Di kaki Gunung Pangrango terdapatlah sebuah kampung elok yang tak jauh dari kawasan wisata Situ Gunung. Kampung Cikaramat, begitulah namanya. Setelah melalui jalan setapak menurun, sebuah surau sederhana yang dikelilingi kolam ikan serta sebuah bedug besar dari sebuah batang kayu utuh akan menyambut saat kita baru memasuki kampung ini. Di samping surau tersebut berdiri rumah kepala kampung dengan papan posyandu terpasang di tembok depannya. Dari keterangan papan itu dapat kita ketahui bahwa Kampung Cikaramat ini secara administratif terletak di Desa Sukamanis, Kecamatan Kadukampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Kampung Cikaramat hanya terdiri dari beberapa rumah yang tak lebih dari hitungan jari. Sementara beberapa petak sawah di sekitarnya memperlihatkan adanya bekas-bekas rumah yang dulu pernah berdiri. Pak Asep atau biasa dipanggil Pak Ayeh yang merupakan Kepala Kampung Cikaramat mengatakan hanya ada 6 dari total 70 kepala keluarga yang masih tinggal di kampung ini. Sisanya telah dipindahkan ke tempat baru yang lebih tinggi tak jauh dari kampung semula lengkap dengan rumah-rumah permanen. Ancaman longsor menjadi alasan kuat kenapa kampung ini dipindahkan. Memang jika dilihat dari posisinya, Kampung Cikaramat terletak di lembah yang merupakan aliran sungai yang berasal dari Situ Gunung, ini artinya sebuah danau besar berada di atas kampung yang selalu siap mengancam. Sementara bukit-bukit yang mengapit lembahan Kampung Cikaramat ini ditumbuhi oleh pepohonan yang didominasi bambu yang di beberapa petaknya terlihat gundul.
Pemda Sukabumi sebenarnya sudah menyarankan pindah lokasi sejak tahun 2006. Karena tiadanya lahan pengganti, akhirnya pemindahan itu baru bisa dilakukan pada tahun 2010 kemarin. Itu pun juga setelah ramai isu musibah tanah longsor seperti Situ Gintung dan Perkebunan Teh Dewata Ciwidey. Dan seperti dituliskan di atas, masih ada 6 kepala keluarga yang tinggal di Kampung Cikaramat lembahan ini, semuanya dengan alasannya masing-masing. Pak Ayeh sendiri mengatakan bahwa sebagian besar warga sebenarnya tidak berkeinginan untuk dipindahkan. Ia juga mengatakan bahwa ia sendiri tidak begitu takut karena sampai saat ini tidak ada tanda-tanda sama sekali akan adanya longsor. Sementara Pak Mamad, seorang lelaki setengah baya yang juga masih tinggal di lembahan ini mengatakan bahwa akses ke mata air yang menjadi alasan utamanya untuk tidak ikut pindah.
Walaupun kampung ini berlokasi di tempat rawan bencana, ternyata kampung ini memiliki keindahan suasana yang menakjubkan. Tak salah jika ada sebuah outbound organizer membeli sepetak tanah di lembahan Cikaramat dan menjadikan kampung ini sebagai salah satu tujuan wisata alam dan budaya. Beberapa komunitas sepeda gunung juga saya lihat melintas ketika saya berjalan menuju kampung ini yang menandakan bahwa kampung ini memang menjadi tujuan wisata.
Dalam acara Astacala Lintas Alam 9, beberapa warga Kampung Cikaramat telah menyiapkan pertunjukan musik tradisional seadanya. Musik Sunda yang menurut saya mirip dengan musik pertunjukan Reog Ponorogo mengalun, dan kita bisa ikut berlatih silat dalam iringan musik tersebut. Beberapa orang wanita berdatangan di samping rumah tempat pertunjukan memperlihatkan cara pembuatan bakul dari anyaman bambu. Juga Pak Mamad yang menunjukkan cara membuat gula aren dan dikerubungi oleh mereka yang ingin mencoba mencicipi gula aren tersebut.
Memang menjadi tidak alami lagi suasana kampung ini. Tentu karena hal tersebut sengaja disiapkan dan diadakan untuk mengisi acara kegiatan Astacala Lintas Alam 9. Walaupun demikian, hal tersebut tetap cukup atraktif dan menghibur bagi pengunjung yang rata-rata merupakan warga yang hidup di kota. Arnan, sang ketua Astacala Lintas Alam 9 yang telah beberapa kali melakukan survei ke tempat ini mengatakan bahwa suasana Kampung Cikaramat lebih menakjubkan pada hari-hari biasa, terutama di malam hari. Lampu-lampu listrik hanya sedikit yang menyala karena daya listrik yang memang kecil, suara gemericik air, dan suara-suara binatang malam. Suasana pedesaan tataran Sunda sangat terasa. Apalagi ditemani makan malam sederhana dengan sambal khas buatan istri Pak Ayeh, benar-benar nikmat, begitu katanya.
Sementara itu beberapa puluh meter di balik bukit di atas lembahan Kampung Cikaramat, telah berdiri Kampung Cikaramat baru. Rumah-rumah baru yang bangunannya serupa satu sama lain berdiri lengkap dengan aliran-aliran listrik yang baru pula. Penggunaan listrik pra bayar di rumah-rumah baru tersebut sangat dibanggakan oleh Pak Ayeh dan warga yang lain. Pak Ayeh dan warga Kampung Cikaramat tak lagi harus jauh-jauh pergi ke Koperasi Unit Desa untuk membayar listrik. Ia cukup membeli pulsa dan melakukan registrasi untuk mendapatkan aliran listrik. Saya hanya tersenyum melihatnya dengan bersemangat bercerita tentang penggunaan listrik pra bayar ini. Salah satu gambaran penggunaan teknologi yang bisa diterima dan dinikmati oleh warga pedesaan.
Kampung Cikaramat baru mungkin memiliki suasana yang berbeda dengan Kampung Cikaramat lama yang berada di lembahan. Suasananya memang terlihat kurang elok. Tidak ada sawah-sawah di sekitar rumah yang bangunannya seragam. Juga jalanan telah lebar berbatu dengan tiang-tiang listrik. Tetapi memang begitulah adanya. Warga kampung yang terancam bencana tanah longsor mau tidak mau harus tinggal di tempat yang baru demi keselamatannya, sampai lambat laun Kampung Cikaramat di lembahan akan seluruhnya hanya menjadi sawah maupun ladang yang tidak setiap hari ditempati.
Jakarta, September 2011
Comments
Post a Comment