Di atas pintu gapura pura dadia keluarga besar saya di Klungkung, ada sebuah petunjuk waktu. Yang telah lapuk dimakan usia. Yang hanya menyisakan keterangan bulan dan tahun : Juni 1952.
Bagi masyarakat Bali, pura dadia adalah pura keluarga besar. Tempat suci yang sangat penting. Tempat bersejarah. Tempat asal para leluhur. Sekaligus juga tempat pemujaan kepada Hyang Widhi, yang maha tunggal.
Karena itulah, dalam berbagai kesempatan saya sering menanyakan perihal sejarah yang berhubungan dengan keluarga besar saya. Mencatatnya. Dengan tujuan memperpanjang ingatan dan menolak lupa. Termasuk sejarah tentang pura dadia saya ini : Pura Dadia Arya Keloping di Desa Besang Kawan Tohjiwa. Di Klungkung, Bali.
Salah satu orang yang bercerita pada saya adalah I Ketut Nurana. Saya biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Okoh. Ia adalah kakak ipar dari ayah saya. Termasuk anggota keluarga yang sudah sepuh. Dan tentunya menjadi saksi langsung di masa-masa tahun 1950-an. Tahun di mana pura dadia ini baru berdiri.
Kata Pak Okoh, pura dadia ini awalnya hanya pura keluarga yang terdiri dari pelinggih-pelinggih sederhana. Temboknya berupa tanah liat. Salah satu hal yang paling diingatnya adalah pohon belimbing yang tumbuh cukup besar di sudut kelod kangin atau di bagian tenggara.
Baru pada tahun 1951, pemugaran dan pembangunan pura dimulai. Bahannya menggunakan batu bata khas zaman Majapahit. Tembok di bagian luar berlapiskan bata dan keramik. Dan gapura tinggi yang berdiri sangat megah.
Tukang-tukang yang mengerjakan pembuatan pura dadia ini ada lima orang. Hanya dua yang diingat oleh Pak Okoh. Yaitu I Wanres dari Desa Tangkas di Klungkung. Dan I Kedu dari Desa Blusung, Tampaksiring.
Selama proses pembangunan, tukang-tukang ini menginap di rumah Pak Acir. Pak Acir adalah paman saya yang lain. Pura dadia kami memang dibangun di bagian kaja kangin atau timur laut rumahnya. Sesuai kesepakatan keluarga besar kami kala itu.
Juni 1952, pembangunan pura dadia selesai. Konon, pura dadia kami menjadi yang termegah di Besang Kawan pada zaman itu. Dulu, selain pura dan puri milik bangsawan, sangat jarang ada bangunan megah di kalangan masyarakat biasa.
Seperti kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, bangunan pura yang baru ini haruslah diupacarai. Upacaranya adalah upacara Rsi Gana. Dilaksanakan tepat pada Purnama Kedasa. Pada hari Jumat, Sukra Umanis Kelawu, tanggal 31 Maret 1961. Sembilan tahun sejak banguban pura selesai dibangun.
Maka sejak saat itulah, upacara piodalan di pura dadia saya diperingati setiap Sukra Umanis Kelawu. Berdasarkan wuku. Yang dalam penanggalan masehi, jatuhnya setiap 210 hari sekali.
Pemilihan piodalan ini sudah dipilih berdasarkan wuku. Saya tak tahu, kenapa dipilihnya demikian. Kenapa tidak dipilih berdasarkan sasih? Atau kenapa bukan setiap Purnama Kedasa? Mungkin saja karena Purnama Kedasa adalah hari besar. Di mana di Desa Besang Kawan Tohjiwa juga telah memiliki piodalan di waktu tersebut. Mungkin supaya tidak berbarengan.
