Senja di Ujung Genteng
Langit terlihat memerah ketika kami tiba di Pantai Ujung Genteng. Matahari perlahan tapi pasti menghilang di cakrawala. Di depan sebuah pos pangkalan TNI AU, minibus yang kami tumpangi berhenti. Tempat ini merupakan ujung jalan. Tempat sebuah perkampungan nelayan Ujung Genteng.
Setelah beberapa saat melapor dan bersoasialisasi di pos tersebut, kami pun beranjak untuk mencari tempat bermalam. Rencana mendirikan tenda di dalam hutan Cagar Alam Ujung Genteng kami urungkan karena larangan dari peraturan yang ada di sini.
Di bawah pohon ketapang, di pinggir pantai, dan sekaligus di pinggir jalan kecil, tenda kami dirikan. Beberapa ratus meter di sebelah selatan dan utara tempat kami, terdapat warung-warung dan kafe-kafe sederhana yang berdiri. Kami sebut kafe remang-remang. Alunan musik karaoke sayup-sayup terdengar.
Tempat ini sendiri masih termasuk di dalam wilayah Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Daerah pesisir selatan Jawa Barat dengan pantai batu karang. Sebagian besar penduduk pesisir ini adalah nelayan. Sementara pera pemilik warung dan kafe sebagian besar adalah warga pendatang dari daerah lain.
Ada Orang Gila
Aku merasa sedikit resah dengan suasana tempat ini. Teringat kembali akan suasana tepi pantai Citepus Pelabuhan Ratu ketika aku ke sana dulu. Aku lebih khawatir dengan tempat yang tak begitu jauh dari keramaian seperti ini dibandingkan dengan tempat yang lebih jauh ke pedalaman.
Dan benar saja, beberapa saat kemudian, ketika kami sedang mempersiapkan makan malam, seorang gila ikut duduk bersama kami. Memperhatikan kami. Takjub, seolah-olah kami adalah sebuah tontonan yang menarik.
Kutanya, ia diam saja dan hanya manggut-manggut. Akhirnya, beberapa saat kemudian kupanggil seseorang yang kebetulan lewat di jalan kecil untuk mengajaknya pergi. Dan aneh, belum kuhampiri, ia langsung pergi.
Dari Ujung Genteng ke Pangumbahan
Pagi pun merekah. Setelah packing perlengkapan kembali, kami berjalan menyusuri pantai ke arah utara. Cuaca cukup panas di pagi yang menjelang siang. Melewati Teluk Cibuaya, sebuah sungai, dan Kampung Batunamprak.
Ketika siang menjelang, pantai karang sedikit demi sedikit mulai terlewati. Berganti dengan ombak yang tinggi. Panas bertambah terik. Hutan-hutan pesisir menghijau mulai tampak di depan. Sebuah bilik berpagar rapat dengan bambu berbentuk persegi besar sekitar 10 x 10 meter berdiri. Itu adalah tempat meletakkan telur-telur penyu hijau.
Pangumbahan, Tempat Penyelamatan Penyu Hijau
Kami telah sampai di Teluk Penyu, Pangumbahan. Masuk beberapa puluh meter ke dalam hutan pesisir ini, ada sebuah rumah mess dan tempat penyelamatan penyu. Pak Cecep, salah seorang petugas di sini menyambut kami dengan ramah.
Pangumbahan adalah sebuah kampung yang termasuk dalam wilayah administrasi yang sama dengan Ujung Genteng. Tempat penyelamatan penyu ini berada di bawah naungan Departemen Perikanan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dikelola sejak Februari 2008. Sebelumnya, pengelolaan penyu di tempat ini dikelola oleh sebuah perusahaan swasta yang bernama CV Abdi Jaya.
Untuk pengelolaan sebelumnya yang dilakukan oleh swasta, telur-telur penyu yang dihasilkan dibagi 70 : 30. Dimana 70% diambil oleh pengelola, sedangkan tiga puluhnya dirawat, untuk selanjutkan menghasilkan tukik (anak penyu) yang nantinya dikembalikan ke laut.
