Pariwisata menjadi bunga mawar yang sedang mekar dan begitu menggoda di Pulau Dewata. Hotel dan vila tumbuh bak jamur di musim hujan. Gaya hidup sebagian besar generasi penerus semakin berubah. Sementara sawah dan ladang perlahan menghilang ditelan zaman. Hari ini, siapa lagi yang mau jadi petani?
Melali ke Carik
Hari mulai beranjak senja. Awan putih berarak di angkasa menghalangi pancaran sinar matahari. Sawah terasering menghijau ditumbuhi padi yang sebentar lagi akan panen, bertingkat-tingkat begitu indah ke arah barat sepanjang mata memandang. Nun di bawah sana, lembahan Tukad Kunyit menyimpan misteri tersendiri. Sementara di arah yang berbeda, Pura Dalem Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa berdiri tegak kesepian penuh kharisma di tengah persawahan yang kini sudah dilewati jalan kecil beraspal.
Semua yang ada di hadapan saya ini membangkitkan nostalgia akan masa kecil dulu. Ketika saya dan teman-teman sepermainan bagaikan Si Bolang di layar kaca. Bayangan tentang ramai-ramai berjalan di pematang sawah untuk mandi di sungai. Atau sekedar berburu capung, memancing, dan mencari batang enau untuk keperluan upacara mecaru. Atau di hari piodalan, bersembahyang di pura yang identik dengan keangkeran di ujung selatan desa. Suasana ini terasa masih seperti dulu, dengan kehangatan dan belaiannya yang mesra. Tetapi juga terasa asing dan begitu jauh. Entahlah, mendadak ada sedih dan keharuan menikmati suasana desa tempat saya lahir dan dibesarkan ini.
Saya mulai berjalan menyusuri pematang sawah, menurun menuju ke arah Tukad Kunyit. Lenguhan suara sapi terdengar dari sebuah pondok yang di belakangnya teronggok tumpukan-tumpukan kotorannya dengan baunya yang khas. Air mengalir di selokan-selokan tepi sawah. Dari tempat ini, ketika melihat ke arah utara, rumah-rumah baru terlihat telah berdiri. Beberapa dari rumah itu saya ketahui dimiliki oleh warga asing yang sengaja membangun rumah itu untuk view pemandangan persawahan. Di beberapa titik, bangunan-bangunan baru juga mulai berdiri menggantikan sawah-sawah yang letaknya lebih dekat dengan pemukiman. Lebih jauh ke utara, Gunung Agung samar-samar terlihat tegak berdiri di balik awan.
Mendekati Tukad Kunyit, seorang petani dari desa tetangga menyapa dengan ramah. Bercerita tentang padi yang tumbuh tak baik. Dan memang benar, dari sebagian besar padi di persawahan ini kebanyakan sedikit yang berisi. Begitu juga di petak-petak sawah yang menjadi tujuan saya, kondisinya tak jauh berbeda. Saya tak begitu mengerti tentang keadaan dan seluk beluk tanaman padi di musim ini. Tali-tali membentang penuh dengan warna-warni dan lonceng pengusir kawanan burung ibarat warna-warni keramaian pasar. Teriakan petani di kejauhan dibarengi burung-burung yang terbang menjauh sesekali terdengar.
Di sekitar Tukad Kunyit, semak-semak dan tanaman liar tumbuh begitu rapat. Tak tampak satu pun jalan setapak yang biasa digunakan sehari-hari menuju aliran sungai ini. Seperti sudah tak ada lagi yang berkepentingan untuk mandi di sungai ini seperti dulu. Alirannya masih jernih, hanya saja beberapa kain dan plastik terlihat tersangkut di batu dan dan tepian sungai. Melihat ini, saya pun enggan untuk sekedar turun membasuh kaki yang telah kotor oleh lumpur.
Matahari sudah makin condong ke barat. Saya kembali lagi ke jaba Pura Dalam Besang Kawan Tohjiwa. Di jalan kecil yang telah tembus ke desa tetangga, sesekali pengendara sepeda motor melintas. Juga beberapa pesepeda dan orang yang sedang lari-lari sore. Aliran air yang dulu hanya berupa pematang sawah yang ditumbuhi rumput kini sudah berganti dengan pondasi batu dan semen yang kokoh. Begitu juga patok-patok penanda yang menunjukkan telah jelas ada pengkavlingan lahan. Baru beberapa tahun jalan ini dibuka dengan akses yang makin dekat ke arah Kota Klungkung. Harga tanah jadi melambung. Sawah para petani pun satu persatu beralih kepada para pemilik modal. Katanya, sebuah komplek perumahan akan berdiri tak lama lagi. Jadi, sawah dan ladang kemungkinan besar akan menghilang.
