Saya bersama Wa Jawa ketika melali ke Taman Nasional Way Kambas, 2007 |
Namanya Ni Nengah Sukasih. Dalam arsip saya, ia tercatat lahir pada tahun 1950. Tapi kemudian diperbarui, tepatnya lahir pada tanggal 3 April 1944, di Klungkung, Bali. Meninggal dunia pada 7 November 2023 lalu, di Lampung.
Saya atau beberapa kerabat biasa memanggilnya dengan panggilan Wa Jawa. Di mana kata 'wa' ini dibaca seperti menyebut 'we' pada kata 'wewenang'. Wa adalah kosa kata Bahasa Bali. Itu sebutan untuk paman atau bibi kita, atau orang yang posisinya sejajar dengan orang tua kita. Ia juga dipanggil Dadong Jawa, oleh mereka yang berposisi sebagai cucu.
Embel-embel namanya yang berisi 'Jawa' ini memang unik. Saya tidak tahu persis bagaimana kisahnya. Tetapi itu berkaitan dengannya yang tinggal berpindah-pindah: kadang di Sumatera, kadang di Bali. Lah? Kok Sumatera? Karena bagi orang Bali, apa pun daerahnya yang ada di luar Bali, lumrah disebut sebagai Jawa. Walaupun tinggal di Sumatera, tetap disebut tinggal di Jawa.
Wa Jawa ini merupakan anak-anak generasi pertama dari keluarga besar saya, yang ikut program transmigrasi pada tahun 1960-an. Tepatnya tahun 1964. Dari Bali ke Sumatera. Ia ikut orang tuanya ke Lampung saat itu, pada pemberangkatan transmigran gelombang kedua. Berangkat dari Pelabuhan Padang Bai, berlabuh di Teluk Betung.
Saat dewasa, Wa Jawa menikah di Lampung. Tapi kemudian bercerai dan tak menikah lagi sampai akhir hayatnya. Setelah pernikahannya yang beberapa tahun itu, ia kemudian kembali ke Bali. Karena tinggal di Bali, oleh mereka yang di Lampung inilah, ia juga dipanggil dengan sebutan Wa Bali atau Dadong Bali.
Saya tak ingat persis apa aktivitasnya setelah ke Bali. Tapi yang saya tahu, ia sering mengasuh saya waktu kecil. Bapak saya yang seorang pegawai negeri dan ibu saya yang seorang pedagang di pasar, membuat hari-hari saya dari pagi sampai sore, cukup sering bersamanya. Mungkin karena itulah, saya memiliki perasaan dekat dengannya yang sulit dijelaskan.
Saya mencari beberapa foto sewaktu kecil, yang mungkin ada foto saya berdua dengannya. Aneh sekali. Foto saya bersamanya tak ada. Yang ada malah fotonya bersama kakak dan adik saya. Foto saya berdua dengan Wa Jawa hanya foto yang diambil beberapa tahun lalu. Ketika saya melali ke Taman Nasional Way Kambas pada tahun 2007. Itu adalah kali pertama saya ke Lampung.
Saat saya beranjak remaja, ia kembali ke Lampung. Lalu kembali lagi tinggal di Bali dalam waktu yang cukup lama. Periode keduanya di Bali masih cukup jelas dalam ingatan. Ia membuka warung kecil di rumah kakek saya, yang lokasinya ada di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak. Berjualan makanan ringan. Berjualan rujak dan es campur. Juga berjualan beberapa bahan kebutuhan pokok.
Sampai akhirnya ia kembali ke Lampung dan benar-benar menetap di sana. Bertani di ladang dan beternak. Setahu saya, ia memelihara banyak sapi. Ia tinggal satu natah bersama adik kandung dan keponakan-keponakannya. Saat itu, ia menempati satu rumah tua berdinding kayu, sisa-sisa rumah pertama program transmigrasi.
Saat saya tinggal di Jakarta, lalu kemudian melawat ke Lampung untuk pertama kalinya, saya menyempatkan tidur di rumahnya. Di bale bambu yang sederhana. Saya ingat, Wa Jawa menyelimuti saya ketika saya hendak terlelap malam itu. Hahaha!
Terakhir kali saya melihatnya tahun 2022 lalu. Ketika melakukan tirta yatra ke Gunung Lempuyang di Karangasem. Kini Wa Jawa sudah tak ada lagi. UPacara ngaben untuknya sudah terlaksana. Jasadnya sudah hilang, kembali ke alam. Sedih juga rasanya. Segalanya di dunia ini memang tak ada yang kekal. Yang ada, pasti akan tiada.
Tapi mereka yang telah meninggal dunia, toh sebenarnya tak pernah hilang seutuhnya. Mereka hanya bertransformasi dalam wujud lain, hidup dan abadi dalam wejangan-wejangannya. Mereka tetap ada dalam ingatan dan dalam kenangan orang-orang terdekatnya.
Saya menuliskan memoar pendek ini sebagai bentuk penghormatan. Sebagai kesaksian bahwa saya pernah bersamanya. Warna-warni masa kecil saya yang ceria, cukup banyak dilukis olehnya. Terima kasih, Wa Jawa. Sampai jumpa di lain kesempatan, dalam semesta yang berbeda. []
I Komang Gde Subagia | Lampung Tengah, November 2023
Comments
Post a Comment