Daerah ini kering. Pepohonan, semak-semak, dan rerumputan di tepi jalan seperti tak sanggup mengurangi panasnya pagi menjelang siang itu. Di kelokan jalan yang tempatnya agak tinggi, laut biru terlihat menghampar luas di utara. Sementara di selatan, Gunung Agung berdiri gagah dengan asap tipis di puncaknya. Jalan yang merupakan jalur utama di pesisir Bali bagian utara ini tak begitu ramai. Sesekali kendaraan besar seperti bus dan truk melaju, dari Jawa menuju Lombok, atau sebaliknya.
Hari itu, 2 September 2018, saya bersama Anatoli Marbun "Bolenk", berencana untuk mengunjungi dua spot penyelaman di pesisir Laut Bali bagian timur ini, tepatnya di perairan Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Di sepanjang perairan desa ini, termasuk desa-desa di sekitarnya, terdapat terumbu karang yang sambung-menyambung. Kami tiba di Seraya Resort jam sembilan pagi, sesuai janji kami dengan Wayan Semut, seorang dive guide yang menjadi kenalan Bolenk beberapa minggu belakangan ini.
Dalam perjalanan menuju Seraya Resort, Bolenk mengeluhkan tentang penyelamannya di malam sebelumnya. Ia tak puas karena penyelaman malam yang dilakukannya pertama kali itu hanya sebentar. Foto-foto malam di bawah laut yang ia dapatkan pun tak banyak dan tak bagus. Wajar saja, selain penyelaman yang sebentar, ini merupakan pengalaman keduanya menggunakan kamera bawah laut. Tentu saja dengan pengalaman memotret dalam air yang sedikit, hasil maksimal akan sulit didapatkan, apalagi di malam hari dengan cahaya yang minim.
Wayan Wik, seorang dive guide dari Seraya Resort dan direkomendasikan oleh Wayan Semut akan menemani kami menyelam. Ia terlihat cukup waspada dengan kami yang baru ditemuinya. Tapi saya menyukai sikapnya, karena setidaknya saya tahu bahwa ia berhati-hati menjadi seorang dive guide. Sedikit wawancara tentang pengalaman menyelam kami digali olehnya, termasuk melihat kartu sertifikat selam saya yang sudah usang. Setelah mengenakan wetsuit dan menyiapkan peralatan, kami menaiki kapal bersama seorang nahkoda.
Tujuan pertama kami adalah titik penyelaman yang katanya terbaik dan paling terkenal di Tulamben, yaitu USAT Liberty Wreck. Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit menyusuri perairan, kami pun tiba di titik ini. Letaknya tak jauh dari pesisir yang pantainya cukup ramai. Titik penyelaman ini memang bisa langsung diakses dari pinggir pantai. Dari atas boat, saya melihat sebuah warung, tabung-tabung udara berjajar, orang-orang yang lalu-lalang dan juga yang akan bersiap menyelam. Sementara di permukaan air, ada beberapa orang yang sedang snorkling.
Setelah peralatan yang terpasang siap, kami pun turun. Kedalaman yang tertera pada altimeter saat kami tiba di sisi wreck bagian timur adalah delapan belas meter. Kesan pertama saya setelah masuk ke dalam air adalah, "Wow!". Saya terpana. Bukan karena indahnya terumbu karang atau melihat ikan-ikan di antara reruntuhan kapal zaman perang dunia kedua ini, tetapi karena banyaknya penyelam yang juga menyelam saat itu. Sekitar dua puluh sampai tiga puluh penyelam, atau mungkin lebih. Benar kata seorang teman, USAT Liberty Wreck di Tulamben ini seperti pasar. Selalu ramai.
USAT Liberty adalah kapal angkut milik Amerika pada zaman Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1942, ia rusak karena tertembak torpedo kapal selam Jepang ketika berlayar dari Australia menuju Filipina. Kapal ini direncanakan akan ditarik ke pangkalan milik Belanda di Singaraja. Karena kerusakannya yang parah, alih-alih sampai di Singaraja, kapal ini akhirnya didaratkan di pesisir Tulamben untuk menyelamatkan barang-barangnya. Sampai kemudian di tahun 1963 ketika Gunung Agung meletus, aliran lahar mendorongnya menuju pantai dan menenggelamkannya.
Kami mulai menjelajah, mengelilingi kapal yang sudah tak berbentuk dan dipenuhi terumbu karang. Ada kipas laut berwarna merah di beberapa tempat, tetumbuhan laut berwarna hijau dan biru, bintang laut yang cantik, nudibranch warna-warni, dan angel fish yang berseliweran; mereka adalah penghuni laut ini yang dominan. Di beberapa tempat, ada ikan karang besar yang menyamar seperti bunglon, juga clown fish dengan rumahnya yang khas.
