampir semuanya berhiaskan pernak-pernik Natal. Tentunya itu menandakan wilayah pemukiman yang dihuni oleh warga umat Kristiani. Jadi mungkin karena itu, ada hubungan dengan dokternya yang beragama Kristen.
Karena cukup jauh, saya ke puskesmas rujukan menggunakan ojek aplikasi. Dalam perjalanan, saya berpikir. Tentang dokter yang beragama Islam atau Kristen, yang diucapkan petugas tadi itu, tentu bukan bermaksud rasis. Tetapi lebih kepada penegasan ketersediaan tenaga. Yang karena dokternya beragama Islam, tentu besar kemungkinan dokter tersebut tidak cuti. Keperluan saya mencari surat keterangan sehat, tentu bisa dilayani.
Setelah menempuh perjalanan menyusuri pasar, sampailah saya di puskesmas yang dimaksud. Itu puskesmas kedua yang saya datangi hari ini. Benar saja. Dokter jaganya ada dan sedang bertugas. Pengunjung yang berobat juga banyak. Lumayan padat. Apalagi ada di dekat pasar. Suasananya jadi riuh.
Saya diarahkan ke tempat khusus untuk mendapatkan surat keterangan sehat. Saya mengisi formulir. Lalu menuliskan nama, nomor identitas, alamat, agama, golongan darah, serta berat dan tinggi badan. Kemudian menyerahkannya kembali kepda petugas. Tak menunggu lama, suratnya jadi. Berisi juga informasi tekanan darah saya yang normal, padahal tak ada pengecekan apa pun. Saya dinyatakan layak mendaki gunung. Kok? Tapi, yo wis lah.
Belanda dan Maluku
Dari puskesmas, saya jalan kaki ke arah hotel. Sekalian mau singgah di beberapa titik yang menjadi ikon Kota Ambon. Rencana saya adalah menyinggahi Taman Pattimura, Gong Perdamaian, dan Benteng Victoria. Lokasi ketiganya berdekatan. Juga searah dengan arah perjalanan ke hotel.
Saya menyusuri pasar, yang sepertinya tumbuh memakan badan jalan. Sepeda motor dan becak masih lalu-lalang di dalamnya. Di percabangannya dengan jalan yang lebih besar, kendaraan-kendaraan roda empat berjalan tersendat. Kebanyakan angkot dengan musik membahana.
Becak yang melintas di salah satu ruas jalan di Ambon. |
Beberapa kali, tukang ojek dan tukang becak menawari saya untuk menggunakan jasa mereka. Di Ambon, ada banyak becak. Mangkal di sudut-sudut jalan. Karena saya tidak sedang buru-buru, tentu saja saya menolak sambil mengucapkan terima kasih.
Salah satu tukang becak di pinggir jalan menarik perhatian saya. Namanya Soleman. Asli Ambon. Ia mengenakan tas cangklong bermotif merah putih biru. Itu bendera Belanda. Tak usah menebak pun, kita akan tahu ia adalah suporter De Oranje. Ia yakin, juara dunia selanjutnya adalah Virgil van Djik dan kawan-kawan.
Soleman, De Oranje dari Ambon. |
Berbeda dengan Latif, rekan seprofesinya dari Makassar yang sudah lama di Ambon. Ia ikut nimbrung. Latif yang fanatik pada Lionel Messi dan Argentina, tak sepakat. Percakapan kami kemudian berubah menjadi debat. Membahas semifinal Argentina melawan Belanda pada Piala Dunia 2022 lalu.
Berbicara tentang bola, warga Ambon pada khususnya, dan warga Maluku pada umumnya, memiliki kisah menarik dengan De Oranje. Bagi sebagian warga, Belanda mungkin adalah penjajah yang jahat. Dan bagi sebagian lain, Belanda begitu dicintai.
Dulu saat zaman penjajahan, banyak orang Maluku yang direkrut menjadi tentara KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Para tentara pribumi itu banyak yang ikut dan menetap di Belanda. Kemudian beranak cucu dan tetap di sana sampai sekarang. Jumlahnya banyak. Semuanya sudah menjadi warga resmi Negeri Kincir Angin itu.
Dari ribuan orang keturunan Maluku di sana, lahirlah kemudian nama-nama tenar. Seperti Ruud Gullit, Simon Tahamata, Roy Makaay, Giovanni van Bronckhorst, hingga Nigel de Jong. Inilah yang menyebabkan Maluku dan Ambon pada khususnya saat ini, begitu cinta dengan Belanda. Saat Piala Dunia atau Piala Eropa digelar, bendera merah putih biru akan berkibar di seantero kota.
Ke Tujuan Selanjutnya
Obrolan dengan para tukang becak, saya sudahi. "Berarti, jadi naik becak, Kakak?" mereka masih merayu sambil tertawa. Tetap ramah, walaupun saya menolak tawaran itu.
Saya, yang dikira seorang wartawan oleh mereka karena banyak bertanya dan membawa kamera, akan ke tujuan berikutnya: Taman Pattimura, Gong Perdamaian, dan Benteng Victoria. Tempat-tempat itu sudah dekat, belasan meter di depan saya. Ada apa di sana? []
I Komang Gde Subagia | Maluku, Desember 2023
Comments
Post a Comment