Jalanan Kota Jakarta masih lengang pada minggu pagi ini. Beberapa pesepeda dan kendaraan bermotor terlihat melaju tanpa hambatan ketika saya berada di dalam Bus Trans Jakarta menuju Museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua. Hari ini adalah hari di mana saya bersama Komunitas Historia Indonesia (KHI) akan menyusuri bangunan-bangunan tua dan jejak-jejak sejarah di kawasan Meester Cornelis atau daerah yang sekarang disebut sebagai Jatinegara dan Matraman di Jakarta.
Di masa pelayaran bangsa-bangsa Eropa, Inggris dan Perancis adalah dua bangsa utama yang bersaing dalam meluaskan wilayah jajahan. Saat Napoleon Bonaparte memerintah Perancis di abab ke-18, kekuasaannya berkembang menaklukkan sebagian besar wilayah Eropa yang memicu terjadinya peperangan yang dikenal dengan nama Perang Napoleon. Belanda yang notabene adalah negeri kecil di benua Eropa pun tunduk di bawah kekuasaan Perancis. Otomatis Pulau Jawa yang dikuasai Belanda menjadi dikuasai Perancis. Hingga akhirnya pada tahun 1811 Inggris melancarkan serbuan perang untuk merebut Jawa dari tangan Perancis yang salah satunya terjadi di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara dan Matraman di Jakarta), salah satu perang besar abad 19 di Pulau Jawa yang terlupakan oleh banyak catatan sejarah di negeri kita.
Menuju Jatinegara
Setelah berkumpul di Museum Bank Indonesia, kami menuju Stasiun Jakarta Kota untuk selanjutnya menuju Stasiun Jatinegara dengan kereta api komuter. Dalam catatan sejarah perkeretaapian di Indonesia, kawasan Jatinegara sudah lama dikenal dengan tremnya. Gedung stasiunnya sendiri juga diperkirakan muncul di awal abad ke-20 yang dicirikan dengan gaya arsitektur indis, perpaduan antara gaya arsitektur Eropa dengan arsitektur tropis. Dan dari stasiun inilah kami memulai perjalanan kaki untuk menyusuri bangunan-bangunan kuno dan jejak-jejak Perang Napoleon di seputaran Jatinegara dan Matraman.
Nama Jatinegara baru muncul ketika zaman penjajahan Jepang karena nama Meester Cornelis sendiri adalah nama yang berbau Belanda. Jatinegara dahulu adalah wilayah hutan jati sehingga tidak salah jika daerah itu dinamakan demikian. Sedangkan Meester Cornelis sendiri berasal dari nama Cornelis Senen, seorang pastor keturunan Portugis yang dulu membuka hutan jati tersebut di tepian Sungai Ciliwung pada abad ke-17. Ia oleh orang-orang bumiputera dipanggil dengan sebutan Mester Cornelis sehingga lambat laun daerah bukaan hutan tersebut disebut dengan Meester Cornelis. Bahkan sampai saat ini masih banyak masyarakat ibukota, terutama sopir-sopir angkutan kota yang menyebutnya sebagai Meester Cornelis.
Dari Stasiun, Bangunan Tua, dan Saksi Biksu Perang Napoleon
Dari Stasiun Jatinegara, kami beranjak menyusuri jalanan di depan stasiun yang ramai oleh lalu lalang orang dan kendaraan menuju Gedung Landrad yang lebih dikenal dengan sebutan Gedung Eks Kodim Jatinegara. Seperti umumnya gedung-gedung tua di Jakarta, Gedung Landrad ini bergaya arsitektur indis dengan jendela besar dan tinggi serta ruangan yang luas, sehingga orang Eropa pada zaman dahulu bisa meminimalisasi panasnya udara tropis. Pada zaman Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung pengadilan. Sedangkan saat sekarang gedung ini sedang dipugar dan diperbaiki sesuai bentuk aslinya di masa lalu yang nantinya akan digunakan sebagai Gedung Kesenian Jakarta Timur oleh pemerintah setempat.