Tetapi, sekarang, seluruh telur dan tukik yang dihasilkan seratus persen dikembalikan ke laut sejak dikelola oleh Departemen Perikanan.
Kehidupan Penyu
Penyu di tempat ini berjenis penyu hijau (chelonia mydas), termasuk penyu yang dikatagorikan hewan langka. Setiap malam, di sepanjang Pangumbahan sampai dengan Ciwaru adalah pantai tempat penyu ini bertelur. Penyelamatan penyu yang dikelola oleh Departemen Perikanan hanya dari Pangumbahan sampai dengan muara Sungai Cipanarikan. Sedangkan dari muara Sungai Cipanarikan sampai dengan Ciwaru berada dalam pengelolaan Departemen Kehutanan Kabupaten Sukabumi.
Dibandingkan dengan Departemen Kehutanan, pengelolaan di bawah Departemen Perikanan pantainya jauh lebih pendek. Hanya sepanjang kurang lebih tiga kilometer. Terdapat enam titik pos pemantauan penyu bertelur di sepanjang tiga kilometer ini yang diawasi. Setiap malam para petugas mengawasi penyu bertelur di masing-masing pos yang areanya kurang lebih lima ratus meter. Untuk selanjutnya telur-telur yang dihasilkan ditempatkan di penangkaran bilik bambu di pantai pos pertama, di dekat mess petugas.
Di sepanjang Pantai Pangumbahan, penyu bertelur secara secara rutin. Jumlahnya puluhan setiap malamnya. Dan selalu diawasi oleh petugas. Sedangkan untuk tukiknya sendiri, dilepaskan setiap pagi ke laut.
Penyu-penyu yang bertelur adalah penyu yang berusia di atas tiga puluh tahun. Telur-telur penyu memerlukan waktu antara 52 sampai 70 hari untuk ditetaskan, tergantung cuaca. Jika musim penghujan, pasir yang sedikit lebih dingin akan membuat waktunya bertambah lama. Begitu juga sebaliknya jika cuaca adalah panas, waktu menetasnya juga lebih cepat.
Dari seratus telur penyu, kemungkinan yang bisa bertahan hidup sampai berusia di atas tiga puluh tahun adalah satu ekor. Atau bisa jadi tidak ada sama sekali. Sungguh luar biasa.
Telur penyu yang banyak berpindah tempat, tersentuh oleh tangan, atau berdesakan dengan telur-telur lain ketika dipindahkan, kemungkinan akan merusak embrio dan gagal menetas. Setelah menetas menjadi tukik, ancaman panas pasir, kepiting, dan burung pasti selalu mengintai. Begitu juga jika sudah ada di laut, tukik-tukik akan menjadi santapan hiu, sasaran camar laut, atau terjaring oleh jala nelayan.
Retorika Penyelamatan Penyu dan Lingkungan
Pada suatu malam aku berkesempatan berbicara dengan Pak Baban, salah seorang petugas senior di tempat ini. Ia sudah menjadi pegawai negeri tetap di Departemen Perikanan.
Penyelamatan penyu di tempat ini banyak memiliki kendala. Banyak warga yang setiap malam menggotong penyu yang keluar dari laut untuk diambil telurnya. Sangat sulit dicegah. Walaupun oleh polisi sekalipun yang juga ikut bertugas. Karena orang-orangnya begitu banyak. Selain itu orang-orang yang mengambil telur-telur tersebut melakukan hal ini karena dorongan ekonomi. Banyak yang merupakan penggangguran dan tidak mempunyai pekerjaan. Sehingga telur-telur tersebut menjadi begitu berharga walaupun harganya satu butir jika dijual kepada penadahnya adalah 2500 rupiah.
Telur penyu dipercaya sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit, mitos yang melegenda di masyarakat. Begitu juga dagingnya. Dan cangkangnya, banyak digunakan sebagai hiasan barang antik.
Di lain pihak, penduduk sekitar banyak yang melakukan penebangan pohon di daerah pesisir ini yang masih merupakan hutan. Kayu hasil tebangan digunakan sebagai bahan bakar penyadapan gula aren karena cukup banyak penduduk membuat gula di daerah ini.
