Sebagian besar dari kita di Indonesia mungkin hanya tahu bahwa mereka yang menggunakan marga adalah orang-orang dari masyarakat Suku Batak, Manado, Timor, Papua, Tionghoa, atau Padang. Ini tentu karena mereka yang berasal dari suku tersebut menuliskan leluhur mereka sebagai marga di belakang nama yang disandangnya. Sementara tak banyak yang tahu bahwa masyarakat dari Suku Bali juga memiliki marga, mereka memegang teguh tradisi menuliskan silsilah untuk membawa nama leluhur mereka. Di Bali, penggunaan marga ini lebih dikenal dengan sebutan trah, wangsa, atau soroh.
Pura Dadia Arya Keloping di Desa Besang Kawan Tohjiwa |
Sistem Kekerabatan yang Menyatukan Keluarga Bali
Mengetahui trah atau silsilah adalah hal yang wajib bagi masyarakat Suku Bali, bahkan itu menjadikannya sebagai kebanggaan sebuah identitas. Jika ada yang memiliki kenalan dari Bali, coba saja tanyakan pada mereka "Anda berasal dari soroh apa?". Maka kita akan mendengar jawaban seperti Pasek, Pande, Dalem, Arya, dan lain-lain; sesuai soroh atau trah mereka yang ditanya.
Silsilah leluhur dan garis keturunan sebuah keluarga di Bali ditulis dalam sebuah babad. Babad ini berbentuk keropak, sebuah surat atau naskah kuno yang dituliskan dalam daun lontar dengan menggunakan aksara Jawa atau Bali. Keropak ini disucikan dalam sebuah upacara menjadi sebuah prasasti yang dihormati. Setelah berbentuk sebagai prasasti, ia ditempatkan di pura dadia, sebuah pura kawitan tempat memuja leluhur orang Bali yang menyatukan sebuah keluarga besar. Jika telah berbentuk prasasti, maka tidak bisa lagi diperbarui atau dibaca di sembarangan tempat karena dianggap bisa mengurangi kesuciannya.
Di zaman internet di mana dokumen mudah disimpan dan buku mudah dicetak, babad-babad yang dituliskan dalam prasasti itu telah banyak diterjemahkan dan dituliskan di dunia maya atau dicetak menjadi buku. Isinya menceritakan kisah perjalanan seseorang yang berada di puncak silsilah dengan belasan sampai puluhan generasi ke bawahnya serta dilengkapi dengan penjelasan penyebaran keturunannya ke berbagai tempat. Babad ini dilengkapi pula dengan nama-nama pura kawitan dari mereka yang mewakili satu trah atau sub-sub kecil trah tersebut.
Buku babad yang telah tercetak sebagai buku yang dijual di toko-toko buku sebagian besar hanya memuat cerita mereka yang ada di bagian puncak silsilah. Sedangkan kisah atau silsilah dari sub-sub keluarga yang lebih kecil di bawahnya jarang tercantum di dalamnya. Nah, silsilah sub-sub keluarga yang lebih kecil inilah yang ada pada masing-masing pura dadia di sub-sub kecil trah tersebut dengan kisah ceritanya masing-masing.
Keluarga Arya Keloping di Besang Kawan Tohjiwa
Alkisah di sebuah desa yang bernama Besang Kawan Tohjiwa di Klungkung Bali, terdapatlah sebuah keluarga besar yang membawa trah Arya Keloping. Keluarga ini dipersatukan di sebuah pura dadia yang telah berdiri sejak awal abad ke-19. Dan saya adalah salah satu bagian dari keluarga besar ini.
Di masa silam, tiga orang bersaudara keturunan Arya Keloping bermukim di Desa Tohjiwa, Karangasem Bali. Saat itu, Desa Tohjiwa adalah bagian dari Kerajaan Klungkung. Akibat jatuhnya kawasan Tohjiwa ke tangan Kerajaan Karangasem dalam perang waktu itu, maka bermigrasilah tiga bersaudara ini bersama warga desa lainnya ke arah ibukota Kerajaan Klungkung. Oleh raja Klungkung, mereka yang bermigrasi dari Tohjiwa ini diberikan tempat bermukim di Desa Besang.
