Saya telah menghabiskan waktu semalam di Wae Rebo, kampung tradisional di pedalaman Manggarai. Bersama Leonardus Jalo, seorang teman yang telah menemani saya dari Labuan Bajo. Kini, saatnya saya melanjutkan perjalanan.
Kembali ke Denge
Hari telah beranjak siang. Saya dan Leon telah tiba lagi di ujung aspal Kampung Denge. Kondisi kami kucel. Pakaian kotor. Sepatu dan ujung celana juga belepotan lumpur.
Saya beristirahat di tepi sungai. Sambil menunggu Leon menyiapkan motornya. Beberapa orang Wae Rebo baru saja datang dari bawah. Membawa serta berbagai barang keperluan : beras, telur, dan ayam. Semuanya terikat dalam pikulan kayu.
Saya dan Leon berpisah dengan Rhapael, pemandu kami ke Wae Rebo. Motor harus dipacu lagi. Menuju Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai di Flores.
Ruteng masih jauh dari Denge. Perjalanan masih lama. Mungkin sekitar lima jam lagi sampainya.
Ayo, semangat! Kata saya pada Leon. Kami meluncur. Menyusuri jalan yang menurun terus. Menuju Dintor, kampung yang ada di bawah sana. Di pesisir selatan.
Pemandangan di Sepanjang Jalan
Sawah-sawah selepas Denge membentang luas. Ada banyak kerbau yang merumput di pematang. Kadang ada pula anjing berkeliaran. Atau babi peliharaan yang diikat di tonggak kayu.
Di rumah-rumah warga yang kami lewati, saya melihat perempuan-perempuan Manggarai yang sedang menenun sambil berteduh di bawah pohon. Atau di bawah gubuk beratapkan ijuk di depan rumah.
Menenun adalah bagian rutinitas sehari-hari perempuan di Flores. Aktivitas yang dilakukan untuk menopang kesejahteraan keluarga. Bahkan ada falsafah, bahwa seorang anak perempuan tidak bisa dinikahkan jika ia belum tahu atau tidak mahir dalam menenun.
Menyusuri Pantai Selatan
Selepas Dintor, kami menuju ke timur. Menyusuri pantai lagi. Menuju Iteng, sebuah desa pesisir di Kecamatan Satarmese, Manggarai. Kata Leon, ia tahu jalan ke Ruteng dari Iteng.
Saya sempatkan membuka peta Google maps mode offline. Yang sudah saya siapkan jauh-jauh hari sebelum ke Flores. Jarak dari Dintor ke Iteng masih jauh. Sekitar 35 kilometer. Dari Iteng ke Ruteng juga jauh, 35 kilometer juga.
Pemandangan sepanjang pantai selatan memang sangat ciamik. Muantap. Pantainya bersih. Ombak-ombak berdeburan. Bahkan ada yang sampai menyentuh bibir jalan.
Sungai-sungai yang bermuara di pantai selatan juga bagus. Mengalirkan air yang jernih. Dengan jembatan yang menyambungkan jalan yang terbuat dari pipa gorong-gorong. Tak ada jembatan besar dari baja.
Suasana di jalan sepi. Jalur menuju Iteng ini memang tak melalui banyak kampung. Hanya ada satu dua pemukiman nelayan. Itu pun dengan jumlah rumah yang tak lebih dari hitungan jari. Kalau ban sampai bocor di sini, bisa berabe.
Tak Tahu Jalan
Sebagai orang Manggarai dan warga Satarmese, Leon sama sekali tak tahu jalan. Desa Iteng yang kami tuju tak pernah kami temui. Karena kami telah berbelok ke utara. Meninggalkan pantai. Menyusuri kawasan pesisir yang penuh semak.
Leon berdalih karena ada banyak pertigaan jalan. Tapi saya tak masalah. Inilah petualangan. Walaupun hanya naik motor di pelosok Flores. Hal-hal tak terduga membuat perjalanan menjadi lebih berwarna. Termasuk nyasar ke jalan yang tak seharusnya.
Dan sayangnya, jalan yang kami lalui adalah jalan kecil. Bukan jalur utama menuju Ruteng. Sesekali saya membuka peta lagi. Memastikan bahwa jalan yang kami lalui bisa ditempuh sampai di tujuan.
Selain itu, jalannya rusak parah. Hampir di setiap titik jalan ada lubang dan kubangan air. Leon yang mengendarai motor sampai frustasi. Beginilah Manggarai. Uang yang ada masuk kantong pribadi saja. Bukan untuk buat jalan. Keluhnya tentang pemerintah daerah.
Pegunungan Mandasawu
Perjalanan masih panjang. Waktu sudah lewat tengah hari. Kami lapar dan belum makan. Di peta, jalan yang kami tempuh akan melintasi pegunungan. Hutan semua. Mendaki dan berkelok. Jaraknya pun cukup panjang.
Itulah Pegunungan Mandasawu. Dengan Gunung Ranaka yang menjadi titik tertinggi di Pulau Flores. Suasana di perjalanan menjadi sejuk. Malah cenderung dingin. Juga mendung dan berkabut.
