Akhirnya saya terkena penyakit karena virus laknat ini. Saya menyebutnya laknat karena saya kesal sekali. Pada virusnya, pada penyakitnya, dan juga pada imbasnya yang terjadi yang membatalkan banyak sekali rencana.
Ceritanya dimulai pada akhir minggu kedua bulan Agustus 2021 ini. Saya yang sudah bekerja WFH setahun lebih, mengambil cuti beberapa hari di antara libur tujuhbelasan dan Idul Adha. Dan di waktu libur inilah, saya mencurigai virus tersebut mengenai saya.Malam itu, menjelang upacara piodalan di pura keluarga besar saya di Klungkung, saya cegukan. Biasanya, jika saya cegukan, itu menandakan saya akan sakit. Tapi hari itu, saya tetap memutuskan untuk pulang dari Denpasar ke Klungkung.
Esok harinya, seperti dugaan, saya mulai demam. Saya tak menghadiri upacara piodalan. Saya yang belum tahu bahwa saya sudah terkena covid, hanya mengira flu biasa, memutuskan tak datang ke upacara untuk jaga-jaga saja. Siapa tahu beneran covid dan itu menular ke yang lain.
Lewat tiga hari, demam saya tak turun-turun walaupun sudah minum paracetamol. Nafsu makan mulai tak karuan. Makanan terasa pahit semua.
Hari keempat. Tiba-tiba pagi itu penciuman saya aneh. Tidak bisa membaui sama sekali. Minyak angin dan handsanitizer yang saya semprotkan ke tangan tak ada baunya. Hanya ada bau menyengat aneh. Saya mulai panik.
Sorenya, saya putuskan ke dokter yang praktik di dekat rumah di Klungkung. Diberikan paracetamol, obat batuk, dan vitamin. Serta disarankan untuk tes swab ke puskesmas terdekat. Sial! Saya pasti covid, begitu batin saya di dalam hati.
Istri saya yang merawat saya, hari itu mulai demam juga. Waduh. Sepertinya sudah menular.
Hari kelima, saya putuskan balik ke Denpasar saja. Setelah sebelumnya mengantarkan istri ke dokter juga. Saya kordinasikan hal ini pada adik saya. Bahwa kemungkinan besar, saya sudah benar-benar positif covid. Mewanti-wantinya untuk mengawasi kedua orang tua saya.
Tapi, adik saya ternyata mulai nggak enak badan juga. Ayah saya juga mulai demam. Sial! Saya tetap balik ke Denpasar malam itu dengan kondisi yang kurang fit. Saya hanya menitip pesan pada adik saya untuk memonitor orang tua dan mengabari kondisi di rumah. Kepanikan saya bertambah, terutama karena tahu orang tua saya rasanya sudah terpapar juga.
Hari keenam di Denpasar, saya akhirnya ke Bros, rumah sakit yag biasa saya kunjungi jika ada masalah kesehatan. Dengan kondisi yang kurang fit, demam, dan tak tidur selama dua hari; saya dan istri saya mulai mengantri di bagian poliklinik umum. Tersiksa sekali rasanya.
Sayang. Di Bros tidak ada fasilitas PCR. Saya hanya diswab antigen dan cek darah. Hasilnya rekatif, alias positif. Dengan gejala yang saya alami, kata dokter, sudah dipastikan saya ini positif covid. Walaupun tetap butuh PCR untuk lebih memastikannya lagi.
Akhirnya, setelah mendapatkan obat dan vitamin, saya pulang ke rumah saja. Dokter menyarankan untuk isolasi mandiri dan tes PCR lagi. Tapi saya tak melanjutkan untuk mencari tes PCR lagi. Selain karena sudah sangat lelah, kondisi memang sudah makin tidak fit.
Kabar dari rumah di Klungkung juga mengagetkan. Adik saya yang udah tes PCR, hasilnya positif covid. Begitu juga istrinya dan ayah saya. Termasuk anak-anak, yang positif tanpa gejala. Hanya ibu saya yang negatif. Tapi syukurlah, kondisi mereka tak terlalu parah. Mereka juga menjalani isolasi mandiri di rumah dengan pantauan tim satuan tugas covid.
Kembali ke saya, beberapa hari isolasi mandiri di rumah, cukup merepotkan. Karena harus menyiapkan semuanya sendiri. Makanan, bersih-bersih rumah, dan lain-lain. Sebagian besar makanan saya order melalui aplikasi dan pembayaran dengan uang digital, supaya tidak berinteraksi langsung dengan kurir. Hal ini lumayan membantu.
Beberapa hari kemudian, kondisi saya mulai membaik. Nafsu makan mulai ada dan malah menggila. Saya jadi ingin makan banyak. Rasanya aneh, kok saya malah makan banyak. Tapi rasanya perubahan iya menguntungkan, karena saya tak terpaksa untuk makan lagi.
Di hari ke-17, saya sudah merasa benar-benar fit. Akhirnya memutuskan untuk cek ke dokter. Kali ini ke Siloam yang lokasinya lebih jauh dari rumah. Rekomendasi dari kantor saya, karena di sana ada fasilitas PCR.
Dan syukurlah, hari ke-17 itu, hasil tes PCR saya dan istri saya cukup baik. Saya dinyatakan negatif. Sementara istri saya masih dinyatakan positif dengan nilai CT yang membaik, yang artinya sudah mengarah sembuh.
Hari ke-19, saya sudah mulai beraktivitas normal. Bekerja seperti biasa dan menganggap semuanya biasa saja. Saya merasa takjub juga. Ternyata saya bisa melewati infeksi covid ini. Antibody natural saya lumayan juga. Ternyata kepanikan saya lebih besar dari gejala yang saya alami.
Satu hal yang bisa saya petik dari pengalaman terkena covid ini adalah : untuk selalu tetap tenang. Jika selama ini kita sehat, tidak punya komorbid, dan normal-normal saja; harusnya bisa melalui kejadian terinfeksi virus ini. Yang penting minum obat yang diperlukan seperti paracetamol atau obat batuk, minum multi vitamin atau ramuan tradisional, serta rutin berolahraga ringan, serta berlatih pernafasan. Serta jangan lupa siapkan oxymeter dan termometer untuk memantau saturasi oksigen dan suhu tubuh.
Kita memang sulit menghindari virus di musim pandemi seperti sekarang ini. Yang diperlukan adalah beradaptasi dengannya. Kalau kata Charles Darwin, yang bisa bertahan adalah bukan yang terkuat, tapi yang bisa beradaptasi dengan segala kondisi. Ganbate! []
I Komang Gde Subagia | Klungkung - Denpasar, Agustus 2021
Comments
Post a Comment