Saya suka membaca Tintin. Komik petualangan seorang wartawan muda yang rambutnya berjambul itu. Saya bahkan mengoleksi komiknya. Lengkap. Dari pertama sampai terakhir.
Dari sekian banyak petualangannya, cerita dengan judul Penerbangan 714 yang rasanya paling spesial. Karena menjadikan Indonesia sebagai latar tempatnya. Salah satu yang tergambar di komik ini adalah pulau rekaan bernama Bompa. Dengan gunung berisi danau berwarna. Yang sekilas langsung saya simpulkan bahwa itulah Kelimutu.
Maka, tentu sayang sekali jika saya ke Flores tidak mampir ke gunung ini. Walaupun hanya sekedar untuk melihat ketiga danau itu saja. Tapi sebelum mendaki ke sana, saya harus ke Moni dulu. Moni adalah desa yang menjadi pintu gerbang pendakian ke Kelimutu.
Dari Ende ke Moni
Sebenarnya saya mau ke Moni sendiri. Inginnya naik angkutan umum dari Ende. Jarak tempuhnya kurang lebih lima puluh kilometer. Tapi Koplo bersikeras mengantarkan. Tak apa, katanya.
Padahal sore itu, ia harus menghadiri pesta pernikahan temannya. Di sebuah gereja di pusat Kota Ende. Maka jadilah saya berangkat ke Moni bersamanya saat malam telah larut. Setelah hadir di gereja beberapa saat sebelumnya.
Jalanan menuju Moni sepi. Gelap. Dan dingin. Waktu telah menunjukkan jam sembilan malam. Saya duduk di jok depan. Mengikuti irama laju kendaraan yang meliuk-liuk.
Tiba di Moni
Jam sebelas malam lewat. Akhirnya saya tiba di Moni. Dalam suasana yang dingin.
Saya pun berpisah dengan Koplo. Ia balik ke Ende. Saya bermalam di Moni. Niat untuk nongkrong-nongkrong minum kopi sirna. Kafe dan warung-warung sudah tutup semua. Ya sudahlah.
Suasana di sekitar penginapan yang saya tempati sangat ramai. Ternyata sedang ada pesta. Dengan lomba menari pemuda-pemudi. Musiknya masih kencang terdengar. Sampai ke kamar saya.
John, pemilik penginapan, mengatakan bahwa pesta ini diikuti oleh hampir semua pemuda-pemudi sekecamatan Kelimutu. Acara sudah selesai, tapi beberapa masih asyik menari dan berdansa.
Budaya Pesta
Di Flores, budaya pesta memang menjadi fenomenal. Dari ujung barat sampai timur. Termasuk di desa kecil di kaki Gunung Kelimutu ini.
Pesta yang dimaksudkan ini umumnya adalah pesta yang dilaksanakan dengan kelengkapan panggung acara. Dengan dekorasi indah. Lengkap dengan sound system. Banyak makanan dan minuman. Serta dihadiri tamu-tamu undangan.
Masyarakat Flores mengadakan pesta jika memiliki hajatan. Seperti pernikahan, upacara adat, upacara agama, menyambut panen, atau menyekolahkan anak untuk kuliah keluar kota. Dari pesta sederhana sampai pesta besar.
Khusus yang terakhir ini cukup unik. Yang pesta menyekolahkan anak. Pesta ini biasa juga disebut arisan pendidikan. Makanan dan minuman yang disediakan oleh tuan rumah menjadi ajang lelang. Uang yang dikumpulkan bisa dipakai bekal untuk anak yang akan melanjutkan pendidikannya itu.
Ya begitulah. Jadilah malam itu saya memulai istirahat diiringi lagu-lagu pesta yang masih membahana sampai lewat tengah malam.
Ke Kelimutu
Menjelang subuh keesokan harinya, saya menuju Gunung Kelimutu. Diantar oleh Mateus Sino. Pemuda setempat. Yang diminta oleh John menemani saya. Naik motor.
Pagi masih gelap. Dingin makin menjadi-jadi. Saya yang dibonceng oleh Mateus menggigil. Jalanan sepi. Tapi beberapa saat kemudian, satu dua kendaraan roda empat mendahului. Kendaraan itu membawa wisatawan ke Kelimutu juga.
Pintu gerbang untuk menuju puncak dan danau masih tutup. Beberapa orang saya lihat sedang menunggu loket karcis dibuka. Saya ikut menunggu. Yang beberapa menit kemudian, petugas loket tiba dan memulai aktivitasnya.