Hutan di Mandasawu cukup lebat. Pepohonan besar-besar. Beberapa tempat ditumbuhi semak-semak. Aliran sungai mengalir. Palem dan pakis tumbuh subur di beberapa sudut sekitar aliran air. Serta pemandangan tebing-tebing yang rawan longsor.
Kami akhirnya sampai di jalan utama. Menyusuri jalur Iteng ke Ruteng. Yang berkelok-kelok menembus pegunungan. Yang kondisinya rusak. Berlubang di sana sini. Sekali lagi, pemerintah daerah Manggarai disebut-sebut oleh Leon. Yang oknum kepala daerahnya pernah ditangkap KPK.
Di jalan utama di tengah hutan ini tak sepi-sepi amat. Kami berpapasan dengan beberapa otokol dan minibus. Beberapa sepeda motor dan mobil pribadi. Pengendara atau penumpangnya kemungkinan warga setempat yang pulang pergi dari Iteng ke Ruteng.
Tiba di Ruteng
Titik tertinggi jalan mendaki yang kami lalui adalah 1.700 meter di atas permukaan laut. Setelahnya, jalan menurun terus. Rumah-rumah dan gedung-gedung di Kota Ruteng sudah kelihatan. Berjajar acak di arah utara perjalanan kami.
Beberapa menit kemudian, keramaian mulai muncul. Kendaraan berseliweran. Juga orang-orang yang berlalu-lalang. Dan makin lama makin ramai. Ini sudah di kota. Dan ternyata kami masuk ke kawasan Pasar Ruteng.
Kami yang kelaparan langsung mencari warung makan. Leon yang saya minta mencari warung makan memilih sebuah warung padang. Okelah. Lumayan untuk menghentikan lapar. Juga bisa istirahat sambil mencari penginapan terdekat.
Badan saya sudah pegal usai mendaki ke Wae Rebo. Juga non stop naik motor ratusan kilometer selama beberapa hari terakhir ini.
Dengan sampainya kami di Ruteng, itu berarti waktunya saya berpisah dengan Leon. Sedih juga. Ia telah menemani saya tiga hari ini. Ia pun kembali ke Labuan Bajo. Tak lupa pula ia mengingatkan saya, untuk mengiriminya foto dan video selama di Wae Rebo.
Sepeninggal Leon, saya mulai menikmati kesendirian di Ruteng. Di sebuah penginapan tua yang sepi tamu. Dan agak horor. []
I Komang Gde Subagia - Manggarai, Juni 2019
Jalan dari Iteng ke Ruteng di Pegunungan Mandasawu |
Kembali ke Denge
Hari telah beranjak siang. Saya dan Leon telah tiba lagi di ujung aspal Kampung Denge. Kondisi kami kucel. Pakaian kotor. Sepatu dan ujung celana juga belepotan lumpur.
Saya beristirahat di tepi sungai. Sambil menunggu Leon menyiapkan motornya. Beberapa orang Wae Rebo baru saja datang dari bawah. Membawa serta berbagai barang keperluan : beras, telur, dan ayam. Semuanya terikat dalam pikulan kayu.
Saya dan Leon berpisah dengan Rhapael, pemandu kami ke Wae Rebo. Motor harus dipacu lagi. Menuju Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai di Flores.
Ruteng masih jauh dari Denge. Perjalanan masih lama. Mungkin sekitar lima jam lagi sampainya.
Ayo, semangat! Kata saya pada Leon. Kami meluncur. Menyusuri jalan yang menurun terus. Menuju Dintor, kampung yang ada di bawah sana. Di pesisir selatan.
Pemandangan di Sepanjang Jalan
Sawah-sawah selepas Denge membentang luas. Ada banyak kerbau yang merumput di pematang. Kadang ada pula anjing berkeliaran. Atau babi peliharaan yang diikat di tonggak kayu.
Di rumah-rumah warga yang kami lewati, saya melihat perempuan-perempuan Manggarai yang sedang menenun sambil berteduh di bawah pohon. Atau di bawah gubuk beratapkan ijuk di depan rumah.
Menenun adalah bagian rutinitas sehari-hari perempuan di Flores. Aktivitas yang dilakukan untuk menopang kesejahteraan keluarga. Bahkan ada falsafah, bahwa seorang anak perempuan tidak bisa dinikahkan jika ia belum tahu atau tidak mahir dalam menenun.
Menyusuri Pantai Selatan
Selepas Dintor, kami menuju ke timur. Menyusuri pantai lagi. Menuju Iteng, sebuah desa pesisir di Kecamatan Satarmese, Manggarai. Kata Leon, ia tahu jalan ke Ruteng dari Iteng.
Saya sempatkan membuka peta Google maps mode offline. Yang sudah saya siapkan jauh-jauh hari sebelum ke Flores. Jarak dari Dintor ke Iteng masih jauh. Sekitar 35 kilometer. Dari Iteng ke Ruteng juga jauh, 35 kilometer juga.