Penyu secara alami akan memilih pantai tempat bertelur yang masih memiliki vegetasi tumbuh-tumbuhan hutan pesisir. Biasanya di sela-sela semak pantai agak ke dalam. Secara kasarnya, minimal lima ratus meter di sepanjang garis pantai haruslah berupa hutan alami yang terjaga.
Makin banyaknya manusia yang menjamah tempat ini untuk merusak hutan ataupun mengambil telur penyu, makin rentanlah kelestarian penyu hijau ini.
Memang, di manapun, menjaga kelestarian alam dan lingkungan pastilah berhadapan dengan berbagai persoalan yang kompleks. Seperti di tempat ini. Di mana proses konservasi berhadapan dengan dinamika sosial dan ekonomi. Jika digambarkan ibaratnya seperti jala ikan yang kusut. Berbagai kepentingan berbenturan satu sama lainnya. Tentunya sikap dan kebijakan pemerintah, aparat, serta warga masyarakat yang bertalian secara harmonis sangat diperlukan melihat keadaan ini.
Bermalam di Pangumbahan
Menjelang sore hari ini, kami bermalam di mess tempat penyelamatan penyu ini. Beberapa kayu mati yang banyak ditemui di hutan pesisir ini kami kumpulkan untuk membuat api unggun. Juga untuk membakar ikan yang kami beli siang tadi.
Malam ini begitu gerah. Nyamuk dan serangga beterbangan tak terhitung jumlahnya. Aku sadar telah salah kostum di daerah pantai. Sleeping bag yang tentunya nyaman jika dipakai di daerah pegunungan menjadi bumerang di tempat ini. Dipakai panas, tak dipakai menjadi bulan-bulanan nyamuk dan serangga. Lotion anti nyamuk yang kami gunakan sepertinya tidak berpengaruh. Alhasil esok paginya, bentol-bentol dan gatal pun merajalela di kulit.
Tengah malam, di pantai, aku dan beberapa petugas mengawasi seekor penyu yang sedang bertelur di daerah pos 1. Pada waktu penyu mulai keluar dari laut, cahaya-cahaya seperti lampu senter atau yang lainnya akan bisa mengurungkan niat penyu untuk bertelur ke darat. Sehingga untuk itu, diperlukan ketajaman telinga dan bantuan sinar rembulan dalam mengawasi adanya penyu yang akan bertelur.
Beberapa orang tak dikenal terlihat berkeliaran. Sepertinya orang-orang yang menginginkan telur-telur penyu seperti yang tadi diceritakan. Mungkin di pos-pos lain, ada lebih banyak lagi orang-orang yang berniat sama.
Dan memang benar, besok pagi kuketahui bahwa ada delapan ekor penyu yang keseluruhan telurnya diambil di enam pos yang ada. Itu belum lagi ditambah dengan pos-pos di bawah pengawasan departemen kehutanan atau yang tidak terdeteksi. Mungkin jumlahnya puluhan. Itu setiap malam. Sungguh ironis.
Malam ketika penyu bertelur, matanya berair. Mungkin menangis. Karena ia meninggalkan telur-telurnya. Tanpa pernah tahu apakah telurnya akan menetas dan selamat menjadi tukik, ataukah nanti diambil dan dijual kepada para penadah. Tapi yang pasti, ia tahu pada saat ia bertelur ada banyak orang yang mengerumuninya, yang tentu saja dengan berbagai niat.
Pelepasan Tukik
Di pagi hari, kami melepaskan tukik. Tukik-tukik dari telur-telur yang sudah berumur limapuluhan hari yang telah menetas. Ditambah dengan tukik yang sudah siap dilepaskan yang ada di tempat penangkaran, semuanya kami lepaskan ke laut. Pagi ini ada sekitar seribu ekor tukik.
Satu dua ekor yang terlambat menetas terperangkap di dalam penangkaran. Yang kalau dibiarkan pasti akan mati terbakar panasnya pasir di pantai. Kami dan petugas yang ada tidak bisa mengambilnya karena kunci untuk masuk ke tempat penangkaran ini hanya ada satu dan dipegang oleh satu orang.