Sebuah garasi mobil berdiri sendiri di antara sawah yang masih menghijau. Sepertinya baru saja dibangun oleh seorang anak muda yang baru pulang dari kapal pesiar. Atau puluhan rumah kos yang telah banyak berdiri di sudut-sudut Kota Klungkung yang juga menggantikan sawah-sawah yang lokasinya di tepian jalan yang baru dibuka. Menandakan bahwa minat di bidang pertanian bagi masyarakat Bali sudah menurun. Mungkinkah bertani dan memiliki sawah ladang sudah tidak menjanjikan lagi? Atau kita saja yang tidak bisa mengelola sawah dan ladang dengan menyesuaikannya pada kebutuhan zaman? Apakah ini kehidupan yang sudah bergeser menjadi mental materialistik akibat budaya global dan perekonomian kapitalisme?
Tri Hita Karana yang merupakan filosofi masyarakat Bali untuk hidup harmonis dengan Hyang Widi, dengan manusia, serta dengan alam lingkungan mulai menjadi tanda tanya di hati saya. Bagi petani di Bali, sawah dan ladang merupakan karunia Hyang Widi yang diwariskan dari leluhurnya sehingga sawah dan ladang itu memiliki nilai religius dan tempat bermukim Bhatara Sri. Ada sanggah dan Pura Subak sebagai tempat penghormatan itu di sana. Di masa lalu, jual beli sawah warisan pantang dilakukan karena pada sawah melekat jati diri leluhur dan Hyang Widi sebagai Bhatara Sri. Ada organisasi subak tempat para petani melakukan sosialisasi dalam mengatur hak kewajiban bertani. Juga ada ritual penghormatan kepada tanaman dan hewan-hewan peliharaan yang tentu saja sejatinya hal itu bukan hanya sekedar penghormatan tanpa dimengerti arti sejatinya.
Dalam perjalanan pulang, terbayang ingatan saya akan fenomena tomcat yang sedang hangat diberitakan berbagai media. Juga tentang fenomena ulat bulu yang telah lewat atau tikus-tikus got yang banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Mungkin saja burung pemakan tomcat dan ulat bulu sudah pergi karena sawah dan ladang telah menghilang. Atau mungkin saja ular-ular sawah punah karena tak punya rumah sehingga tikus-tikus yang adapted dengan got-got di kota makin merajalela. Semua itu seperti tentang keseimbangan rantai makanan, keseimbangan alam, dan keseimbangan kehidupan yang terlupakan. Apakah kita saja yang memandang kolot filosofi-filosofi leluhur itu? Ataukah memang itu sudah waktunya dan jalannya?
Ah, tapi saya tidak mau begitu saja untuk berpikir negatif. Sesampainya di rumah, saya sengaja mencari informasi tentang berkurangnya lahan pertanian di Bali. Semenjak tahun 2005, dari 88 ribu hektar lahan pertanian, tercatat terjadi pengurangan seribu hektar setiap tahun. Dan awal tahun 2012 ini pemerintah Provinsi Bali telah menyiapkan peraturan daerah untuk melindungi dan mempertahankan lahan pertanian. Banyak pula anak muda dan cendikiawan yang idealis bersuara.
Malam perlahan mulai turun. Lampu-lampu jalan dan rumah-rumah sudah mulai menyala. Suara jangkrik masih terdengar dari pojokan rumah tempat saya duduk. Suara binatang malam dan burung yang terlambat pulang sarang terdengar dari pepohonan di sawah-sawah yang masih bertahan di dekat rumah. Langit Kota Klungkung begitu cerah penuh bintang dan bulan yang menuju purnama. Tempat bersejarah saya ini akan selalu menyimpan cerita. Yang abadi, dan juga yang akan berubah.
Klungkung, April 2012
* Melali ke Carik : Bermain ke Sawah
Comments
Post a Comment