Perayaan Waisak di Borobudur tahun ini dikatakan tidak hening bagi para pelakunya karena lebih dominan menjadi objek wisata. Beberapa tulisan blog dan status twitter di internet mengabarkan itu semua. Katanya banyak para pengunjung untuk melihat prosesi perayaan Waisak ini. Bahkan jumlah pengunjung yang bukan sebagai peziarah itu jauh lebih banyak dari pada mereka yang merayakannya. Dan yang menjadi masalah bukan pada banyak sedikitnya pengunjung yang menjadikan perayaan Waisak ini bak pertunjukan wisata, tetapi lebih kepada sikap yang ditunjukkan pada perayaan tersebut. Ada yang berpakaian tidak sopan, ada yang menaiki altar ketika para peziarah berdoa, ada yang ikut berdesakan atau pun bertanya macam-macam yang tidak tepat pada waktunya.
Seperti perayaan Waisak di Borobudur, hal serupa juga sering terjadi ketika perayaan Kesodo di Bromo. Dataran tinggi Tengger yang juga merupakan objek wisata populer akan menjadi sangat ramai ketika ada upacara di bulan Sada ini. Jika kita mencari tahu tentang pelaksanaan upacara ini dari segi pengunjung wisata, akan ada banyak pemberitaan tentang sikap kurang baik yang ditunjukkan oleh mereka. Walaupun tidak semua pengunjung berlaku seperti itu, tapi sebagian besar dikatakan seperti itu.
Kegiatan ritual seperti Waisak atau Kesodo ini sebenarnya adalah kegiatan ritual biasa saja. Hanya sebuah perayaan atau peringatan hari besar yang dilaksanakan dengan urutan-urutan prosesi tertentu. Ia menjadi unik hanya karena kegiatan ritual tersebut tidak umum di lingkungannya dan segelintir masyarakat saja yang melaksanakannya. Seperti misalnya di Bali, akan ada banyak upacara piodalan dan hari-hari suci di pura-pura yang diperiongati seperti Kesodo atau peringatan Galungan maupun Nyepi di beberapa tempat tertentu seperti Waisak, yang peringatan hari-hari itu jika dilihat oleh bukan orang Bali menjadi hal yang sangat unik, tetapi bagi orang Bali sendiri ritual ini memang begitulah adanya.
Ada satu hal juga yang masih mengganjal dengan kejadian sopan dan tidak sopannya pengunjung, yaitu tempat dilaksanakannya ritual yang sebenarnya juga adalah tempat suci sekaligus tempat wisata. Walaupun tidak ada kegiatan ritual, tak jarang pengunjung berlaku tidak sopan ketika berada di sana. Seperti misalnya waktu saya mengunjungi Candi Prambanan beberapa tahun lalu, ada beberapa pasang muda-mudi yang berpacaran kelewatan di dalam candi atau sesorang yang menaiki arca suci hanya untuk sekedar dipotret bersama arca tersebut. Ini menimbulkan persepsi bagi saya bahwa tempat ini sudah tak memiliki taksu atau wibawa lagi. Padahal Galungan Kuningan dan Purnama Tilem dilaksanakan di tempat ini oleh para penganut Hindu Jawa dan Bali maupun Kejawen.
Yang pasti ini bukan masalah tentang kepercayaan apa dan siapa yang melakukan ritual di tempat yang bersangkutan. Entah itu Waisak, entah itu Galungan Kuningan, entah itu Idul Fitri atau Natal, sebagai pihak yang tidak ikut merayakannya sudah merupakan kewajiban medasar untuk menjalankan attitude yang baik ketika kita berniat mengikuti prosesinya walaupun hanya untuk mendokumentasikan atau memenuhi rasa ingin tahu. Pun tidak hanya pada candi atau tempat suci lainnya, di desa, di kota, di hutan, di gunung, di pantai, pada tempat maupun penghuninya baik manusia dan mahluk hidup lainnya, attitude baik tetaplah menjadi modal dasar dalam berkegiatan.
Jakarta, Mei 2013
Kegiatan ritual seperti Waisak atau Kesodo ini sebenarnya adalah kegiatan ritual biasa saja. Hanya sebuah perayaan atau peringatan hari besar yang dilaksanakan dengan urutan-urutan prosesi tertentu. Ia menjadi unik hanya karena kegiatan ritual tersebut tidak umum di lingkungannya dan segelintir masyarakat saja yang melaksanakannya. Seperti misalnya di Bali, akan ada banyak upacara piodalan dan hari-hari suci di pura-pura yang diperiongati seperti Kesodo atau peringatan Galungan maupun Nyepi di beberapa tempat tertentu seperti Waisak, yang peringatan hari-hari itu jika dilihat oleh bukan orang Bali menjadi hal yang sangat unik, tetapi bagi orang Bali sendiri ritual ini memang begitulah adanya.
Ada satu hal juga yang masih mengganjal dengan kejadian sopan dan tidak sopannya pengunjung, yaitu tempat dilaksanakannya ritual yang sebenarnya juga adalah tempat suci sekaligus tempat wisata. Walaupun tidak ada kegiatan ritual, tak jarang pengunjung berlaku tidak sopan ketika berada di sana. Seperti misalnya waktu saya mengunjungi Candi Prambanan beberapa tahun lalu, ada beberapa pasang muda-mudi yang berpacaran kelewatan di dalam candi atau sesorang yang menaiki arca suci hanya untuk sekedar dipotret bersama arca tersebut. Ini menimbulkan persepsi bagi saya bahwa tempat ini sudah tak memiliki taksu atau wibawa lagi. Padahal Galungan Kuningan dan Purnama Tilem dilaksanakan di tempat ini oleh para penganut Hindu Jawa dan Bali maupun Kejawen.
Yang pasti ini bukan masalah tentang kepercayaan apa dan siapa yang melakukan ritual di tempat yang bersangkutan. Entah itu Waisak, entah itu Galungan Kuningan, entah itu Idul Fitri atau Natal, sebagai pihak yang tidak ikut merayakannya sudah merupakan kewajiban medasar untuk menjalankan attitude yang baik ketika kita berniat mengikuti prosesinya walaupun hanya untuk mendokumentasikan atau memenuhi rasa ingin tahu. Pun tidak hanya pada candi atau tempat suci lainnya, di desa, di kota, di hutan, di gunung, di pantai, pada tempat maupun penghuninya baik manusia dan mahluk hidup lainnya, attitude baik tetaplah menjadi modal dasar dalam berkegiatan.
Jakarta, Mei 2013
Comments
Post a Comment