Sebenarnya hari ini, seorang petugas yang kebetulan berjaga membawa kuncinya. Ia menawariku untuk mengambil tukik-tukik yang terperangkap itu, tapi akhirnya diurungkan. Dua orang lelaki bertubuh besar berkeliaran di seputar penangkaran telur ini. Kata sang petugas, andai saja lelaki tersebut melihatnya membuka pintu penangkaran, kemungkinan besar lelaki tersebut bisa memaksa mengambil telur-telur yang ada. Jadi lebih baik mengatakan kalau kuncinya tidak ia bawa.
Aku menghela nafas. Kesal dengan keadaan ini. Kenapa harus takut dengan orang-orang seperti itu? Tapi sudahlah. Petugas yang sudah lama malang melintang dengan kondisi seperti ini pasti mempunyai pertimbangan sendiri memutuskan hal tersebut.
Akhirnya, aku hanya bisa memandangi tukik-tukik yang terperangkap itu berputar-putar mencari jalan menuju laut yang terhalang pagar-pagar bambu. Berpacu dengan matahari yang makin meninggi. Tukik-tukik kecil tersebut, sudah pasti tidak akan bisa bertahan sampai besok pagi.
Malam Panjang di Cikaso
Menjelang siang, kami berpamitan. Kali ini perjalanan ditujukan ke Cikaso. Sebuah curug yang terletak di Kampung Ciniti, Desa Cibitung, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Curug ini sebenarnya bernama Curug Luhur, mengalir dari anak sungai Cikaso yang bernama Cicurug. Tapi oleh kebanyakan orang, curug ini lebih dikenal dengan nama Curug Cikaso.
Dari Kampung Ciniti, kami menggunakan perahu penduduk untuk menuju curug ini. Jarak tempuhnya sebenarnya dekat. Penggunaan perahu lebih ditujukan untuk keperluan wisata dan menambah pendapatan warga sekitar. Hutan-hutan dataran rendah bercampur dengan ladang serta sawah penduduk mendominasi kawasan ini.
Di curug inilah kami bermalam. Seorang kakek dari Kampung Ciniti mendatangi kami di kala waktu menjelang malam. Saat itu aku sendiri. Teman-temanku semuanya mandi di aliran sungai. Kakek yang mendatangiku tersebut membacakanku doa-doa. Sepertinya ayat-ayat suci Alqur'an. Aku tak mengerti artinya. Itu ia lakukan juga pada sebotol air minum yang ia minta. Supaya kami selamat di tempat ini, begitu katanya. Niatnya baik. Hanya saja belakangan ia meminta uang sebagai balas imbalan jasa. Ternyata ia tidak ikhlas sepenuhnya.
Malam di tempat ini terasa panjang. Seusai makan malam, aku sudah tidur-tiduran di samping api unggun. Sampai terlelap begitu lama. Beberapa kali aku terbangun, waktu belum melewati tengah malam. Teman-temanku semua juga sudah tidur. Kuteringat cerita sang kakek tentang angkernya kawasan ini.
Sudahlah. Di manapun tempatnya, tentang sesuatu yang mistis ataupun ilmiah, satu hal yang pasti adalah kita hendaknya selalu menghormati aturan dan adat istiadat setempat. Berangkat dengan baik, pulang pun dengan baik. Bumi dan segala isinya begitu beragam isinya, berkaitan satu dengan yang lainnya. Dan kita adalah salah satu bagiannya. Di manapun kita berada, di sanalah juga kita hidup. Melihat dan mencoba mengerti segala isi dunia. Berjalan layaknya dimensi waktu. Di mana sesuatu berakhir, di sanalah sesuatu yang baru dimulai.
Find Ujung Genteng & Cikaso Picture In My Picasa
Sukabumi, Januari 2009
Langit terlihat memerah ketika kami tiba di Pantai Ujung Genteng. Matahari perlahan tapi pasti menghilang di cakrawala. Di depan sebuah pos pangkalan TNI AU, minibus yang kami tumpangi berhenti. Tempat ini merupakan ujung jalan. Tempat sebuah perkampungan nelayan Ujung Genteng.