Atas titah raja, warga asli Besang yang telah mendiami desa itu kemudian pindah ke sebelah timur desa, di seberang sebuah pangkung atau sungai kecil. Sementara desa mereka di sebelah barat ditempati oleh mereka yang mengungsi dari Tohjiwa. Maka semenjak itulah desa yang bernama Besang ini menjadi dua : Besang Kangin di timur dan Besang Kawan di barat. Karena Besang di bagian barat ini orang-orangnya berasal dari Tohjiwa, maka desa ini pun dinamai dengan Desa Besang Kawan Tohjiwa, yang dalam penyebutanhnya sering disebut sebagai Besang Kawan saja.
Walaupun leluhur saya telah tinggal di Besang Kawan Tohjiwa sejak tahun 1800-an awal, pura keluarga besar saya baru resmi menjadi sebuah pura dadia lengkap dengan prasastinya pada Sukra Umanis Kelawu Tahun 1884 Saka. Jadi setiap tahun sekali dalam penanggalan Bali, sebuah upacara piodalan dilaksanakan sebagai peringatan berdirinya keluarga besar saya di desa ini.
Melalui cerita yang saya dengar dari para sesepuh keluarga, jarak sekitar satu abad sebelum berdirinya Pura Dadia Arya Keloping di Besang Kawan Tohjiwa, keluarga saya berinduk ke Pura Dadia Arya Keloping di Desa Sampalan. Jadi jika saya menyusuri pohon keluarga ke atas, maka di Desa Sampalan inilah akan ada kerabat jauh yang memiliki hubungan darah dengan saya.
Ketika waktu terus berjalan, keluarga besar saya di Besang Kawan Tohjiwa ini mulai menyebar lagi ke berbagai daerah lain di Bali dan di luar Bali. Pada masa program transmigrasi yang digalakkan pemerintah Indonesia, beberapa orang dari keluarga saya bertransmigrasi ke Lampung di Sumatera. Mereka yang di Lampung ini kemudian memiliki Pura Dadia Arya Keloping sendiri, terlepas dari pura dadia induknya di Besang Kawan Tohjiwa. Walaupun terlepas, ikatan kekerabatan dan sejarah yang tertulis akan selalu ada.
Upacara Ngewacen, Membaca Kembali Prasasti
Hingga tiba akhirnya prasasti yang tak pernah dibaca lebih dari dua puluh tahun ini dibuka kembali. Sebuah upacara dihelat untuk pembacaan prasasti ini pada Saniscara Pahing Kelawu Tahun 1938 Saka, 7 Januari 2017, atau sehari setelah upacara piodalan. Sebagai pembaca prasasti adalah Ida Pedanda dari Griya Aan Banjarangkan dengan dibantu oleh beberapa orang dari Griya Pidada dan Sengguhan di Klungkung sebagai penerjemah.
Saya ingat, pembacaan prasasti ini pernah dilakukan sewaktu saya masih kecil dulu, mungkin sekitar tahun 1988 atau 1989 kala itu. Saya ingat beberapa sesepuh hanya mendengarkan hasil pembacaan prasasti. Maka tak heran setelahnya tak ada yang ingat betul bagaimana susunan silsilah atau pun kisah yang dibacakan itu.
Maka ketika upacara pembacaan prasasti ini dilakukan lagi, alat perekam disiapkan. Jadi, bisa kami dengarkan ulang. Memang cukup sulit jika hanya mendengarkan isi prasasti hanya sekali saja. Ini disebabkan karena prasasti ditulis dan dibaca dalam Bahasa Kawi, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali Alus Singgih. Maka sebagai pendengar tentulah kemudian harus menerjemahkannya lagi ke dalam Bahasa Indonesia untuk lebih mudah dimengerti.
Upacara Ngewacen adalah salah satu upacara yang jarang dilaksanakan, dengan kata lain hanya dilaksanakan saat diperlukan saja. Bisa dibilang spesial. Maka seperti pada umumnya sebuah upacara spesial di Bali, pemangku pura dan pemuka adat di desa akan diundang untuk menyaksikan jalannya upacara. Rapat-rapat keluarga dan persiapan telah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.
Upacara dimulai dengan menurunkan peti kecil berbentuk gajah mina -hewan laut purba yang memiliki gading, belalai, dan berbulu seperti ikan paus- dari bangunan suci, dibawa ke atas dulang di balai piasan. Ida pedanda dan para penerjemah duduk melingkar. Canang sari penuh bunga dengan wangi dupa yang semerbak dihaturkan dengan mantra suci. Seluruh anggota keluarga dan para undangan hening bersiap menyimak pembacaan isi prasasti. Dari dalam peti, prasasti dalam bentuk keropak ini pun dikeluarkan.
