Dagang Jukut |
Jika olahraga di persawahan Kertalangu di pinggiran Kota Denpasar, kita pasti melihat ada beberapa perempuan paruh baya yang berjualan hasil sawah dan ladang. Seperti Ni Wayan Muntik di foto ini. Saban sore ia biasa menggelar dagangannya di pematang sawah di tepian jalur olahraga.
Biasanya ada kangkung dan kacang panjang yang dijual, atau daun pisang. Tapi sepertinya memang bukan musimnya kali ini. Yang saya lihat adalah jagung, ubi, talas, dan daun pepaya muda. Ada juga lengis tandusan, minyak kelapa yang diolah secara tradisional dalam botol air mineral. Saya kira itu adalah sebotol arak bali. Lengis ini cocok untuk buat sambal matah, katanya meyakinkan saya.
Ia yang lahir dan besar di Kertalangu bercerita pada saya, yang nongkrong di depan lapaknya. Tentang aktivitasnya sehari-hari membuat ceper dan porosan untuk bahan canang. Tentang aktivitasnya mencari nafkah dengan berjualan di Kertalangu. Tentang kisahnya yang masih lajang dan tak mau merepotkan para keponakannya secara materi. Juga tentangnya yang tetap bersemangat dan hepi menjalani hari-hari.
Malam perlahan mulai turun. Ibu Muntik mulai merapikan sisa dagangannya, bersiap untuk pulang. Ia tersenyum sumringah saat satu kantong jagungnya saya beli di penghujung hari. "Suksma nggih, Pak!" katanya hormat. Mengucapkan terima kasih pada saya yang bukan orang penting dan bukan siapa-siapa ini.
Hal-hal di sekitar kita memang biasa saja. Tapi ketika kita mampir dan berjumpa dengan orang-orang yang tersamarkan keriuhan, itu menjadi spesial. Ibu Muntik dan jutaan manusia lainnya di berbagai pelosok bumi adalah tokoh-tokoh yang punya cerita. Memberikan sudut pandang berbeda dan unik. Membuat yang kita lihat biasa menjadi lebih berwarna.
"Suksma mewali, Buk" saya pun menutup pembicaraan. Pamit dan melangkah untuk melanjutkan satu putaran 'lari' lagi. Yang karena sekarang membawa sekantong jagung, lari saya akhirnya menjadi jalan kaki. Santai saja, supaya jagungnya tidak jatuh. []
I Komang Gde Subagia - Denpasar, Oktober 2021
Comments
Post a Comment