Setelah beberapa saat melapor dan bersoasialisasi di pos tersebut, kami pun beranjak untuk mencari tempat bermalam. Rencana mendirikan tenda di dalam hutan Cagar Alam Ujung Genteng kami urungkan karena larangan dari peraturan yang ada di sini.
Di bawah pohon ketapang, di pinggir pantai, dan sekaligus di pinggir jalan kecil, tenda kami dirikan. Beberapa ratus meter di sebelah selatan dan utara tempat kami, terdapat warung-warung dan kafe-kafe sederhana yang berdiri. Kami sebut kafe remang-remang. Alunan musik karaoke sayup-sayup terdengar.
Tempat ini sendiri masih termasuk di dalam wilayah Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Daerah pesisir selatan Jawa Barat dengan pantai batu karang. Sebagian besar penduduk pesisir ini adalah nelayan. Sementara pera pemilik warung dan kafe sebagian besar adalah warga pendatang dari daerah lain.
Ada Orang Gila
Aku merasa sedikit resah dengan suasana tempat ini. Teringat kembali akan suasana tepi pantai Citepus Pelabuhan Ratu ketika aku ke sana dulu. Aku lebih khawatir dengan tempat yang tak begitu jauh dari keramaian seperti ini dibandingkan dengan tempat yang lebih jauh ke pedalaman.
Dan benar saja, beberapa saat kemudian, ketika kami sedang mempersiapkan makan malam, seorang gila ikut duduk bersama kami. Memperhatikan kami. Takjub, seolah-olah kami adalah sebuah tontonan yang menarik.
Kutanya, ia diam saja dan hanya manggut-manggut. Akhirnya, beberapa saat kemudian kupanggil seseorang yang kebetulan lewat di jalan kecil untuk mengajaknya pergi. Dan aneh, belum kuhampiri, ia langsung pergi.
Dari Ujung Genteng ke Pangumbahan
Pagi pun merekah. Setelah packing perlengkapan kembali, kami berjalan menyusuri pantai ke arah utara. Cuaca cukup panas di pagi yang menjelang siang. Melewati Teluk Cibuaya, sebuah sungai, dan Kampung Batunamprak.
Ketika siang menjelang, pantai karang sedikit demi sedikit mulai terlewati. Berganti dengan ombak yang tinggi. Panas bertambah terik. Hutan-hutan pesisir menghijau mulai tampak di depan. Sebuah bilik berpagar rapat dengan bambu berbentuk persegi besar sekitar 10 x 10 meter berdiri. Itu adalah tempat meletakkan telur-telur penyu hijau.
Pangumbahan, Tempat Penyelamatan Penyu Hijau
Kami telah sampai di Teluk Penyu, Pangumbahan. Masuk beberapa puluh meter ke dalam hutan pesisir ini, ada sebuah rumah mess dan tempat penyelamatan penyu. Pak Cecep, salah seorang petugas di sini menyambut kami dengan ramah.
Pangumbahan adalah sebuah kampung yang termasuk dalam wilayah administrasi yang sama dengan Ujung Genteng. Tempat penyelamatan penyu ini berada di bawah naungan Departemen Perikanan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dikelola sejak Februari 2008. Sebelumnya, pengelolaan penyu di tempat ini dikelola oleh sebuah perusahaan swasta yang bernama CV Abdi Jaya.
Untuk pengelolaan sebelumnya yang dilakukan oleh swasta, telur-telur penyu yang dihasilkan dibagi 70 : 30. Dimana 70% diambil oleh pengelola, sedangkan tiga puluhnya dirawat, untuk selanjutkan menghasilkan tukik (anak penyu) yang nantinya dikembalikan ke laut.
Tetapi, sekarang, seluruh telur dan tukik yang dihasilkan seratus persen dikembalikan ke laut sejak dikelola oleh Departemen Perikanan.
Kehidupan Penyu
Penyu di tempat ini berjenis penyu hijau (chelonia mydas), termasuk penyu yang dikatagorikan hewan langka. Setiap malam, di sepanjang Pangumbahan sampai dengan Ciwaru adalah pantai tempat penyu ini bertelur. Penyelamatan penyu yang dikelola oleh Departemen Perikanan hanya dari Pangumbahan sampai dengan muara Sungai Cipanarikan. Sedangkan dari muara Sungai Cipanarikan sampai dengan Ciwaru berada dalam pengelolaan Departemen Kehutanan Kabupaten Sukabumi.