Dari pintu gerbang, perjalanan masih dilanjutkan lagi sampai ke tempat parkir. Dari tempat parkir, untuk melihat danau tiga warna harus berjalan kaki lagi. Sekitar satu sampai dua kilometer.
Mateus saya persilahkan untuk menunggu di warung. Yang pedagangnya baru siap-siap untuk buka.
Saya menjadi yang pertama berjalan menuju puncak Gunung Kelimutu. Menyusul sepasang wisatawan lokal. Saya berjalan dalam gelap. Menyusuri setapak dengan penerangan lampu senter.
Beberapa menit kemudian, saya sudah berada di posisi yang agak tinggi. Bau belerang sudah tercium. Saya melihat lampu-lampu senter berpendar beriringan dari bawah. Wisatawan yang datang makin banyak.
Sampai akhirnya saya tiba di puncak. Sebuah tugu yang cukup besar menjadi penandanya. Dalam suasana yang masih gelap. Saya pun mulai menunggu pagi. Berharap kawah danau tiga warna muncul dalam pandangan, seiring terbitnya mentari.
Bagian Cincin Api Pasifik
Indonesia adalah negeri yang dilalui Cincin Api Pasifik. Wilayah yang membentuk tapal kuda. Memanjang di sisi barat benua Amerika. Pesisir timur Asia. Kepulauan Jepang. Filipina. Indonesia. Sampai ke Himalaya dan Atlantik.
Disebut cincin api karena menjadi zona dengan banyak aktivitas pergerakan lempeng bumi. Pergerakan itulah yang menyebabkan banyaknya gempa. Serta terciptanya gunung-gunung berapi yang bisa meletus.
Flores termasuk wilayah pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Maka tak mengherankan kalau banyak gunung berapi di pulau ini. Salah satunya tentu Kelimutu. Yang pesona tiga warnanya tersebar ke mana-mana.
Kedinginan
Saat diam di gunung dan menunggu seperti ini, udara dingin terasa makin menusuk. Saya pun menyeruput teh panas. Gelasnya saya pegang erat-erat. Untuk menghangatkan tangan. Yang pelan-pelan hangatnya ikut menjalar ke tubuh.
Segelas teh ini saya beli dari seorang mama yang berjualan di Puncak Kelimutu. Ada banyak mama-mama seperti ini yang berjualan. Yang asalnya dari Kampung Pemo, kampung kecil yang lokasinya tak jauh dari Moni.
Para mama pedagang ini ikut mendaki. Mencari rejeki dengan berjualan minuman dan makanan hangat. Juga kain-kain tenun tradisional. Untuk para wisatawan yang berkunjung ke Kelimutu.
Kabut di Kelimutu
Langit mulai bersinar. Pertanda pagi telah menjelang. Tapi danau tiga warna tak kunjung kelihatan. Karena kabut begitu tebal menutupi pemandangan. Sepertinya saya harus menunggu lebih lama lagi. Hanya untuk melihat danau-danau ini.
Baru sejam kemudian angin berhembus cukup kencang. Kabut pun menyingkir. Danau berwarna biru cerah mulai terlihat dari tempat saya berdiri di puncak. Di belakangnya, dibatasi dinding tebing yang tipis, terlihat danau berwarna hijau toska. Sementara di belakang saya, danau berwarna gelap.
Kepercayaan Lokal
Danau-danau ini memiliki nama lokal. Yang diberi nama oleh masyarakat Suku Lio, masyarakat setempat di Kelimutu dan sekitarnya. Mereka percaya bahwa ketiga danau adalah tempat arwah-arwah orang yang sudah meninggal. Arwah-arwah itu akan tinggal di Kelimutu selamanya.
Jika diurut dari bawah di jalur pendakian, danau pertama bernama Tiwu Atapolo : tempat arwah yang selama hidupnya adalah orang jahat. Lalu Tiwu Koo Fai Nuwa Muri : tempat arwah anak-anak dan muda-mudi. Dan yang paling ujung sendirian adalah Tiwu Ata Mbupu : tempat arwah orang-orang tua.
Untuk menghormati arwah-arwah itu, masyarakat Lio memiliki upacara adat Pati Ka. Upacara ini dilakukan di area dekat danau. Setiap tahun. Oleh para mosalaki atau tokoh adat. Dengan membawa persembahan berupa makanan dan minuman. Doa dan pujian dipanjatkan dengan diiringi tarian bersama dan lagu-lagu tradisional.
