Waktu sudah lewat tengah malam ketika berlangsung proses ngelinggihang atau menstanakan leluhur pada rangkaian acara ngaben di halaman sebuah rumah yang melaksanakan upacara pembakaran mayat khas warga Hindu Bali itu. Beberapa batang dupa yang menyala dan kain putih dengan rajah aksara Bali dibawa oleh penari topeng yang berkarakter tua dan buruk rupa menambah syahdu heningnya malam. Di sudut lain, di atas sebuah balai pelinggih, mengalun bunyi genta dan lantunan mantra doa-doa oleh pedanda yang memimpin upacara.
Topeng Sidakarya, itulah nama tari topeng yang berkarakter wajah tua buruk rupa dan berambut putih panjang tersebut. Sebuah tari topeng terakhir setelah topeng-topeng dengan karakter lain sebelumnya tampil. Tari Topeng Sidakarya ini bukan tari topeng sembarangan, karena tari ini adalah tari pamungkas untuk kesuksesan dan kesempurnaan sebuah ritual besar yang diselenggarakan.
Konon, abad ke-15 pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali tersebutlah sebuah upacara besar di Pura Besakih. Saat itu datanglah seseorang pandita dari Keling di Pulau Jawa ingin ikut menghadiri upacara tersebut dan ingin menemui pemimpin upacara tersebut yang juga adalah sahabatnya. Tetapi karena penampilannya yang buruk rupa dan berpakaian kumal, pandita tersebut diusir dan dicaci-maki oleh para pengawal upacara dan orang yang ada di sana. Pandita dari Keling itu pun pergi membawa dendam. Ia kemudian mengutuk upacara tersebut sehingga upacara tersebut tidak membawa berkah dan gagal.
Akhirnya pemimpin upacara tersebut pun menyesali tindakan pengawalnya dan kemudian mencari lagi pandita dari Keling tersebut. Sang pandita pun kemudian diberi kehormatan untuk ikut berperan serta dalam menyelesaikan upacara dan diberikan tempat tinggal di daerah Sidakarya. Karena itulah hingga saat ini setiap ada upacara ritual besar di Bali, tarian topeng yang dinamakan Topeng Sidakarya itu selalu dilaksanakan sebagai penyempurna.
Berbicara mengenai tarian topeng ini, tidak semua orang bisa menarikan tari Topeng Sidakarya. Topeng ini tidak sama dengan topeng-topeng pada umumnya yang ditujukan untuk pertunjukan-pertunjukan wisata. Ia yang menarikan Topeng Sidakarya haruslah telah mewinten atau disucikan. Ia akan dibuatkan satu topeng khusus untuk dirinya, untuk ngayah atau mengabdi pada kehidupan sehingga tidak akan dipatok harga yang pasti ketika orang yang bisa menarikan ini diminta bantuannya untuk ikut mamuput suatu upacara.
Selain waktu dan lakon tari topeng ini yang khusus, proses pembuatannya juga tidak sembarangan. Pembuatnya juga harus telah mewinten atau disucikan. Semuanya adalah sebuah proses yang sakral dalam sebuah pengabdian. Penyakralan proses ini mampu menahan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Seorang pembuat topeng percaya bahwa pendahulunya telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak sembarangan menebang pohon atas nama kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan melihat musim serta hari baik dengan tujuan supaya alam tidak murka.
Seiring perjalanan waktu, di tengah gencarnya pariwisata di Pulau Bali, banyak topeng dan perbuatan manusia yang dilandasi untuk kepentingan komersial semata. Bahwa banyak yang telah lupa tentang arti sebuah pengabdian. Bertolak dari kearifan lokal Topeng Sidakarya di Bali, bisa kita analogikan juga di dalam sebuah proses kehidupan. Tentang bagaimana kita menghargai seperti yang tersirat di dalam sejarahnya. Tentang pengabdian penari, orang yang membuat dan prosesnya. Dan yang terpenting adalah tentang bagaimana kita sebagai manusia dalam memerankan seorang lakon di dunia. Bahwa ada sinergi yang mendalam antara manusia dan sesamanya, dengan alam lingkungan, dan dengan Sang Pencipta untuk menuju kehidupan yang penuh harmoni.
Find Topeng Sidakarya Pictures in My Gallery
Reference from Ayu Sulistyowati - Topeng Sidakarya dan Alam
Bandar Jaya, Desember 2010
Comments
Post a Comment