Dibandingkan dengan Departemen Kehutanan, pengelolaan di bawah Departemen Perikanan pantainya jauh lebih pendek. Hanya sepanjang kurang lebih tiga kilometer. Terdapat enam titik pos pemantauan penyu bertelur di sepanjang tiga kilometer ini yang diawasi. Setiap malam para petugas mengawasi penyu bertelur di masing-masing pos yang areanya kurang lebih lima ratus meter. Untuk selanjutnya telur-telur yang dihasilkan ditempatkan di penangkaran bilik bambu di pantai pos pertama, di dekat mess petugas.
Di sepanjang Pantai Pangumbahan, penyu bertelur secara secara rutin. Jumlahnya puluhan setiap malamnya. Dan selalu diawasi oleh petugas. Sedangkan untuk tukiknya sendiri, dilepaskan setiap pagi ke laut.
Penyu-penyu yang bertelur adalah penyu yang berusia di atas tiga puluh tahun. Telur-telur penyu memerlukan waktu antara 52 sampai 70 hari untuk ditetaskan, tergantung cuaca. Jika musim penghujan, pasir yang sedikit lebih dingin akan membuat waktunya bertambah lama. Begitu juga sebaliknya jika cuaca adalah panas, waktu menetasnya juga lebih cepat.
Dari seratus telur penyu, kemungkinan yang bisa bertahan hidup sampai berusia di atas tiga puluh tahun adalah satu ekor. Atau bisa jadi tidak ada sama sekali. Sungguh luar biasa.
Telur penyu yang banyak berpindah tempat, tersentuh oleh tangan, atau berdesakan dengan telur-telur lain ketika dipindahkan, kemungkinan akan merusak embrio dan gagal menetas. Setelah menetas menjadi tukik, ancaman panas pasir, kepiting, dan burung pasti selalu mengintai. Begitu juga jika sudah ada di laut, tukik-tukik akan menjadi santapan hiu, sasaran camar laut, atau terjaring oleh jala nelayan.
Retorika Penyelamatan Penyu dan Lingkungan
Pada suatu malam aku berkesempatan berbicara dengan Pak Baban, salah seorang petugas senior di tempat ini. Ia sudah menjadi pegawai negeri tetap di Departemen Perikanan.
Penyelamatan penyu di tempat ini banyak memiliki kendala. Banyak warga yang setiap malam menggotong penyu yang keluar dari laut untuk diambil telurnya. Sangat sulit dicegah. Walaupun oleh polisi sekalipun yang juga ikut bertugas. Karena orang-orangnya begitu banyak. Selain itu orang-orang yang mengambil telur-telur tersebut melakukan hal ini karena dorongan ekonomi. Banyak yang merupakan penggangguran dan tidak mempunyai pekerjaan. Sehingga telur-telur tersebut menjadi begitu berharga walaupun harganya satu butir jika dijual kepada penadahnya adalah 2500 rupiah.
Telur penyu dipercaya sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit, mitos yang melegenda di masyarakat. Begitu juga dagingnya. Dan cangkangnya, banyak digunakan sebagai hiasan barang antik.
Di lain pihak, penduduk sekitar banyak yang melakukan penebangan pohon di daerah pesisir ini yang masih merupakan hutan. Kayu hasil tebangan digunakan sebagai bahan bakar penyadapan gula aren karena cukup banyak penduduk membuat gula di daerah ini.
Penyu secara alami akan memilih pantai tempat bertelur yang masih memiliki vegetasi tumbuh-tumbuhan hutan pesisir. Biasanya di sela-sela semak pantai agak ke dalam. Secara kasarnya, minimal lima ratus meter di sepanjang garis pantai haruslah berupa hutan alami yang terjaga.
Makin banyaknya manusia yang menjamah tempat ini untuk merusak hutan ataupun mengambil telur penyu, makin rentanlah kelestarian penyu hijau ini.