Usai dari Gedung Landrad, kami bergerak lagi menyusuri ramainya jalanan menuju SMP N 14 Jakarta. Bangunan gedung sekolah ini sebenarnya klasik dan bernilai keindahan, tetapi sayang kondisinya kusam dan tampak tidak terurus. Apalagi di pintu masuk dan sepanjang pagar depan bangunan ini dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang menjual beraneka barang dan makanan. Ditambah dengan kawasan seberangnya adalah Pasar Lama Jatinegara, otomatis membuat Jalan Raya Matraman di depan sekolah ini ramai, macet, dan semrawut sepanjang hari.
Kemudian kami masuk ke Pasar Lama Jatinegara yang tepat berada di depan SMP N 14 Jakarta dan langsung dihubungkan oleh jembatan penyeberangan. Di pasar lama ini banyak terdapat rumah toko langgam Cina yang diperkirakan telah berumur 200-an tahun serta adanya Klenteng Amurva Bhumi atau disebut juga Klenteng Hok Tek Ceng Sin. Kami kemudian bergerak sekitar 200 meter ke arah barat laut. Tepat di ujung pertigaan jalan Matraman Raya terdapat Gereja GBIP Koinina atau lebih dikenal dengan Gereja Bethel yang merupakan bangunan tua bergaya art deco yang telah berdiri dari awal abad ke-20. Pak Moses yang merupakan bagian litbang gereja dengan ramah menjelaskan tentang sejarah dan arsitektur Gereja Bethel ini.
Usai istirahat makan siang, kami bergerak lagi ke komplek TNI AD Urip Sumoharjo yang mana di kawasan ini juga banyak berdiri bangunan tua masa kolonial bergaya indis. Di kawasan TNI AD serta kawasan Pasar Jatinegara Lama ini diperkirakan sebagai lokasi benteng pertahanan untuk menahan serbuan Inggris yang telah merangsek masuk seusai menghancurkan pertahanan Perancis - Belanda di Kepulauan Seribu dan Pantai Cilincing. Hanya saja saat ini tidak ada ditemukan bekas-bekasnya sama sekali.
Setelah menyusuri beberapa titik yang telah saya sebutkan di atas, akhirnya kami berhenti di satu titik yang menyisakan jejak adanya Benteng Mesteer Cornelis. Itulah saluran air Kebon Pala, saluran yang membentang tak jauh dari jembatan rel kereta api Kebon Pala. Saluran air yang saat ini alirannya hitam dan kotor itulah parit yang dibangun di luar tembok benteng. Saluran air sedalam 3 meter dan lebar 4 meter ini membentang di belakang Jalan Matraman di sepanjang Jalan Palmeriam 2 Jakarta Pusat. Saluran air inilah salah satu saksi bisu pertempuran antara pasukan dua kekuatan adidaya dunia saat itu, Perancis melawan Inggris di Pulau Jawa.
Sementara pintu gerbang benteng diperkirakan di jembatan kereta api Kebon Pala tersebut, pintu masuk dan jalan satu-satunya dari arah Sunda Kelapa (pelabuhan utama Batavia) menuju Buitenzorg (Bogor - pusat pemerintahan) di masa lalu. Juga merupakan salah satu bagian jalan dari Jalan Raya Pos Anyer - Panarukan yang dibangun Daendels untuk persiapan pertahan dari serbuan pasukan Inggris.
* * *
Ketika kemudian saya membaca halaman-halaman awal buku Perang Napoleon di Jawa 1811 - bingkisan dari kegiatan susur sejarah ini -, tertulis kisah seorang pemuda Belanda yang jauh-jauh berlayar dari Eropa menuju Jawa untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Dengan semangat Revolusi Perancis yang menggebu ia berangkat. Ia begitu bersemangat akan mempertahankan koloninya, 'tanah airnya' di Pulau Jawa.
Mengetahui itu, betapa saya berpikir bahwa orang asing yang menjajah itu bersemangat menyebut nusantara sebagai tanah airnya. Dan betapa salah satu kisah sejarah Perang Napoleon yang hampir terlupakan ini menyiratkan pelajaran pada kita bahwa kepulaun nusantara terbukti selalu menjadi rebutan negara-negara adidaya. Sementara para bumiputera yang terpecah-pecah hanya menunggu pemenangnya, menunggu siapa berikutnya yang akan mendapatkan giliran untuk menguasainya.
Temukan Foto Jatinegara di Galeri Penulis
Jakarta, Oktober 2011
Comments
Post a Comment