Melihat pemandangan Kota Jakarta barangkali bukan sesuatu yang istimewa bagi mereka yang sehari-hari melakukan rutinitas di ibu kota Indonesia tercinta ini, dan tentu juga bagi saya. Tapi melihatnya dari dalam bus tingkat sambil mendengarkan penjelasan seorang pemandu wisata tentang kisah sejarah tempat-tempat yang dilewati tentu rasanya mengasyikkan. Maka saya pun mencobanya, apalagi naik bus ini masih dalam status "gratis".
Mpok Siti |
Bus tingkat wisata ini memang masih baru beroperasi di Jakarta. Warnanya hijau muda berbalut ungu, didesain khusus untuk kebutuhan wisata kota di Jakarta. Ia memiliki nama unik "Mpok Siti". Kenapa? Karena dikemudikan oleh seorang sopir wanita, maka ia dipanggil dengan sebutan Mpok yang artinya kakak perempuan. Sementara Siti sendiri adalah plesetan dari kata City. Selain sopir, petugas di bus khusus wisata yang beroperasi sejak 24 Februari 2014 lalu ini adalah dua orang pemandu sejarah yang berasal dari Komunitas Historia Indonesia serta seorang polisi pawisata yang bertugas menjaga keamanan.
Hari itu sudah lewat tengah hari, saya berdiri di salah satu halte pemberhentian Mpok Siti, yaitu di Halte Museum Nasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Gajah. Museum ini merupakan satu titik lokasi tujuan wisata di Kota Jakarta, maka tak salah halte ini menjadi salah satu lokasi pemberhentian. Wisatawan yang tertarik dengan sejarah nusantara bisa berhenti di halte ini untuk selanjutnya masuk dan melihat-lihat ke dalam museum.
Jalur perjalanan Mpok Siti adalah menyusuri kawasan Jakarta Pusat di sekitar Jalan M. H. Thamrin, Monumen Nasional, sampai ke Pasar Baru dan Lapangan Banteng. Kawasan di Jakarta Pusat ini pada waktu zaman kolonial Belanda dikenal dengan nama Weltevreden. Weltevreden di zaman itu adalah sebuah kawasan pemukiman bagi para pejabat pemerintahan Hindia Belanda di luar kawasan utama pemerintahan Kota Batavia yang saat ini dikenal sebagai kawasan Kota Tua Jakarta.
* * *
Museum Nasional - Pacenongan
Perjalanan naik bus tingkat pun dimulai. Tujuan pertama adalah menuju Halte Pacenongan. Menyusuri Jalan Medan Merdeka Barat, bus melewati gedung perkantoran Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perhubungan, Radio Republik Indonesia, serta Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Gedung-gedung yang tak asing bagi mereka yang setiap hari melintasi Jalan Merdeka Barat yang konon katanya nanti akan diganti namanya menjadi Jalan Soeharto, tapi mungkin menyisakan penasaran karena gaya arsitektur beberapa di gedung itu adalah peninggalan Pemerintah Hindia belanda.
Karena tujuan saya naik bus tingkat ini adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu, maka saya pun duduk saja di dalam bus sambil mendengarkan penjelasan Vera, salah seorang pemandu yang menjelaskan apa itu Museum Gajah yang baru saja dilalui. Penjelasan ini tak saya hiraukan untuk beberapa menit-menit awal karena saya bagai anak kecil yang melihat rupa bus tingkat yang masih kinclong ini. Di bagian bawah, terdapat sedikit kursi yang terasa seperti suasana kafe saja. Sementara, di pojok belakang, sebuah tangga menghubungkan bagian bawah bus dengan bagian atasnya. Baru di bagian atas terdapat banyak tempat duduk dengan jendela kaca yang besar sehingga mampu melihat keluar dengan leluasa.
