Apakah seorang wanita bisa diangkat menjadi pahlawan padahal ia adalah seorang yang pro Belanda di zaman penjajahan? Ataukah ia yang hanya dikenal melalui surat-suratnya tanpa pernah bertempur mengangkat senjata pantas menyandangnya? Tiba-tiba saja kalimat tanya di atas terlontar di sebuah jejaring sosial, dari seorang rekan yang berprofesi sebagai pemerhati sejarah sebagai pancingan untuk berdiskusi. Tentang polemik Kartini. Tentang banyaknya orang yang melupakan pahlawan wanita lain yang jauh lebih heroik dan berperang menggantikan atau bahkan bersama suaminya mengusir penjajah. Pramoedya Ananta Toer pernah menuliskan biografi Kartini, sebagai sebuah karya yang memang ditujukan sebagai konfrontasi pada pihak yang meragukan kepahlawananya. Apa yang menjadi pembeda adalah cara perjuangan yang diambilnya. Ia yang merupakan seorang perempuan pribumi menolak dipanggil Raden Ajeng. Sebagai putri seorang bupati, ia sebenarnya berhak menerima penghormatan itu. Tapi setegasnya ia tol...
Kumpulan catatan dan coretan-coretan dari I Komang Gde Subagia