Sukra Umanis Kelawu. Hari Jumat 19 Juni 2020, adalah hari upacara piodalan di pura dadia keluarga besar saya. Pura Dadia Arya Keloping, Besang Kawan Tohjiwa. Di Klungkung, Bali.
Ada yang tak biasa dari upacara kali ini. Yaitu tak meriah. Hanya dihadiri beberapa kerabat keluarga saja. Yang memang tinggal di sekitar pura.
Kecuali saya yang dari Denpasar, anggota keluarga lainnya yang tinggal di luar Klungkung tak hadir. Termasuk pihak keluarga dari saudara perempuan kami yang telah menikah keluar, juga tak datang.
Tak ada terpasang pengangge atau hiasan-hiasan layaknya upacara besar. Tak ada penjor. Tak ada babi guling. Tak ada iringan gamelan. Juga tak ada pedanda yang memimpin upacara. Hanya Jero Mangku keluarga yang menjadi pemuput.
Semuanya terjadi karena saat ini masih musim pandemi virus corona, covid 19. Yang mana sudah diatur, bahwa segala jenis kegiatan keagamaan harus terbatas. Dibatasi secara jumlah orang yang mengikuti kegiatan. Dan dibatasi secara skala kegiatan. Tak boleh lebih dari dua puluh lima orang. Tak boleh ada keramaian.
Sedih juga melihat kondisi seperti ini. Bagi saya, upacara piodalan di pura dadia keluarga besar saya adalah hari yang cukup spesial. Hari di mana semua anggota keluarga bisa berkumpul menjadi satu. Mempersiapkan upacara bersama. Berdoa bersama. Makan-makan bersama.
Kali ini upacara piodalan cukup singkat, tak seperti biasanya. Yang rencananya dimulai pukul sembilan pagi, terlambat menjadi pukul sebelas siang. Selesai menjelang jam satu. Dan langsung nyineb. Atau ditutup siang itu juga. Biasanya, nyineb dilakukan sehari setelahnya.
Memang, tak hanya di pura keluarga saya hal ini terjadi. Dua hari sebelumnya yang merupakan Buda Wage Kelawu, adalah hari di mana banyak ada piodalan besar. Semua pura keluarga yang memiliki upacara piodalan mengalami hal yang sama. Hanya melaksanakan piodalan alit. Yang kecil-kecilan. Semua karena alasan corona, covid 19.
Di salah satu sudut jajaran bebantenan, saya melihat Jero Mangku menunjukkan sebuah banten yang jarang saya lihat. Bebek panggang berselimutkan kain dengan berberapa perlengkapan lainnya. Itulah banten guru piduka.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, guru piduka adalah wujud bakti. Sebuah simbol permohonan maaf pada Hyang Widhi dan para leluhur. Bahwa manusia tak luput dari kekeliruan dan kesalahan. Yang dilakukan akibat ketidakmampuan atau belum bisa sepenuhnya menjalankan apa yang diamanatkan.
Begitulah piodalan kali ini. Yang dilaksanakan secara alit. Yang hanya kecil-kecilan. Tak begitu meriah. Dan berlangsung dua jam saja. []
I Komang Gde Subagia - Klungkung, Juni 2020
Piodalan Alit Dadia Arya Keloping Besang Kawan Tohjiwa |
Ada yang tak biasa dari upacara kali ini. Yaitu tak meriah. Hanya dihadiri beberapa kerabat keluarga saja. Yang memang tinggal di sekitar pura.
Kecuali saya yang dari Denpasar, anggota keluarga lainnya yang tinggal di luar Klungkung tak hadir. Termasuk pihak keluarga dari saudara perempuan kami yang telah menikah keluar, juga tak datang.
Tak ada terpasang pengangge atau hiasan-hiasan layaknya upacara besar. Tak ada penjor. Tak ada babi guling. Tak ada iringan gamelan. Juga tak ada pedanda yang memimpin upacara. Hanya Jero Mangku keluarga yang menjadi pemuput.
Semuanya terjadi karena saat ini masih musim pandemi virus corona, covid 19. Yang mana sudah diatur, bahwa segala jenis kegiatan keagamaan harus terbatas. Dibatasi secara jumlah orang yang mengikuti kegiatan. Dan dibatasi secara skala kegiatan. Tak boleh lebih dari dua puluh lima orang. Tak boleh ada keramaian.
Melukat / Mabersih, Rangkaian Upacara Piodalan |
Banten Guru Piduka |
Sedih juga melihat kondisi seperti ini. Bagi saya, upacara piodalan di pura dadia keluarga besar saya adalah hari yang cukup spesial. Hari di mana semua anggota keluarga bisa berkumpul menjadi satu. Mempersiapkan upacara bersama. Berdoa bersama. Makan-makan bersama.
Kali ini upacara piodalan cukup singkat, tak seperti biasanya. Yang rencananya dimulai pukul sembilan pagi, terlambat menjadi pukul sebelas siang. Selesai menjelang jam satu. Dan langsung nyineb. Atau ditutup siang itu juga. Biasanya, nyineb dilakukan sehari setelahnya.
Memang, tak hanya di pura keluarga saya hal ini terjadi. Dua hari sebelumnya yang merupakan Buda Wage Kelawu, adalah hari di mana banyak ada piodalan besar. Semua pura keluarga yang memiliki upacara piodalan mengalami hal yang sama. Hanya melaksanakan piodalan alit. Yang kecil-kecilan. Semua karena alasan corona, covid 19.
Di salah satu sudut jajaran bebantenan, saya melihat Jero Mangku menunjukkan sebuah banten yang jarang saya lihat. Bebek panggang berselimutkan kain dengan berberapa perlengkapan lainnya. Itulah banten guru piduka.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, guru piduka adalah wujud bakti. Sebuah simbol permohonan maaf pada Hyang Widhi dan para leluhur. Bahwa manusia tak luput dari kekeliruan dan kesalahan. Yang dilakukan akibat ketidakmampuan atau belum bisa sepenuhnya menjalankan apa yang diamanatkan.
Begitulah piodalan kali ini. Yang dilaksanakan secara alit. Yang hanya kecil-kecilan. Tak begitu meriah. Dan berlangsung dua jam saja. []
I Komang Gde Subagia - Klungkung, Juni 2020
Comments
Post a Comment