Enjoy Jakarta |
Selepas Jalan Majapahit di penghujung Perempatan Harmoni, saya ditegur oleh Briptu Redi, polisi pariwisata yang duduk di pojok lantai paling bawah yang dari tadi saya perhatikan hanya memainkan telepon genggamnya dan memperlihatkan wajah tak bersahabat. Alasannya karena saya berdiri dan mondar-mandir di dalam bus sementara ada larangan untuk berdiri. Ini adalah ketidakkompakan pemandu dan polisi. Anggi, salah satu pemandu di dalam bus sebelumnya mempersilahkan saya memotret dan berkeliling di dalam bus karena tak begitu ramai atau jika bus berhenti menunggu lampu merah. "Santai aja Kak, pak polisi lagi dapet kayaknya", begitu ia mencairkan suasana sambil tersenyum.
Suara Vera yang memandu bus wisata ini menyapa ramah dari speaker yang ada di dalam bus. Kali ini menjelaskan tentang sebuah patung kecil di perempatan Harmoni yang hampir pasti luput oleh pengamatan orang yang lalu-lalang. Patung kecil yang bernama Hermes ini tepatnya berada di bibir jembatan kali yang airnya hijau dengan sedimen-sedimen lumpur coklat kehitaman serta sampah di kedua sisinya. Patung Hermes di jembatan Harmoni ini adalah imitasi dari aslinya yang disimpan di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta, merupakan peninggalan seorang pedagang asal Jerman yang dulu tinggal di tokonya di Jalan Veteran di zaman Hindia Belanda.
Dulu saya sempat iseng memotret seluruh patung yang ada di Jakarta, dan patung Hermes yang saya cari-cari di Harmoni ini tak saya temukan karena setahu saya di Harmoni memang tak ada patung. Wajar saja, saya mengiranya sebesar Tugu Pancoran atau Tugu Selamat Datang, tetapi ternyata hanya sebuah patung yang kecil.
Patung Hermes |
Dari Perempatan Harmoni, jalur perjalanan bus ke arah timur menyusuri Jalan Juanda menuju Halte Pacenongan. Pacenongan merupakan salah satu kawasan tua di daerah Jakarta Pusat di mana banyak bangunan peninggalan Belanda maupun jalan-jalan kecil yang dinamai dengan nama-nama berbau Betawi, Belanda, maupun Arab. Jika kita turun di Halte Pacenongan ini, selain berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat bersejarahnya, kita dapat berbelanja makanan karena kawasan ini juga dikenal sebagai tempat wisata kuliner yang terkenal dengan martabaknya.
Pacenongan - Pasar Baru - Masjid Istiqlal
Dari Halte Pacenongan, bus akan melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Juanda menuju Halte Pasar Baru. Sore ini cuaca sedikit mendung dan rintik hujan mulai turun.
Pasar Baru merupakan kawasan perbelanjaan di masa kolonial Belanda yang masih diteruskan sampai sekarang. Toko-toko yang ada pun merupakan toko yang sudah ada lebih dari satu abad yang lalu. Barang-barang yang dijual di Pasar Baru ini terkenal murah jika dibandingkan dengan mall-mall di Jakarta. Satu pasti yang sangat menarik adalah, adanya tempat perbaikan kamera bagi mereka yang memiliki hobi fotografi dengan harga yang juga pas di kantong.
Di sekitar kawasan perbelanjaan ini, ada banyak tempat bersejarah lainnya yang sangat menarik yang bisa kita lihat dari gaya arsitektur bangunan yang bergaya art deco yang terkesan kuno dan antik. Beberapa bangunan bersejarah di Kawasan Pasar Baru ini adalah Sekolah Santa Ursula yang berdampingan dengan Museum Pos atau Gedung Filateli, maka tak salah kemudian jalan yang membentang di depan Museum Pos ini dinamai Jalan Pos.
Gedung Pos Ibukota Jakarta |
Di sudut Jalan Pos, di seberang gerbang masuk Pasar Baru, terdapat Gedung Kesenian Jakarta. Dari sini, bus tingkat wisata ini berbelok ke arah selatan melewati Gedung Keuangan menuju Lapangan Banteng. Gedung Keuangan ini dulu konon merupakan tempat tinggal Gubernur Hindia Belanda Daendels.