Jika Ditinjau Secara Ilmiah
Jika ditinjau dari sisi vulkanologi, danau-danau di Kelimutu ini memiliki warna berbeda dan bisa berubah tentu karena ada alasan ilmiahnya. Ada banyak papan-papan informasi di sekitar danau yang menjelaskannya. Menarik untuk mengetahuinya.
Danau-danau ini memiliki sumber gas yang sama. Tetapi menghasilkan ekspresi kimia yang berbeda di setiap danaunya. Gas inilah yang mempengaruhi warna tersebut. Salah satunya adalah oksigen. Ketika air danau kekurangan oksigen, danau terlihat hijau. Sebaliknya jika banyak oksigen, terlihat merah tua sampai hitam.
Begitu juga gas-gas lain. Tiwu Ata Polo yang berwarna hijau toska memiliki kandungan asam garam sedang, menyebabkannya sering berubah warna. Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berwarna biru memiliki kadar asam rendah dan senyawa sulfur eksotis. Sementara Tiwu Ata Mbupu yang berwarna gelap adalah kawah asam sulfat.
Makin Ramai Sejak Dilukis
Setelah mengabadikan beberapa pemandangan di danau ini lewat kamera, saya memutuskan untuk turun. Wisatawan yang datang makin lama makin banyak. Ternyata hari ini adalah akhir pekan. Hari Sabtu. Pantas saja ramai.
Gunung Kelimutu beserta danaunya tercatat pertama kali didaki oleh seorang blasteran Belanda - Flores yang bernama Van Such Telen pada tahun 1915. Lalu makin dikenal luas setelah keindahannya dilukis oleh seseorang yang bernama Y. Bouman. Sejak saat itulah, wartawan-wartawan asing mulai berdatangan dan mengenalkannya ke penjuru dunia.
Kembali Turun ke Moni
Pagi yang telah beranjak siang. Saya pun turun. Kembali berboncengan dengan Mateus menuju Moni. []
I Komang Gde Subagia - Kelimutu, Juni 2019
Dari sekian banyak petualangannya, cerita dengan judul Penerbangan 714 yang rasanya paling spesial. Karena menjadikan Indonesia sebagai latar tempatnya. Salah satu yang tergambar di komik ini adalah pulau rekaan bernama Bompa. Dengan gunung berisi danau berwarna. Yang sekilas langsung saya simpulkan bahwa itulah Kelimutu.
Maka, tentu sayang sekali jika saya ke Flores tidak mampir ke gunung ini. Walaupun hanya sekedar untuk melihat ketiga danau itu saja. Tapi sebelum mendaki ke sana, saya harus ke Moni dulu. Moni adalah desa yang menjadi pintu gerbang pendakian ke Kelimutu.
Kelimutu |
Dari Ende ke Moni
Sebenarnya saya mau ke Moni sendiri. Inginnya naik angkutan umum dari Ende. Jarak tempuhnya kurang lebih lima puluh kilometer. Tapi Koplo bersikeras mengantarkan. Tak apa, katanya.
Padahal sore itu, ia harus menghadiri pesta pernikahan temannya. Di sebuah gereja di pusat Kota Ende. Maka jadilah saya berangkat ke Moni bersamanya saat malam telah larut. Setelah hadir di gereja beberapa saat sebelumnya.
Jalanan menuju Moni sepi. Gelap. Dan dingin. Waktu telah menunjukkan jam sembilan malam. Saya duduk di jok depan. Mengikuti irama laju kendaraan yang meliuk-liuk.
Tiba di Moni
Jam sebelas malam lewat. Akhirnya saya tiba di Moni. Dalam suasana yang dingin.
Saya pun berpisah dengan Koplo. Ia balik ke Ende. Saya bermalam di Moni. Niat untuk nongkrong-nongkrong minum kopi sirna. Kafe dan warung-warung sudah tutup semua. Ya sudahlah.
Suasana di sekitar penginapan yang saya tempati sangat ramai. Ternyata sedang ada pesta. Dengan lomba menari pemuda-pemudi. Musiknya masih kencang terdengar. Sampai ke kamar saya.
John, pemilik penginapan, mengatakan bahwa pesta ini diikuti oleh hampir semua pemuda-pemudi sekecamatan Kelimutu. Acara sudah selesai, tapi beberapa masih asyik menari dan berdansa.
