Pagi yang masih dingin, saya berangkat dari Bandung menuju Wonosobo. Hanya berdua, dari rencana semula yang seharusnya berlima. Bus berAC ini membawa saya terlelap di sepanjang perjalanan di mana sesekali terbangun di beberapa titik peristirahatan.
Sungai dengan riam-riam jeram yang menawan mengalir di samping kiri jalan di sepanjang Banjarnegara menuju Wonosobo. Kala itu telah senja dan saya sudah tidak terlelap lagi. Google map menunjukkan bahwa sungai tersebut adalah Sungai Serayu. Pantas saja. Sungai ini adalah sungai dengan grade baik tempat diadakannya kejurnas arung jeram yang pertama dulu.
Malam mulai larut ketika kaki saya mulai melangkah menuju base camp pendakian Gunung Sumbing di Dusun Garung. Adzan isya telah berkumandang, sementara gerimis turun semenjak turun dari kendaraan umum. Base camp pendakian terlihat sepi. Hanya kami berdua, walaupun beberapa jam berikutnya terlihat sebelas orang pendaki yang datang dari Jogja. Makan malam yang ingin kami cari di bawah harus diurungkan karena hujan di luar makin deras. Tapi nasi goreng buatan ibu istri penjaga basecamp cukup lumayan menganjal perut untuk terlelap berisitirahat malam.
Pagi, matahari mulai merekah. Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing tampak berhadap-hadapan di bawah awan yang bergumpal-gumpal kelabu. Saya melengkapi perlengkapan yang kurang di Pasar Reco, pasar kecil di desa itu.
Setelah selesai sarapan, perjalanan untuk mendaki Gunung Sumbing pun saya mulai. Carrier cukup berat karena membawa peralatan lengkap untuk kami yang hanya berdua. Perjalanan sepanjang kilometer pertama ini melewati perkampungan Dusun Garung. Dengan penduduk yang ramah dan sapaan logat khas Jawa Tengah.
Di ujung desa, jalur pendakian yang biasa dan bisa digunakan ada dua. Yaitu jalur lama dan jalur baru. Dua jalur di punggungan berbeda yang hanya dipisahkan oleh satu lembahan. Kami memilih untuk menggunakan jalur baru karena di jalur baru terdapat persediaan air dan juga terdapat shelter di beberapa posnya.
Awal perjalanan dari ujung desa adalah dari pertemuan dua sungai kemuadian menyusuri punggungan yang dibentuk oleh kedua sungai tersebut. Hutan bambu dan ladang-ladang penduduk adalah pemandangan awal yang kami lalui. Perjalanan kami cukup santai dan sering istirahat mengingat lebih dari dua tahun saya tidak pernah mendaki gunung di atas ketinggian 3000 mdpl. Sehingga tubuh memerlukan penyesuaian terhadap kondisi ini. Latihan fisik dua kali seminggu di Taman Tebet Jakarta serta selalu menggunakan tangga tiap kali menuju meja kerja di lantai empat kantor sepertinya cukup berpengaruh. Walaupun lelah, tapi nafas terasa tetap stabil.
Di tengah perjalanan, sebelas pendaki dari Jogja mulai menyusul kami. Saling menyapa. Wah, mereka ngebut juga, batinku dalam hati.
Selepas ladang, hutan Gunung Sumbing mulai dijajaki. Hutannya tidak terlalu lebat. Bisa dibilang gersang. Pepohonan hampir banyak perdu dan beberapa pinus yang jarang. Kalau saja hari ini bukan musim penghujan, tentu cuaca sangat panas sekali.
Tiba di sebuah shelter yang disebut Pos 1, hujan dan kabut mulai turun. Satu tim pendaki kami temui lagi. Senda gurau pun tercipta. Ternyata saya dan Astaka adalah pendaki tertua di gunung ini. Sebagian besar merupakan mahasiswa dan anak-anak sekolahan. Berisitirahat sambil menentukan posisi dan menyocokkan dengan kordinat yang didapatkan dari GPS bawaan HP Ericsson Astaka.
Cukup lama juga saya berisitirahat di shelter Pos 1 itu untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Hujan yang turun kadang bergerimis dan kadang deras. Tengah hari, di bawah flysheet yang kami bentangkan di bawah hujan yang turun, makan siang kami siapkan. Seorang pendaki solo dari Lampung melewati kami. Katanya setelah dari gunung ini akan melanjutkan ke Gunung Slamet dan gunung-gunung lain di Jawa. Mantap!
Menjelang senja, hujan bertambah deras. Kami telah tiba di titik pertemuan jalur lama dan jalur baru. Nama tempatnya disebut Pestan. Sebuah punggungan terbuka dengan padang rumput. Satu dua pohon tampak tersebar. Untuk daerah ketinggian, tempat ini sebenarnya cukup berbahaya untuk mendirikan camp karena sangat terbuka. Tapi, berhubung telah senja serta hujan makin deras dan kabut yang makin tebal, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat ini. Selain telah lelah, tempat datar sepertinya akan sulit ditemui jika perjalanan kami lanjutkan lagi.