Pemandangan sepanjang pantai selatan memang sangat ciamik. Muantap. Pantainya bersih. Ombak-ombak berdeburan. Bahkan ada yang sampai menyentuh bibir jalan.
Sungai-sungai yang bermuara di pantai selatan juga bagus. Mengalirkan air yang jernih. Dengan jembatan yang menyambungkan jalan yang terbuat dari pipa gorong-gorong. Tak ada jembatan besar dari baja.
Suasana di jalan sepi. Jalur menuju Iteng ini memang tak melalui banyak kampung. Hanya ada satu dua pemukiman nelayan. Itu pun dengan jumlah rumah yang tak lebih dari hitungan jari. Kalau ban sampai bocor di sini, bisa berabe.
Tak Tahu Jalan
Sebagai orang Manggarai dan warga Satarmese, Leon sama sekali tak tahu jalan. Desa Iteng yang kami tuju tak pernah kami temui. Karena kami telah berbelok ke utara. Meninggalkan pantai. Menyusuri kawasan pesisir yang penuh semak.
Leon berdalih karena ada banyak pertigaan jalan. Tapi saya tak masalah. Inilah petualangan. Walaupun hanya naik motor di pelosok Flores. Hal-hal tak terduga membuat perjalanan menjadi lebih berwarna. Termasuk nyasar ke jalan yang tak seharusnya.
Dan sayangnya, jalan yang kami lalui adalah jalan kecil. Bukan jalur utama menuju Ruteng. Sesekali saya membuka peta lagi. Memastikan bahwa jalan yang kami lalui bisa ditempuh sampai di tujuan.
Selain itu, jalannya rusak parah. Hampir di setiap titik jalan ada lubang dan kubangan air. Leon yang mengendarai motor sampai frustasi. Beginilah Manggarai. Uang yang ada masuk kantong pribadi saja. Bukan untuk buat jalan. Keluhnya tentang pemerintah daerah.
Pegunungan Mandasawu
Perjalanan masih panjang. Waktu sudah lewat tengah hari. Kami lapar dan belum makan. Di peta, jalan yang kami tempuh akan melintasi pegunungan. Hutan semua. Mendaki dan berkelok. Jaraknya pun cukup panjang.
Itulah Pegunungan Mandasawu. Dengan Gunung Ranaka yang menjadi titik tertinggi di Pulau Flores. Suasana di perjalanan menjadi sejuk. Malah cenderung dingin. Juga mendung dan berkabut.
Hutan di Mandasawu cukup lebat. Pepohonan besar-besar. Beberapa tempat ditumbuhi semak-semak. Aliran sungai mengalir. Palem dan pakis tumbuh subur di beberapa sudut sekitar aliran air. Serta pemandangan tebing-tebing yang rawan longsor.
Kami akhirnya sampai di jalan utama. Menyusuri jalur Iteng ke Ruteng. Yang berkelok-kelok menembus pegunungan. Yang kondisinya rusak. Berlubang di sana sini. Sekali lagi, pemerintah daerah Manggarai disebut-sebut oleh Leon. Yang oknum kepala daerahnya pernah ditangkap KPK.
Di jalan utama di tengah hutan ini tak sepi-sepi amat. Kami berpapasan dengan beberapa otokol dan minibus. Beberapa sepeda motor dan mobil pribadi. Pengendara atau penumpangnya kemungkinan warga setempat yang pulang pergi dari Iteng ke Ruteng.
Tiba di Ruteng
Titik tertinggi jalan mendaki yang kami lalui adalah 1.700 meter di atas permukaan laut. Setelahnya, jalan menurun terus. Rumah-rumah dan gedung-gedung di Kota Ruteng sudah kelihatan. Berjajar acak di arah utara perjalanan kami.
Beberapa menit kemudian, keramaian mulai muncul. Kendaraan berseliweran. Juga orang-orang yang berlalu-lalang. Dan makin lama makin ramai. Ini sudah di kota. Dan ternyata kami masuk ke kawasan Pasar Ruteng.
Kami yang kelaparan langsung mencari warung makan. Leon yang saya minta mencari warung makan memilih sebuah warung padang. Okelah. Lumayan untuk menghentikan lapar. Juga bisa istirahat sambil mencari penginapan terdekat.
Badan saya sudah pegal usai mendaki ke Wae Rebo. Juga non stop naik motor ratusan kilometer selama beberapa hari terakhir ini.
Dengan sampainya kami di Ruteng, itu berarti waktunya saya berpisah dengan Leon. Sedih juga. Ia telah menemani saya tiga hari ini. Ia pun kembali ke Labuan Bajo. Tak lupa pula ia mengingatkan saya, untuk mengiriminya foto dan video selama di Wae Rebo.
Sepeninggal Leon, saya mulai menikmati kesendirian di Ruteng. Di sebuah penginapan tua yang sepi tamu. Dan agak horor. []
I Komang Gde Subagia - Manggarai, Juni 2019
Comments
Post a Comment