Budaya Pesta
Di Flores, budaya pesta memang menjadi fenomenal. Dari ujung barat sampai timur. Termasuk di desa kecil di kaki Gunung Kelimutu ini.
Pesta yang dimaksudkan ini umumnya adalah pesta yang dilaksanakan dengan kelengkapan panggung acara. Dengan dekorasi indah. Lengkap dengan sound system. Banyak makanan dan minuman. Serta dihadiri tamu-tamu undangan.
Masyarakat Flores mengadakan pesta jika memiliki hajatan. Seperti pernikahan, upacara adat, upacara agama, menyambut panen, atau menyekolahkan anak untuk kuliah keluar kota. Dari pesta sederhana sampai pesta besar.
Khusus yang terakhir ini cukup unik. Yang pesta menyekolahkan anak. Pesta ini biasa juga disebut arisan pendidikan. Makanan dan minuman yang disediakan oleh tuan rumah menjadi ajang lelang. Uang yang dikumpulkan bisa dipakai bekal untuk anak yang akan melanjutkan pendidikannya itu.
Ya begitulah. Jadilah malam itu saya memulai istirahat diiringi lagu-lagu pesta yang masih membahana sampai lewat tengah malam.
Ke Kelimutu
Menjelang subuh keesokan harinya, saya menuju Gunung Kelimutu. Diantar oleh Mateus Sino. Pemuda setempat. Yang diminta oleh John menemani saya. Naik motor.
Pagi masih gelap. Dingin makin menjadi-jadi. Saya yang dibonceng oleh Mateus menggigil. Jalanan sepi. Tapi beberapa saat kemudian, satu dua kendaraan roda empat mendahului. Kendaraan itu membawa wisatawan ke Kelimutu juga.
Pintu gerbang untuk menuju puncak dan danau masih tutup. Beberapa orang saya lihat sedang menunggu loket karcis dibuka. Saya ikut menunggu. Yang beberapa menit kemudian, petugas loket tiba dan memulai aktivitasnya.
Dari pintu gerbang, perjalanan masih dilanjutkan lagi sampai ke tempat parkir. Dari tempat parkir, untuk melihat danau tiga warna harus berjalan kaki lagi. Sekitar satu sampai dua kilometer.
Mateus saya persilahkan untuk menunggu di warung. Yang pedagangnya baru siap-siap untuk buka.
Saya menjadi yang pertama berjalan menuju puncak Gunung Kelimutu. Menyusul sepasang wisatawan lokal. Saya berjalan dalam gelap. Menyusuri setapak dengan penerangan lampu senter.
Beberapa menit kemudian, saya sudah berada di posisi yang agak tinggi. Bau belerang sudah tercium. Saya melihat lampu-lampu senter berpendar beriringan dari bawah. Wisatawan yang datang makin banyak.
Sampai akhirnya saya tiba di puncak. Sebuah tugu yang cukup besar menjadi penandanya. Dalam suasana yang masih gelap. Saya pun mulai menunggu pagi. Berharap kawah danau tiga warna muncul dalam pandangan, seiring terbitnya mentari.
Informasi tentang kegunungapian di sekitar Gunung Kelimutu |
Informasi tentang kegunungapian di sekitar Gunung Kelimutu |
Bagian Cincin Api Pasifik
Indonesia adalah negeri yang dilalui Cincin Api Pasifik. Wilayah yang membentuk tapal kuda. Memanjang di sisi barat benua Amerika. Pesisir timur Asia. Kepulauan Jepang. Filipina. Indonesia. Sampai ke Himalaya dan Atlantik.
Disebut cincin api karena menjadi zona dengan banyak aktivitas pergerakan lempeng bumi. Pergerakan itulah yang menyebabkan banyaknya gempa. Serta terciptanya gunung-gunung berapi yang bisa meletus.
Flores termasuk wilayah pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Maka tak mengherankan kalau banyak gunung berapi di pulau ini. Salah satunya tentu Kelimutu. Yang pesona tiga warnanya tersebar ke mana-mana.
Cincin Api Pasifik (gambar diambil dari Wikipedia) |
Kedinginan
Saat diam di gunung dan menunggu seperti ini, udara dingin terasa makin menusuk. Saya pun menyeruput teh panas. Gelasnya saya pegang erat-erat. Untuk menghangatkan tangan. Yang pelan-pelan hangatnya ikut menjalar ke tubuh.