Dibuka dengan Om Awignamastu Namo Sidham, bait demi bait isi prasasti dibacakan dan diterjemahkan. Kisah perjalanan Arya Kepakisan dari Majapahit ke Bali hingga menurunkan Arya Keloping di masa Kerajaan Gelgel diceritakan. Begitu pula kisah perseteruan di Kerajaan Gelgel yang membuat sanak saudara keturunan Arya Keloping mengungsi dan menyebar ke desa maupun hutan di kawasan timur Pulau Bali. Saat ini tempat pengungsian dari Gelgel ke arah timur ini adalah wilayah Dawan, Sidemen, maupun Manggis.
Setelah masa demi masa terlewati, maka terceritakanlah kisah tiga bersaudara keturunan Arya Keloping di Desa Tohjiwa yang bermigrasi ke Desa Besang. Pada bagian terakhir, kisah yang tertulis berhenti pada generasi kompiang saya. Dalam tradisi Bali, kompiang adalah sebutan bagi ayah dari kakek.
Sambutan dari Perwakilan Keluarga dalam Upacara Ngewacen |
Para Keluarga dan Para Undangan |
Pembaca dan Penerjemah Prasasti sedang Ditemani oleh Perwakilan Keluarga sebelum Ngewacen Dimulai |
Membawa Peti Gajah Mina |
Ida Pedanda dari Griya Aan Memulai Prosesi Pembacaan Prasasti |
Mulai Membuka Lembaran Prasasti |
Prasasti Keluarga Besar Dadia Arya Keloping Besang Kawan Tohjiwa |
Menuliskan Tambahan Kisah dan Silsilah ke Dalam Prasasti |
Menyambung Kisah
Karena kisah yang diceritakan berakhir pada kompiang atau mereka yang merupakan empat generasi di atas saya, maka menjadi tugas kami sekeluarga untuk melengkapi kisah selanjutnya. Prasasti akan ditulisi lagi. Cerita dan silsilah akan ditambahkan. Generasi kakek dan nenek saya akan dituliskan di sana, juga para sanak saudara yang telah tiada.
Ada satu syarat di mana prasasti itu bisa ditulisi dan dikisahkan dengan nama seseorang, yaitu orang tersebut haruslah yang sudah meraga hyang. Meraga hyang adalah ia yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi di keabadian alam semesta. Di Bali, mereka yang sudah meraga hyang disebut sebagai Hyang Dewa, mereka yang telah meninggal dan diabenkan, juga telah distanakan sebagai leluhur yang disucikan dalam upacara nuntun. Jadi jika mereka yang telah meninggal tetapi hanya dikubur/dibakar saja, belum diupacarai ngaben maupun nuntun, maka nama dan kisah mereka belum layak dituliskan dalam prasasti. Mereka yang telah meninggal dan belum diaben ini dianggap belum suci yang hanya dititipkan di bumi (dikubur) atau dititipkan di api (kremasi).
Setelah kisah dalam prasasti terbaca semua, kami pun sibuk berdiskusi. Pada akhirnya disimpulkan bahwa rencana menulis lanjutan kisah cerita tak bisa dilakukan saat itu juga. Ini tentu saja disebabkan karena waktu yang kami miliki terbatas. Menghasilkan kesepakatan mengenai kisah keluarga besar serta orang-orang yang akan dituliskan namanya ke dalam prasasti memerlukan waktu yang cukup lama. Maka upacara Ngewacen hari itu pun diakhiri. Tambahan kisah cerita dan silsilah akan dilakukan di kemudian hari.
Selanjutnya, diskusi keluarga dilanjutkan keesokan harinya yang menghasilkan dua kesepakatan. Kesepakatan pertama adalah memasukkan silsilah dan kisah penting mereka yang telah meraga hyang ke dalam prasasti. Kesepakatan kedua adalah membuat prasasti turunan yang akan dibawa ke Lampung. Untuk kesepakatan kedua, disebabkan karena sebagian keluarga besar saya saat ini telah bermukim di Lampung dan memiliki pura dadia sendiri. Artinya dengan prasasti turunan ini membuat kisah keluarga saya mengalami pemekaran pada satu bagian cerita. Satu melanjutkan cerita mereka yang di Bali, dan satu lagi akan melanjutkan cerita mereka yang di Lampung.