Sedikit demi sedikit, tingkat kedalaman mulai kami kurangi. Matahari di atas sana cukup terik menembus sampai ke dalam laut, menyebabkan warna-warni terumbu karang makin indah. Suasana masih ramai. Di bawah kami ada beberapa penyelam berlalu lalang, di atas kami juga ada penyelam. Lebih jauh lagi ke atas permukaan air, ada mereka yang melakukan snorkling. Kami mulai memasuki beberapa lorong di kapal ini. Cukup menyenangkan, walau dibutuhkan kewaspadaan yang lebih. Ini karena jangan sampai kita atau peralatan yang dipakai tersangkut.
Di salah satu sisi, saya melihat meriam yang di moncongnya dihuni ikan-ikan kecil. Seekor penyu hijau yang sedang berkeliaran mencari plankton juga berenang di sekitarnya. Kedalaman sudah sekitar lima meter. Kami melakukan safety stop sambil berlalu-lalang melihat keindahan terumbu karang yang arahnya mendekati pantai. Ketika penunjuk ketersediaan udara sudah menipis, kami pun naik ke permukaan dan masuk ke dalam kapal boat. Kemudian menuju ke tepi pantai yang sepi untuk beristirahat. Total waktu penyelaman kami di USAT Liberty Wreck ini adalah lima puluh menit.
Kami beristirahat untuk melakukan surface interfal. Wayan Wik yang merupakan pemuda asli Tulamben bercerita tentang lautnya yang mendunia sejak dua puluh tahun belakangan ini. Tentang ancaman letusan Gunung Agung dan Tulamben yang menjadi kawasan rawan bencana, serta efek sepinya wisatawan. "Jika Gunung Agung meletus besar, terumbu karang di sini akan terkena banjir lahar, seperti di tahun 1963 dulu", katanya. "Tapi seiring waktu, bebatuan dari Gunung Agung ini pula yang ikut membentuk keindahan pantai dan terumbu karang Tulamben", ia menambahkan.
Satu jam telah lewat. Kami bersiap untuk penyelaman kedua. Karena di sepanjang pantai daerah ini dipenuhi terumbu karang, di depan tempat kami istirahat ini pun sebenarnya adalah titik penyelaman. Tapi kami tak menyelam di sana. Tujuan kami adalah titik penyelaman lain yang bernama Alamanda. Berbeda dengan USAT Liberty Wreck yang ramai, di Alamanda hanya ada kami bertiga. Tingkat visibility juga lebih baik, mungkin karena sepi.
Daerah terumbu karang di Alamanda ini berupa wall dengan kemiringan sekitar enam puluh derajat. Kami turun sampai kedalaman dua puluh meter. Kemudian mulai menjelajah ke arah barat mengikuti arus laut sambil mengurangi kedalaman. Keindahan terumbu karangnya cukup padat dan berwarna. Bolenk sepertinya senang, tak henti-hentinya ia memotret clown fish yang memang banyak ditemui di titik penyelaman ini. Clown fish adalah ikan kecil berwarna keemasan dengan garis hitam atau putih di tubuhnya, lebih dikenal dengan nama Nemo yang dilambungkan oleh film kartun Disney.
Kami menyelam di Alamanda selama lima puluh menit. Melihat-lihat kipas laut kemerahan, berbagai plankton yang menghijau, nudibranch, angel fish, clown fish, lion fish, dan berbagai ikan lain yang namanya tak ada dalam kamus pikiran saya saat itu. Penghuninya secara kasat mata memang tak jauh berbeda dengan apa yang saya lihat sebelumnya di USAT Liberty Wreck. Ini tentu saja karena lokasinya yang berdekatan dan merupakan satu gugus terumbu karang. Bedanya hanya tak ada meriam dan lempengan-lempengan kapal.
Lewat tengah hari, sinar matahari perlahan menembus celah-celah awan, menyinari lereng Gunung Agung yang membuatnya berpendar keemasan. Cahayanya yang berkemilau juga berpendar di birunya perairan Tulamben yang gelombangnya bergerak menari-nari. Angin pantai bertiup sepoi-sepoi. Diiringi bahasa alam ini, saya menyelesaikan penyelaman saya hari itu dan bersiap untuk pulang. Pengalaman yang berharga. Walaupun saya bukan penyelam yang hebat, tapi saya bisa meyakinkan Anda dan mengatakan bahwa menyelam itu selalu mengesankan. []
Denpasar, September 2018
Comments
Post a Comment