Memang, di manapun, menjaga kelestarian alam dan lingkungan pastilah berhadapan dengan berbagai persoalan yang kompleks. Seperti di tempat ini. Di mana proses konservasi berhadapan dengan dinamika sosial dan ekonomi. Jika digambarkan ibaratnya seperti jala ikan yang kusut. Berbagai kepentingan berbenturan satu sama lainnya. Tentunya sikap dan kebijakan pemerintah, aparat, serta warga masyarakat yang bertalian secara harmonis sangat diperlukan melihat keadaan ini.
Bermalam di Pangumbahan
Menjelang sore hari ini, kami bermalam di mess tempat penyelamatan penyu ini. Beberapa kayu mati yang banyak ditemui di hutan pesisir ini kami kumpulkan untuk membuat api unggun. Juga untuk membakar ikan yang kami beli siang tadi.
Malam ini begitu gerah. Nyamuk dan serangga beterbangan tak terhitung jumlahnya. Aku sadar telah salah kostum di daerah pantai. Sleeping bag yang tentunya nyaman jika dipakai di daerah pegunungan menjadi bumerang di tempat ini. Dipakai panas, tak dipakai menjadi bulan-bulanan nyamuk dan serangga. Lotion anti nyamuk yang kami gunakan sepertinya tidak berpengaruh. Alhasil esok paginya, bentol-bentol dan gatal pun merajalela di kulit.
Tengah malam, di pantai, aku dan beberapa petugas mengawasi seekor penyu yang sedang bertelur di daerah pos 1. Pada waktu penyu mulai keluar dari laut, cahaya-cahaya seperti lampu senter atau yang lainnya akan bisa mengurungkan niat penyu untuk bertelur ke darat. Sehingga untuk itu, diperlukan ketajaman telinga dan bantuan sinar rembulan dalam mengawasi adanya penyu yang akan bertelur.
Beberapa orang tak dikenal terlihat berkeliaran. Sepertinya orang-orang yang menginginkan telur-telur penyu seperti yang tadi diceritakan. Mungkin di pos-pos lain, ada lebih banyak lagi orang-orang yang berniat sama.
Dan memang benar, besok pagi kuketahui bahwa ada delapan ekor penyu yang keseluruhan telurnya diambil di enam pos yang ada. Itu belum lagi ditambah dengan pos-pos di bawah pengawasan departemen kehutanan atau yang tidak terdeteksi. Mungkin jumlahnya puluhan. Itu setiap malam. Sungguh ironis.
Malam ketika penyu bertelur, matanya berair. Mungkin menangis. Karena ia meninggalkan telur-telurnya. Tanpa pernah tahu apakah telurnya akan menetas dan selamat menjadi tukik, ataukah nanti diambil dan dijual kepada para penadah. Tapi yang pasti, ia tahu pada saat ia bertelur ada banyak orang yang mengerumuninya, yang tentu saja dengan berbagai niat.
Pelepasan Tukik
Di pagi hari, kami melepaskan tukik. Tukik-tukik dari telur-telur yang sudah berumur limapuluhan hari yang telah menetas. Ditambah dengan tukik yang sudah siap dilepaskan yang ada di tempat penangkaran, semuanya kami lepaskan ke laut. Pagi ini ada sekitar seribu ekor tukik.
Satu dua ekor yang terlambat menetas terperangkap di dalam penangkaran. Yang kalau dibiarkan pasti akan mati terbakar panasnya pasir di pantai. Kami dan petugas yang ada tidak bisa mengambilnya karena kunci untuk masuk ke tempat penangkaran ini hanya ada satu dan dipegang oleh satu orang.
Sebenarnya hari ini, seorang petugas yang kebetulan berjaga membawa kuncinya. Ia menawariku untuk mengambil tukik-tukik yang terperangkap itu, tapi akhirnya diurungkan. Dua orang lelaki bertubuh besar berkeliaran di seputar penangkaran telur ini. Kata sang petugas, andai saja lelaki tersebut melihatnya membuka pintu penangkaran, kemungkinan besar lelaki tersebut bisa memaksa mengambil telur-telur yang ada. Jadi lebih baik mengatakan kalau kuncinya tidak ia bawa.