Di seberang Gedung Keuangan atau di sebelah selatannya, terdapat Lapangan Banteng. Kawasan Lapangan ini dikenal dengan nama Lapangan Singa pada masa penjajahan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno membangun sebuah monumen berupa patung pemuda yang memutuskan rantai di tangannya sebagai lambang pembebasan diri, monumen ini dinamai sebagai Monumen Pembebasan Irian Barat. Letaknya tepat di tengah lapangan yang asri di mana banyak terlihat anak-anak yang sedang bermain bola di sore itu.
Tak jauh dari Lapangan Banteng, terdapat Gereja Kathedral. Gereja Kathedral ini sebenarnya memiliki nama resmi Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga. Entah kenapa jika saya melihat gereja ini, bayangan saya adalah Disney Land, mungkin karena puncak-puncak bangunannya yang runcing mengingatkan saya akan lambang perusahaan yang memproduksi banyak tokoh kartun dan taman bermain itu.
Gereja Kathedral |
Masjid Istiqlal |
Beranjak dari Gereja Kathedral, berdiri Masjid Istiqlal yang megah. Lokasi masjid ini dulu merupakan sebuah taman peninggalan Belanda yang bernama Taman Wilhemina. Masjid Istiqlal berstatus sebagai masjid negara yang didirikan atas prakarsa Presiden Soekarno. Istiqlal berasal dari bahasa Arab yang berarti "merdeka" karena saat itu memang dibangun di masa-masa awal kemerdekaan dan ingin ditunjukkan sebagai bagian dari kemerdekaan. Dari jauh, pemandangan Masjid Istiqlal yang berdampingan dengan Gereja Kathedral begitu menawan.
Masjid Istiqlal - Monumen Nasional
Setelah berhenti beberapa saat di Halte Masjid Istiqlal, perjalanan dilanjutkan lagi menyusuri Jalan Veteran. Jalan Veteran sendiri merupakan salah satu jalur yang berdampingan dengan Jalan Juanda mengarah ke Perempatan Harmoni yang dipisahkan oleh sebuah kali, hanya saja berkebalikan arah. Di salah satu pertigaan, perjalanan berbelok ke selatan menuju Istana Merdeka.
Istana Merdeka |
Sebuah upacara pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dilakukan di istana ini pada tanggal 27 Desember 1949. Ketika bendera Belanda diturunkan dan bendera Indonesia dinaikkan, terpekiklah teriakan "Merdeka!" berkali-kali. Mulai saat itulah istana yang dulunya bernama Istana Gambir berganti menjadi Istana Merdeka. Tapi, satu yang paling menyebalkan bagi saya adalah pihak Belanda tak pernah mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia, 27 Desember 1949 lah yang mereka akui, begitu juga beberapa negara di PBB dari buku-buku dan film-film tentang Indonesia yang dibuat oleh mereka.
Monumen Nasional |
Di sebelah selatan Istana Merdeka, terdapat Lapangan Medan Merdeka di mana menjulang Monumen Nasional yang sering disingkat dengan nama Monas, ikon Kota Jakarta. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi 1945 dan mengangkat harga diri bangsa dengan tujuan menyaingi Menara Eiffel di Paris Perancis. Di Halte Monumen Nasional yang terletak di sebelah barat lapangan inilah Mpok Siti berhenti untuk menaikkan dan meurunkan penumpang lagi.
Monumen Nasional - Balai Kota - Sarinah - Bundaran HI
Bus Mpok Siti meluncur lagi menuju ke Jalan Medan Merdeka Selatan. Di jalan ini terdapat Kantor Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Ialah yang memprakarsai diadakannya bus tingkat wisata ini untuk para wisatawan yang ingin berwisata di Kota Jakarta. Sore itu adalah waktu pulang kantor para karyawan sehingga tak mengherankan jika banyak dari mereka yang terlihat lalu-lalang di tepi jalan juga bus-bus pegawai pemerintahan yang parkir di depan gedung. Perjalanan sedikit tersendat menuju ke barat.