Garis Silsilah yang Hilang
Ada satu kenyataan yang membuat saya tercekat, begitu juga beberapa anggota keluarga saya yang lain. Seperti yang telah diketahui bahwa silsilah dan kisah keluarga kami yang telah diceritakan dalam prasasti adalah sampai pada generasi keempat di atas saya. Dari generasi inilah saya kemudian mengetahui bahwa ada dua orang yang kisahnya berhenti, mereka yang hilang ini tak ditahui berada di mana dan siapa keturunannya saat ini. Jika memang ada yang tidak menikah atau tidak memiliki keturunan maka hal itu seharusnya dituliskan pada keterangan silsilah. Tetapi dua orang yang kisahnya berhenti ini benar-benar tidak diketahui lagi, tak ada keterangan bagaimana kelanjutannya. Hampir semua yang telah sepuh saya tanyai tak ada yang tahu pasti.
Walaupun tak ada informasi, konon beberapa orang yang merupakan satu keluarga di Lombok adalah bagian dari keluarga besar saya. Mereka yang dari Lombok ini meyakini hal tersebut walaupun belum dapat menemukan jalinan silsilah dengan keluarga saya. Hampir setiap upacara piodalan di pura dadia saya, mereka selalu menyempatkan hadir. Begitu juga dengan upacara Ngewacen kali ini, tiga orang dari mereka hadir untuk bisa menggali informasi penting.
Garis silsilah yang hilang ini membuat saya menjadi penasaran dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Mereka yang dari Lombok ini tak memiliki pura dadia atau kawitan, hanya berbekal informasi bahwa leluhur mereka berasal dari keluarga besar saya di pura dadia yang sama di Desa Besang Kawan Tohjiwa. Sedangkan dalam silsilah keluarga besar saya, mereka tak ada dalam catatan. Sementara dalam prasasti terdapat kisah yang berhenti dan dipertanyakan kelanjutannya. Hanya jawaban samar-samar "asananga atau sepertinya" yang saya dapatkan dari para sesepuh ketika saya tanyai tentang nama-nama tetua dari mereka yang dari Lombok ini.
Menyucikan Prasasti Terbaru
Beberapa hari pun berlalu. Diskusi tentang silsilah dan kisah yang akan dituliskan ke dalam prasasti telah disepakati. Beberapa daun lontar yang telah diawetkan ditulisi lagi oleh Ida Pedanda Griya Aan. Dan hari itu Sukra Keliwon Watugunung Tahun 1938 Saka atau 20 Januari 2017, prasasti keluarga besar kami yang telah diperbarui akhirnya disucikan dan distanakan lagi di pura kawitan kami, Dadia Arya Keloping Besang Kawan Tohjiwa. Silsilah dan kisah keluarga besar kami akan tersimpan di sana.
Dalam masyarakat Bali, sering membuka dan membaca prasasti yang disucikan adalah hal tabu. Begitu juga dengan sering menyebut nama-nama leluhur yang telah meraga hyang, lebih baik tak usah dilakukan jika tak perlu. Tulah atau kualat, katanya. Entah kenyataan atau mitos, tapi bagi saya hal ini adalah wajar. Sering membaca prasasti yang disucikan bisa menghilangkan kesucian dan spirit dari prasasti itu sendiri. Secara logika, keropak yang sering dibuka dan disentuh akan cepat rusak. Jaman dulu tentu membuat keropak tak semudah membalik telapak tangan. Jika rusak, maka cerita akan hilang.
Walaupun prasasti tak boleh sering dibuka dan dibaca, isinya saat ini sudah diterjemahkan dan dituliskan ulang ke dalam perangkat lunak komputer. Bisa dicetak dan disebarkan kepada seluruh anggota keluarga. Niatnya tentu tidak untuk membuat kesucian prasasti berkurang, tetapi untuk mengingatkan kami sebagai para penerus generasi tentang jalinan tali persaudaraan.
Dalam keheningan ketika menuliskan kisah ini, saya membayangkan betapa banyaknya prasasti keluarga masyarakat Bali yang jika disatukan akan menjadi satu prasasti yang utuh, menjadi kisah cerita yang sangat luas dan besar. Pun begitu juga jika seandainya semua keluarga di Indonesia dan di seluruh dunia memiliki kisah dan silsilahnya masing-masing, jika disatukan tentu akan menjadi jalinan benang yang kompleks, terkait satu sama lain, semuanya menjadi satu pohon keluarga umat manusia. Dan pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita semua adalah bersaudara satu sama lain. []
Klungkung - Denpasar, Januari 2017
Hebat Komang, artikelnya di tulis dengan bagus. Maklumlah, kredensial Komang memang ok😊
ReplyDeleteSalam dari jumah Besang, Mang.