Demikianlah. Sedikit cerita tentang pura keluarga besar saya : Pura Dadia Arya Keloping di Besang Kawan Tohjiwa. Yang samar-samar masih bisa diingat dan dituliskan dalam catatan kecil ini. []
I Komang Gde Subagia - Klungkung, Juli 2020
Bagi masyarakat Bali, pura dadia adalah pura keluarga besar. Tempat suci yang sangat penting. Tempat bersejarah. Tempat asal para leluhur. Sekaligus juga tempat pemujaan kepada Hyang Widhi, yang maha tunggal.
Karena itulah, dalam berbagai kesempatan saya sering menanyakan perihal sejarah yang berhubungan dengan keluarga besar saya. Mencatatnya. Dengan tujuan memperpanjang ingatan dan menolak lupa. Termasuk sejarah tentang pura dadia saya ini : Pura Dadia Arya Keloping di Desa Besang Kawan Tohjiwa. Di Klungkung, Bali.
Salah satu orang yang bercerita pada saya adalah I Ketut Nurana. Saya biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Okoh. Ia adalah kakak ipar dari ayah saya. Termasuk anggota keluarga yang sudah sepuh. Dan tentunya menjadi saksi langsung di masa-masa tahun 1950-an. Tahun di mana pura dadia ini baru berdiri.
Kata Pak Okoh, pura dadia ini awalnya hanya pura keluarga yang terdiri dari pelinggih-pelinggih sederhana. Temboknya berupa tanah liat. Salah satu hal yang paling diingatnya adalah pohon belimbing yang tumbuh cukup besar di sudut kelod kangin atau di bagian tenggara.
Baru pada tahun 1951, pemugaran dan pembangunan pura dimulai. Bahannya menggunakan batu bata khas zaman Majapahit. Tembok di bagian luar berlapiskan bata dan keramik. Dan gapura tinggi yang berdiri sangat megah.
Tukang-tukang yang mengerjakan pembuatan pura dadia ini ada lima orang. Hanya dua yang diingat oleh Pak Okoh. Yaitu I Wanres dari Desa Tangkas di Klungkung. Dan I Kedu dari Desa Blusung, Tampaksiring.
Selama proses pembangunan, tukang-tukang ini menginap di rumah Pak Acir. Pak Acir adalah paman saya yang lain. Pura dadia kami memang dibangun di bagian kaja kangin atau timur laut rumahnya. Sesuai kesepakatan keluarga besar kami kala itu.
Juni 1952, pembangunan pura dadia selesai. Konon, pura dadia kami menjadi yang termegah di Besang Kawan pada zaman itu. Dulu, selain pura dan puri milik bangsawan, sangat jarang ada bangunan megah di kalangan masyarakat biasa.
Seperti kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, bangunan pura yang baru ini haruslah diupacarai. Upacaranya adalah upacara Rsi Gana. Dilaksanakan tepat pada Purnama Kedasa. Pada hari Jumat, Sukra Umanis Kelawu, tanggal 31 Maret 1961. Sembilan tahun sejak banguban pura selesai dibangun.
Maka sejak saat itulah, upacara piodalan di pura dadia saya diperingati setiap Sukra Umanis Kelawu. Berdasarkan wuku. Yang dalam penanggalan masehi, jatuhnya setiap 210 hari sekali.
Pemilihan piodalan ini sudah dipilih berdasarkan wuku. Saya tak tahu, kenapa dipilihnya demikian. Kenapa tidak dipilih berdasarkan sasih? Atau kenapa bukan setiap Purnama Kedasa? Mungkin saja karena Purnama Kedasa adalah hari besar. Di mana di Desa Besang Kawan Tohjiwa juga telah memiliki piodalan di waktu tersebut. Mungkin supaya tidak berbarengan.
Demikianlah. Sedikit cerita tentang pura keluarga besar saya : Pura Dadia Arya Keloping di Besang Kawan Tohjiwa. Yang samar-samar masih bisa diingat dan dituliskan dalam catatan kecil ini. []
I Komang Gde Subagia - Klungkung, Juli 2020
Comments
Post a Comment