"Dan inilah Sarinah, pusat perbelanjaan pertama di Indonesia yang namanya diambil dari nama pengasuh Presiden Soekarno waktu kecil", begitu Vera melanjutkan penjelasannya ketika bus sudah mulai menyusuri Jalan M. H. Thamrin. Sebuah gedung pencakar langit yang bernama Wisma Nusantara tegak berdiri. Wisma Nusantara ini juga merupakan gedung pencakar langit pertama di Jakarta yang tingginya tak melebihi Monas. Konon, gedung-gedung di Jakarta nantinya semua akan dibangun tidak melebihi tinggi Monas dengan alasan untuk menghormati keagungan perjuangan bangsa Indonesia yang disimbolkannya. Tapi ternyata jauh di kemudian hari, gedung-gedung pencakar langit yang melebihi tinggi Monas berdiri di mana-mana di Jakarta.
Sarinah |
Tujuan bus berikutnya sebagai titik pemberhentian yang terakhir dari perjalanan menyusuri Weltervreden adalah Halte Bundaran Hotel Indonesia. Hotel Indonesia sendiri adalah hotel bintang lima pertama di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemda DKI Jakarta. Di persimpangan jalan di depan hotel ini, terdapat Monumen Selamat Datang yang dilambangkan oleh sepasang pemuda-pemudi yang menyambut kedatangan tamu Asian Games IV yang dilaksanakan di Indonesia kala itu di tahun 1962.
Dan di Halte Bundaran Hotel Indonesia inilah bus wisata ini berhenti cukup lama. Ini dikarenakan titik awal dan akhir perjalanan adalah di halte ini. Setelah pemandu wisata cukup berisitirahat, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Selanjutnya menuju Halte Museum Nasional, tempat saya pertama kali naik bus ini tadi. Karena bus tak penuh, saya tak turun. Jika penumpang ramai dan mengantri, saya seharusnya wajib turun di sini.
Beberapa titik penting yang dijelaskan di sepanjang perjalanan dari Bundaran Hotel Indonesia ke Museum Nasional adalah Bank Indonesia di Jalan M.H Thamrin sebelah barat serta Monumen Arjuna Wiwaha di perempatan sudut barat laut Lapangan Medan Merdeka atau Monas.
* * *
Satu hal yang saya perhatikan dalam perjalanan menggunakan bus tingkat wisata ini adalah banyaknya penumpang yang bukan bertujuan untuk wisata. Sekelompok siswa-siswi SMK Taman Siswa Jakarta yang saya tanya mengatakan bahwa mereka mau pulang ke Pasar Baru usai praktik magang di sebuah kantor. Begitu juga dengan seorang pemuda yang katanya mau belanja ke Pecenongan. "Lumayan Kak, dapat tempat duduk dan gratis", begitu siswi SMK itu menjawab pertanyaan saya. Ia mengatakan tak begitu tertarik pada tempat-tempat bersejarah yang dilewati karena sudah setiap hari melewati jalan ini. "Yah... Paling gitu-gitu aja", begitu selorohnya cuek.
Vera dan Anggi yang saya tanya kemudian mengatakan bahwa mereka sudah hafal muka-muka mereka yang setiap hari memanfaatkan bus wisata ini untuk sekedar sebagai tumpangan. "Iya Mas, kita jadinya setengah hati kalau menjelaskan kepada mereka yang sebenarnya tak berminat dengan sejarah tempat ini", begitu katanya mengeluh. Mungkin untuk masa-masa awal, kejadian-kejadian seperti ini bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pelaksanaan selanjutnya.
Saya masih mengikuti jalannya bus wisata ini sampai ke Halte Masjid Istiqlal. Dari halte tersebut saya menyeberang ke Stasiun Juanda untuk melanjutkan perjalanan pulang saya dengan kereta komuter. Dari jembatan penyeberangan menuju stasiun, lalu-lalang orang serta macetnya jalan oleh berbagai jenis kendaraan bermotor seolah tak peduli dan menambah hiruk pikuk sore hari itu. Kawasan Weltevreden ini tetap begitu adanya seiring sore yang beranjak malam, menjadi saksi bisu perputaran waktu salah satu sudut kawasan ibukota. []
Jakarta, April 2014
Terima kasih buat informasinya kak..
ReplyDeleteBisa buat referensi liburan nanti nih,,
Sukses selalu
nice inpoh. jadi pengen ikutan jalan bareng mpok siti.. hehhe.. :D
Delete