Aku menghela nafas. Kesal dengan keadaan ini. Kenapa harus takut dengan orang-orang seperti itu? Tapi sudahlah. Petugas yang sudah lama malang melintang dengan kondisi seperti ini pasti mempunyai pertimbangan sendiri memutuskan hal tersebut.
Akhirnya, aku hanya bisa memandangi tukik-tukik yang terperangkap itu berputar-putar mencari jalan menuju laut yang terhalang pagar-pagar bambu. Berpacu dengan matahari yang makin meninggi. Tukik-tukik kecil tersebut, sudah pasti tidak akan bisa bertahan sampai besok pagi.
Malam Panjang di Cikaso
Menjelang siang, kami berpamitan. Kali ini perjalanan ditujukan ke Cikaso. Sebuah curug yang terletak di Kampung Ciniti, Desa Cibitung, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Curug ini sebenarnya bernama Curug Luhur, mengalir dari anak sungai Cikaso yang bernama Cicurug. Tapi oleh kebanyakan orang, curug ini lebih dikenal dengan nama Curug Cikaso.
Dari Kampung Ciniti, kami menggunakan perahu penduduk untuk menuju curug ini. Jarak tempuhnya sebenarnya dekat. Penggunaan perahu lebih ditujukan untuk keperluan wisata dan menambah pendapatan warga sekitar. Hutan-hutan dataran rendah bercampur dengan ladang serta sawah penduduk mendominasi kawasan ini.
Di curug inilah kami bermalam. Seorang kakek dari Kampung Ciniti mendatangi kami di kala waktu menjelang malam. Saat itu aku sendiri. Teman-temanku semuanya mandi di aliran sungai. Kakek yang mendatangiku tersebut membacakanku doa-doa. Sepertinya ayat-ayat suci Alqur'an. Aku tak mengerti artinya. Itu ia lakukan juga pada sebotol air minum yang ia minta. Supaya kami selamat di tempat ini, begitu katanya. Niatnya baik. Hanya saja belakangan ia meminta uang sebagai balas imbalan jasa. Ternyata ia tidak ikhlas sepenuhnya.
Malam di tempat ini terasa panjang. Seusai makan malam, aku sudah tidur-tiduran di samping api unggun. Sampai terlelap begitu lama. Beberapa kali aku terbangun, waktu belum melewati tengah malam. Teman-temanku semua juga sudah tidur. Kuteringat cerita sang kakek tentang angkernya kawasan ini.
Sudahlah. Di manapun tempatnya, tentang sesuatu yang mistis ataupun ilmiah, satu hal yang pasti adalah kita hendaknya selalu menghormati aturan dan adat istiadat setempat. Berangkat dengan baik, pulang pun dengan baik. Bumi dan segala isinya begitu beragam isinya, berkaitan satu dengan yang lainnya. Dan kita adalah salah satu bagiannya. Di manapun kita berada, di sanalah juga kita hidup. Melihat dan mencoba mengerti segala isi dunia. Berjalan layaknya dimensi waktu. Di mana sesuatu berakhir, di sanalah sesuatu yang baru dimulai.
Find Ujung Genteng & Cikaso Picture In My Picasa
Sukabumi, Januari 2009
demmm sing ngajak2 ye bin nok!!
ReplyDeleteHehehe...
ReplyDeleteMakanya Det, Anda jangan kerja terus... Liburan dong sekali-kali. :-)
wah seru bangat yah petualanganya........
ReplyDeletejadi pengen ikutan....boleh yah.....
artikelnya bagus, bisa jadi referensi buat liburan.
ReplyDeletemakasih ya...
ane baru abs dr ujung genteng nih ,, melalahkan dan menyenangkan ,,,curug itu dsbelah mana yaa
ReplyDeleteSama-sama Mas Eko. Semoga bermanfaat. :)
ReplyDeletemantapmantap banget nih bos.... bikin sehat juga,,, hehehe
ReplyDeleteWahh mantep nih gan bisa jadi project buat liburan bareng keluarga atau teman teman gan (o)
ReplyDelete