Tenda kami berdiri di bawah dua pohon pegunungan yang tidak saya ketahui namanya. Hujan mulai reda, walaupun sedikit gerimis dan kadang-kadang berubah menjadi deras. Api unggun menyala dengan gagahnya menghangatkan badan. Di malam yang sudah mulai larut, mendung, hujan gerimis, dan berkabut, ternyata ada banyak pendaki yang masih melakukan perjalanan. Beberapa menumpang istirahat di depan tenda. Suguhan susu coklat dan beberapa potong biskuit di depan api unggun sepertinya cukup untuk membangkitkan semangat. Pesan "hati-hati di jalan" pun saya sampaikan ketika mereka akan melanjutkan perjalanannya lagi.
Hari berikutnya, seusai sarapan, kami putuskan bahwa kami akan ke puncak dengan membawa perlengkapan seperlunya. Makanan dan air minum, peralatan masak, dan benda-benda penting lainnya. Awan mendung tetap bergelayut di langit. Perjalan ke puncak melewati setapak yang cukup jelas di atas tanah merah yang licin sehabis hujan.
Menjelang puncak, jalur mulai berbatu. Licin. Pohon-pohon khas vegetasi di ketinggian 3000 mdpl tampak di beberapa titik walaupun junmlahnya tidak banyak. Kalau musim kemarau, bisa dibayangkan tempat ini begitu panas dan gersang. Sampah-sampah plastik terlihat berceceran di beberapa tempat datar yang sepertinya adalah bekas camp. Coretan-coretan tak bertanggung jawab terdapat di hampir setiap dinding batu. Pemandangan indah di ketinggian pegunungan yang ternoda. Dan hampir setiap kali saya temui di setiap pendakian gunung dengan menggunakan jalur normal.
Pukul sepuluh pagi kami tiba di puncak. Berbarengan dengan sebelas pendaki dari Mahameru Jogja. Angin berhembus tidak terlalu kencang. Air hangat yang dimasak di kompor trangia mengisi gelas dengan sebungkus kopi instan. Beberapa biskuit dan buah jeruk mengisi perut kami selama menikmati suasana puncak. Kawah di bawah sana terlihat putih. Penuh dengan susunan batu-batu yang kemungkinan besar adalah nama-nama para penyusunnya atau organisasi asal mereka. Menurut saya, pemandangan kawah menjadi jelek karena susunan huruf batu-batu tersebut.
Puncak sejati atau puncak tertinggi Gunung Sumbing ini ada beberapa meter lagi di barat. Berupa tebing-tebing terjal. Kalau saya lihat tinggal beberapa meter saja dari tempat saya ini. Dan terlihat memerlukan perlengkapan memanjat untuk bisa dengan aman bisa menjejakkan kaki di puncak tertingginya.
Tidak lebih dari satu jam saya habiskan waktu di puncak. Mendung sedikit tersapu angin dan sinar matahari menjatuhkan panas di bebatuan. Saya sempatkan sedikit waktu itu untuk sedikit berjemur dari lembabnya daypack dan pakaian. Dusun Kledung tidak begitu jelas terlihat di bawah karena mendung dan awan yang bergumpal-gumpal.
Selepas itu, saya mulai turun. Kembali ke camp. Kabut mulai turun lagi. Gerimis. Dari arah lembahan di kanan dan kiri jalur yang saya lalui, terdengar cicit-cicit burung. Burung-burung di ketinggian.
Perjalanan turun inilah yang rupanya menguji kemampuan fisik saya. Kaki yang sudah pegal dan lelah, disertai kondisi cuaca yang hujan deras berkabut. Jalanan yang licin membuat saya berkali-kali jatuh terpeleset. Perjalanan menjadi melambat. Dan alhasil, saya kembali ke Dusun Kledung ketika hari telah gelap.
Mengutip kalimat bahasa jawa yang ditulis Astaka di Buletin Bivak "jare sopo munggah gunung ra pegel" menjadi hal yang menggelikan ketika saya menuliskan kembali catatan perjalanan saya ini. Seminggu berlalu, tapi rasa pegal masih samar-samar terasa. Kata siapa naik gunung tidak capek?
Find Sumbing Picture in My Picasa
Wonosobo, Desember 2009
baca cerita jalan2 ke gunung kaya gini, langsung terbayang gimana dingin dan sejuk disana....
ReplyDeletepengen kesana lagiiii....
Kapan nih Bang Isack mengajak saya ikut petualangannya di Borneo?
ReplyDeleteseru bgt liburan digunung, udara pasti masih segar. nice posting.
ReplyDeleteboleh minta alamat fbnya?
ReplyDeleteSaya lg cari2 info seputar memanjat gunung. Mohon bantuan ilmunya.hhe
kalo bisa add saya at fb
abebebek@hotmail.com
tx :)
waduuuuhhh saya telat gabung ternyata,..tapi memang mantap boss,..gunung tergersang yang ada.tapi disana banyak yang hilang juga makanya kadang kehati-hatian sangat tinggi disana(kalo yang percaya ama dunia lain pasti mudeng) ga hanya sekali saya hampir hilang.kapan-kapan ajak2 kalo kesana,
ReplyDeleteboleh add fb elpaijo@gmail.com
catatan yang bagus teman..
ada rencana pendakian desember entar??
ReplyDeletesalam lestari