Aku baru saja selesai membaca National Geographic edisi Februari. Satu artikel menarik yang kubaca adalah kisah pesepeda Bambang Hertadi Mas atau Kang Paimo. Yang mengikuti rangkaian Bicycle for Earth Goes to Bali. Kampanye untuk mengajak orang kembali bersepeda.
Yang menarik perhatianku bukanlah kisah petualangannya. Melainkan sikap kerendahan hati yang tersirat dari ceritanya.
Aku jadi membayangkan bagaimana keadaan pengendara kendaraan bermotor di Indonesia. Yang sebagian besar masih ugal-ugalan dan jarang menghargai pengendara lain. Yang penting cepat sampai di tujuan tanpa peduli rambu-rambu lalu lintas. Bahkan merebut hak pengendara atau pengguna jalan yang lain. Membayangkan sebagian besar masyarakat Indonesia lebih melihat tingkat modernitas dari apa yang dikendarainya (dengan kata lain : gengsi). Bukan dari wawasan dan cara berpikirnya.
Seperti motor yang dengan seenaknya ikut menyeberang di jembatan penyeberangan atau mengambil badan jalan tempat orang menyeberang. Ngebut ketika tahu jalan sudah lengang dan membuat pengendara lain was-was. Apakah itu hebat? Memangnya seberapa menit kita akan lebih cepat dengan melakukan semua itu?
Seperti mobil mewah pribadi yang dimiliki hampir semua eksekutif muda di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Hanya untuk keperluan yang tidak begitu membutuhkan semua itu. Itulah hal yang katanya keren. Hebat. Dipandang oleh teman dan kerabat. Menunjukkan tingkat keberhasilan dan kesuksesan. Benarkah?
Hhh... Maaf. Mungkin aku keliru. Juga tak bermaksud menghilangkan kebanggaan bagi yang telah mampu membeli (ataupun menyicil :p) motor atau pun mobil. Hanya sedikit beropini dan sharing apa yang kubaca. Setidaknya dari ribuan mobil yang menghiasi macet Jakarta, mungkin bisa dikurangi satu dari mobil atau motormu untuk keperluan yang tidak begitu perlu. Dari sekian banyak pengendara yang ugal-ugalan, mungkin bisa dikurangi satu dari kita untuk mulai tertib. Dari sekian banyak alat transportasi berbahan bakar dan mencemari udara, mungkin bisa kita kurangi satu dengan bersepeda. Walaupun tidak berpengaruh banyak, setidaknya kita tidak ikut menambah kuantitasnya. Siapa tahu, dunia ini nanti bisa berubah dengan suatu hal yang kecil.
Hhh... Kembali lagi pada sepeda. Tentang alat transportasi yang murah dan sehat. Tentang petualangan Paimo si pesepeda penggembira yang mengikuti Tim Bicycle for Earth Goes to Bali. Menyusuri jalan sepanjang Jakarta - Denpasar dengan sepeda. Petualangan dengan kerendahan hati. Bukan karena ingin hebat atau keren. Atau pun mengalahkan alam. Tetapi lebih kepada petualangan untuk mengalahkan diri sendiri dan untuk melihat apa itu dunia.
Jakarta, Februari 2008
Yang menarik perhatianku bukanlah kisah petualangannya. Melainkan sikap kerendahan hati yang tersirat dari ceritanya.
Aku jadi membayangkan bagaimana keadaan pengendara kendaraan bermotor di Indonesia. Yang sebagian besar masih ugal-ugalan dan jarang menghargai pengendara lain. Yang penting cepat sampai di tujuan tanpa peduli rambu-rambu lalu lintas. Bahkan merebut hak pengendara atau pengguna jalan yang lain. Membayangkan sebagian besar masyarakat Indonesia lebih melihat tingkat modernitas dari apa yang dikendarainya (dengan kata lain : gengsi). Bukan dari wawasan dan cara berpikirnya.
Seperti motor yang dengan seenaknya ikut menyeberang di jembatan penyeberangan atau mengambil badan jalan tempat orang menyeberang. Ngebut ketika tahu jalan sudah lengang dan membuat pengendara lain was-was. Apakah itu hebat? Memangnya seberapa menit kita akan lebih cepat dengan melakukan semua itu?
Seperti mobil mewah pribadi yang dimiliki hampir semua eksekutif muda di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Hanya untuk keperluan yang tidak begitu membutuhkan semua itu. Itulah hal yang katanya keren. Hebat. Dipandang oleh teman dan kerabat. Menunjukkan tingkat keberhasilan dan kesuksesan. Benarkah?
Hhh... Maaf. Mungkin aku keliru. Juga tak bermaksud menghilangkan kebanggaan bagi yang telah mampu membeli (ataupun menyicil :p) motor atau pun mobil. Hanya sedikit beropini dan sharing apa yang kubaca. Setidaknya dari ribuan mobil yang menghiasi macet Jakarta, mungkin bisa dikurangi satu dari mobil atau motormu untuk keperluan yang tidak begitu perlu. Dari sekian banyak pengendara yang ugal-ugalan, mungkin bisa dikurangi satu dari kita untuk mulai tertib. Dari sekian banyak alat transportasi berbahan bakar dan mencemari udara, mungkin bisa kita kurangi satu dengan bersepeda. Walaupun tidak berpengaruh banyak, setidaknya kita tidak ikut menambah kuantitasnya. Siapa tahu, dunia ini nanti bisa berubah dengan suatu hal yang kecil.
Hhh... Kembali lagi pada sepeda. Tentang alat transportasi yang murah dan sehat. Tentang petualangan Paimo si pesepeda penggembira yang mengikuti Tim Bicycle for Earth Goes to Bali. Menyusuri jalan sepanjang Jakarta - Denpasar dengan sepeda. Petualangan dengan kerendahan hati. Bukan karena ingin hebat atau keren. Atau pun mengalahkan alam. Tetapi lebih kepada petualangan untuk mengalahkan diri sendiri dan untuk melihat apa itu dunia.
Jakarta, Februari 2008
nah itu dia jor, klo dijakarta neh,
ReplyDeleteklo cuma satu/sedikit doang yg naek sepeda, trus nyelip diantara jutaan kendaraan bermotor, pasti lama2 ga betah juga, krn:
1. polusi keluaran dari metro mini/kopaja bikin engap, kepikiran "duh enak banget yg didalam mobil ga enak asap beginian"
2. kalah strata ma motor2 yang suka nyelip2 n senggol kanan senggol kiri. akhir2nya ga merasa safe n kepikiran lagi "duh mending gw naek busway"
see, menurut gw musti gerakan beramai2 (untuk kasus dijakarta), klo ga ya bisa makan ati deh.