Segelas teh ini saya beli dari seorang mama yang berjualan di Puncak Kelimutu. Ada banyak mama-mama seperti ini yang berjualan. Yang asalnya dari Kampung Pemo, kampung kecil yang lokasinya tak jauh dari Moni.
Para mama pedagang ini ikut mendaki. Mencari rejeki dengan berjualan minuman dan makanan hangat. Juga kain-kain tenun tradisional. Untuk para wisatawan yang berkunjung ke Kelimutu.
Pedagang minuman hangat dan suvenir di Puncak Kelimutu |
Kabut di Kelimutu
Langit mulai bersinar. Pertanda pagi telah menjelang. Tapi danau tiga warna tak kunjung kelihatan. Karena kabut begitu tebal menutupi pemandangan. Sepertinya saya harus menunggu lebih lama lagi. Hanya untuk melihat danau-danau ini.
Baru sejam kemudian angin berhembus cukup kencang. Kabut pun menyingkir. Danau berwarna biru cerah mulai terlihat dari tempat saya berdiri di puncak. Di belakangnya, dibatasi dinding tebing yang tipis, terlihat danau berwarna hijau toska. Sementara di belakang saya, danau berwarna gelap.
Kepercayaan Lokal
Danau-danau ini memiliki nama lokal. Yang diberi nama oleh masyarakat Suku Lio, masyarakat setempat di Kelimutu dan sekitarnya. Mereka percaya bahwa ketiga danau adalah tempat arwah-arwah orang yang sudah meninggal. Arwah-arwah itu akan tinggal di Kelimutu selamanya.
Jika diurut dari bawah di jalur pendakian, danau pertama bernama Tiwu Atapolo : tempat arwah yang selama hidupnya adalah orang jahat. Lalu Tiwu Koo Fai Nuwa Muri : tempat arwah anak-anak dan muda-mudi. Dan yang paling ujung sendirian adalah Tiwu Ata Mbupu : tempat arwah orang-orang tua.
Untuk menghormati arwah-arwah itu, masyarakat Lio memiliki upacara adat Pati Ka. Upacara ini dilakukan di area dekat danau. Setiap tahun. Oleh para mosalaki atau tokoh adat. Dengan membawa persembahan berupa makanan dan minuman. Doa dan pujian dipanjatkan dengan diiringi tarian bersama dan lagu-lagu tradisional.
Sebelah kiri : Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Sebelah kanan : Tiwu Atapolo |
Tiwu Ata Mbupu |
Jika Ditinjau Secara Ilmiah
Jika ditinjau dari sisi vulkanologi, danau-danau di Kelimutu ini memiliki warna berbeda dan bisa berubah tentu karena ada alasan ilmiahnya. Ada banyak papan-papan informasi di sekitar danau yang menjelaskannya. Menarik untuk mengetahuinya.
Danau-danau ini memiliki sumber gas yang sama. Tetapi menghasilkan ekspresi kimia yang berbeda di setiap danaunya. Gas inilah yang mempengaruhi warna tersebut. Salah satunya adalah oksigen. Ketika air danau kekurangan oksigen, danau terlihat hijau. Sebaliknya jika banyak oksigen, terlihat merah tua sampai hitam.
Begitu juga gas-gas lain. Tiwu Ata Polo yang berwarna hijau toska memiliki kandungan asam garam sedang, menyebabkannya sering berubah warna. Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berwarna biru memiliki kadar asam rendah dan senyawa sulfur eksotis. Sementara Tiwu Ata Mbupu yang berwarna gelap adalah kawah asam sulfat.
Tempat dilangsungkannya upacara Pati Ka |
Makin Ramai Sejak Dilukis
Setelah mengabadikan beberapa pemandangan di danau ini lewat kamera, saya memutuskan untuk turun. Wisatawan yang datang makin lama makin banyak. Ternyata hari ini adalah akhir pekan. Hari Sabtu. Pantas saja ramai.
Gunung Kelimutu beserta danaunya tercatat pertama kali didaki oleh seorang blasteran Belanda - Flores yang bernama Van Such Telen pada tahun 1915. Lalu makin dikenal luas setelah keindahannya dilukis oleh seseorang yang bernama Y. Bouman. Sejak saat itulah, wartawan-wartawan asing mulai berdatangan dan mengenalkannya ke penjuru dunia.
Kembali Turun ke Moni
Pagi yang telah beranjak siang. Saya pun turun. Kembali berboncengan dengan Mateus menuju Moni. []
I Komang Gde Subagia - Kelimutu, Juni 2019
Comments
Post a Comment